Oleh Rm. Vinsen Babu Kolo, Pr (Ekonom dan staf pengajar Seminari Sta. Maria Imakulata Lalian)
Injil Markus 10 : 17 – 30
Larry S. Julian dalam bukunya God is my CEO mengisahkan tentang Bob Buford seorang presiden dari perusahaan televisi kabel Leadership Network. Bob sangat paham akan daya tarik dari mengejar kesuksesan finansial. Ia sangat suka akan dunia bisnis. Ia sangat berhasil dalam kehidupannya; ia sukses secara finansial, ia membangun hubungan yang penuh kasih dengan sang istri dan kedua anaknya. Ketika mendekati usia paruh baya, Bob mulai berpikir lain tentang hidupnya. Kesuksesannya dalam dunia bisnis tidak lagi dirasakan sebagai yang terpenting dalam hidupnya. Maka pemikirannya mulai terfokus pada bagian berikut dari kehidupannya. Ia merenungkan sebuah pertanyaan penting: “Apa yang paling penting dalam kehidupan ini” ? Dalam permenungan itu dan bersamaan dengan tragedi kematian putranya Ross, Bob diajak oleh istrinya untuk menjual rumah mereka. Ajakan sang istri memberikan perspektif baru baginya bahwa hal-hal yang bersifat materi bukan menjadi hal yang terpenting dalam hidupnya. Masih ada banyak hal lagi dalam kehidupan ini selain kehidupan singkat yang sedang dijalaninya. Perspektif ini menjadi titik balik untuk menjalani kehidupan yang lebih berarti. Baginya kehidupan yang lebih berarti adalah “memberi arti” bagi orang lain. Maka ia mulai mengalihkan operasi bisnisnya kepada orang lain dengan mendirikan organisasi untuk menginspirasi, melatih dan memberikan contoh kesuksesan bagi orang lain.
Injil hari ini berkisah tentang seseorang yang mendatangi Yesus dengan berlari-lari. Tidak dijelaskan secara detail tentang identitas orang itu. Hanya dikatakan bahwa ia kaya. Sebagai orang kaya tentu saja ia hidup berkelimpahan. Secara umum kita berpandangan bahwa kaya adalah tanda kesuksesan. Kekayaan itu paling dicari oleh manusia karena kekayaanlah yang memungkinkan untuk mencapai kenikmatan tertinggi dalam hidup menurut kaum hedonis. Di kalangan masyarakat Yahudi, kekayaan dipandang sebagai berkat dari Allah. Maka orang yang kaya itu adalah orang yang diberkati Tuhan. Kalau begitu, orang yang mendatangi Yesus itu adalah orang yang sukses secara finansial dan telah mencapai kenikmatan di dalam hidup. Lalu pertanyaannya adalah : Apa yang masih kurang pada orang itu sehingga ia harus datang kepada Yesus untuk berkonsultasi dengan Yesus ? Ia datang kepada Yesus dengan berlari kemudian berlutut di hadapan Yesus. Ini berarti ada sesuatu yang sangat serius yang ingin dikonsultasikan dengan Yesus. Apa itu ? Jawabannya adalah hidup kekal. Hidup kekal merupakan arti penting yang sedang dicari oleh si orang kaya itu. Ia bertanya kepada Yesus “Apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal“?
Yesus menanggapi pertanyaan orang kaya itu dengan berbicara tentang harta di surga. Harta surgawi yang ditunjukkan oleh Yesus adalah mengikuti Yesus. Harta surgawi ini adalah yang paling berarti dan bernilai bagi kehidupan manusia. Undangan untuk mengikuti Yesus adalah undangan untuk masuk ke dalam persekutuan dengan-Nya. Persekutuan dengan Yesus itulah jalan untuk menggapai hidup yang otentik (hidup kekal) yang diberikan oleh Allah dalam diri Yesus sendiri. Hidup kekal hanya ditemukan di dalam persekutuan dengan Yesus “Di luar Yesus tidak ada keselamatan”. Pertanyaannya adalah bagaimana mengikuti Yesus ? Banyak ayat Kitab Suci menunjukkan bagaimana cara mengikuti Yesus. Mengikuti Yesus berarti taat total kepada Bapa di surga (Yoh 8:29; 15:10) Yesus taat kepada Bapa sampai mengorbankan diri di salib demi keselamatan umat manusia. Semangat ketaatan itulah yang perlu menjadi semangat setiap pengikut Yesus. Mengikuti Yesus berarti sungguh-sungguh menjadikan-Nya Tuan atas hidup kita (Rm.10:9). Mengikuti Yesus berarti selalu menyelaraskan keputusan-keputusan serta cita-cita kita dengan keputusan dan cita-cita Tuhan bagi kita demi kemuliaan Tuhan sendiri (1Kor 10:31). Akhirnya mengikuti Yesus berarti siap berkorban, menyangkal diri dan memikul salib. Inilah harta surgawi yang menjadi jaminan hidup kekal.
