Catatan Kritis – KeuskupanAtambua.org – Dari Layak Didengar Menjadi Sekadar Terdengar – Sebuah Krisis Etika di Era Digital – Oleh: Armyndo Tlali – Sekretaris OMK Paroki Santa Filomena Mena
Catatan Pendahuluan
Modernisasi dan kemajuan teknologi digital telah mengubah lanskap komunikasi sosial secara drastis. Batas antara ruang pribadi dan ruang publik menjadi kabur, sementara arus informasi mengalir begitu cepat tanpa filter yang memadai. Dalam konteks ini, muncul krisis etika digital yang serius, di mana pelanggaran privasi, penyebaran hoaks, dan penyalahgunaan data menjadi tantangan yang meresahkan.
Krisis digital seperti di atas, tidak hanya menyentuh individu sebagai pengguna, tetapi juga memengaruhi struktur sosial dan institusi secara menyeluruh. Oleh karena itu, dibutuhkan kesadaran kolektif dan komitmen bersama untuk menumbuhkan nilai-nilai etika yang sesuai dengan zaman digital, demi terciptanya masyarakat yang adil, aman, dan berintegritas.
Perubahan Budaya dalam Komunikasi Digital
Transformasi budaya dari masyarakat yang menghargai isi pesan menjadi masyarakat yang mengejar eksistensi digital telah mengubah makna komunikasi. Neil Postman, seorang kritikus budaya Amerika, menggambarkan perubahan ini secara tajam: “Dulu kita harus pantas didengar untuk bicara, kini cukup punya akun untuk bersuara—meski tanpa isi dan tanpa etika.” Ucapan ini menyoroti fakta bahwa dalam budaya digital saat ini, nilai sebuah suara tidak lagi diukur dari kedalaman maknanya, melainkan dari visibilitas dan keberaniannya tampil.
Media sosial telah memberi ruang bagi siapa pun untuk berbicara, tetapi tidak semua yang terdengar layak untuk didengar. Akibatnya, terjadi pergeseran paradigma komunikasi dari kualitas ke kuantitas, dari refleksi menuju impulsivitas.
Media Sosial sebagai Ruang Terbuka Tanpa Filter
Media sosial, yang awalnya diciptakan untuk memfasilitasi koneksi dan pertukaran informasi, kini menjadi medan sosial yang kompleks. Fungsinya meluas ke ranah bisnis, politik, hiburan, bahkan propaganda. Namun tanpa pengendalian etis, media sosial justru menjadi ladang subur bagi polarisasi, disinformasi, dan kekerasan verbal.
Banyak pengguna media sosial terjebak dalam euforia ekspresi bebas tanpa menyadari konsekuensi moral dari ujaran yang mereka lontarkan. Dalam konteks ini, krisis etika bukan lagi sekadar kemungkinan, tetapi menjadi realitas yang terus berkembang.
Etika Kebahasaan dalam Komunikasi Virtual
Bahasa merupakan cermin moral dan budaya dalam setiap interaksi. Namun di ruang digital, nilai kebahasaan kerap terpinggirkan. Penggunaan bahasa yang kasar, menyudutkan, dan provokatif sering kali ditemukan, mencerminkan rendahnya kesadaran etika dalam komunikasi daring.
Etika berbahasa yang baik tidak hanya mencerminkan penghormatan terhadap sesama, tetapi juga menjadi fondasi terciptanya ruang digital yang sehat dan produktif. Sayangnya, banyak pengguna belum memahami bahwa setiap kata yang dipilih memiliki dampak terhadap suasana batin dan persepsi orang lain.
Generasi Muda dan Lunturnya Sensitivitas Etis
Generasi muda sebagai pengguna aktif media sosial menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan etika komunikasi. Lunturnya nilai sopan santun dalam berbicara, lemahnya nalar kritis terhadap informasi, serta kebiasaan meniru gaya komunikasi yang provokatif dari tokoh-tokoh populer memperparah kondisi ini.
Ketika generasi muda tidak dibekali dengan pendidikan etika digital yang memadai, maka media sosial berubah dari ruang pembelajaran menjadi ruang pembentukan karakter negatif. Kenyataan ini menjadi alarm bagi dunia pendidikan dan pembinaan karakter bangsa.
Etika Stoik: Menjaga Keheningan yang Bermakna
Etika dalam tradisi stoisisme memberikan alternatif yang relevan bagi kondisi zaman ini. Marcus Aurelius pernah menulis, “Jika ucapanmu tidak perlu, jangan katakan.” Prinsip ini mengajarkan pentingnya kesadaran dalam berbicara, suatu kebajikan yang hampir punah dalam dunia virtual yang bising dan impulsif, saat ini.