Syarat penting untuk mengikuti Yesus adalah “Juallah apa yang kau miliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin.” (Luk 10:21). Yesus tidak mengatakan bahwa kekayaan atau harta duniawi itu jahat dan harus dimusihi. Yesus juga bukan pengagum kemiskinan. Ia tidak menganjurkan agar semua orang menjadi miskin secara materi. Jika Ia menganjurkan agar semua orang menjadi miskin materi maka semua program pembangunan ekonomi dari pemerintah dan semua program pemberdayaan ekonomi yang digencarkan oleh Gereja lokal maupun universal adalah sesat. Yang menjadi masalah adalah sikap hati yang melekat pada hal-hal duniawi dan menjauhi Tuhan. Yesus menyuruh menjual seluruh kekayaannya karena bagi orang itu kekayaannya merupakan halangan terbesar untuk melakukan kehendak Allah. Tuntutan Yesus sungguh radikal. Ia menuntut agar apa saja yang dipandang sebagai penunjang disingkirkan, sebab dapat menghalangi keputusan untuk taat tanpa syarat kepada Allah. Jika hal-hal duniawi seperti; uang, kuasa, jabatan, hobi, dan aneka bentuk kekayaan lainnya tidak menjadi penghalang untuk mengikuti Tuhan dan melaksanakan kehendak Tuhan maka sah-sah saja manusia berbisnis dan mengembangkan modal untuk menjadi kaya, dan sah-sah saja anggota Gereja memiliki kuasa dan jabatan. Gereja dalam Ensiklik Laborem Exercens menjunjung tinggi hakekat kerja sebagai sarana pemuliaan martabat manusia. Gereja juga mendorong orang-orang terbaiknya untuk menduduki kuasa dan jabatan tertentu dalam masyarakat demi membangun kesejahteraan bersama.
Kalau begitu apa yang harus kita lakukan ? Supaya kita sungguh-sungguh menjadi pengikut Yesus dan memperoleh hidup kekal kita mestinya bersikap lepas bebas terhadap segala yang kita miliki. Uang, kuasa, jabatan, hobi, atau kekayaan lainnya yang kita miliki itu sesungguhnya bukan milik kita tetapi milik Tuhan yang dititipan kepada kita untuk mengembangkan kehidupan bersama. Kekayaan duniawi yang kita miliki hendaknya diabdikan untuk membangun Kerajaan Allah. Kekayaan itu adalah berkat dari Allah maka semestinya dijadikan berkat juga bagi orang lain, terlebih mereka yang belum sempat memperoleh berkat kekayaan itu. Ketika kita rela melepaskan apa yang kita banggakan demi kebaikan dan kesejahteraan bersama maka kita telah membangun Kerajaan Allah dan kita akan memperoleh keindahan dan kenikmatan surgawi yang bersifat kekal. Sebaliknya jika kita mati-matian memeluk hal-hal duniawi yang kita banggakan pada diri kita maka di situlah kita dengan nyaman membangun kerajaan duniawi yang bersifat sementara dan kehilangan Kerajaan Allah yang permanen.
Dalam kenyataan hidup kita sering kali kita dihadapkan pada aneka tawaran kenikmatan duniawi seperti jabatan, pangkat, uang dan berbagai corak harta kekayaan dengan berbagai porsi yang menggiurkan dan memanjakan mata. Bersamaan dengan itu kita juga dihadapkan dengan panggilan kemuridan, pengikut Kristus yang seharusnya mengadopsi cara hirup Yesus yang rendah hati, sederhana, ugahari dan penuh cinta kasih. Menghadapi pilihan yang dilematis ini, kita harus bijaksana untuk melihat apa yang paling bernilai bagi hidup kita di dunia dan di akhirat. Kita perlu memiliki cahaya kebijaksanaan sebagai panduan kebaikan. Kebijaksanaan itu akan menunjukkan kepada kita bahwa persekutuan dengan Tuhan jauh lebih berharga dan lebih bernilai dari tongkat kekuasaan, gumpalan permata, bongkahan emas, gundukan perak, bahkan segudang harta kekayaan (Keb 7:8-10).
AMIN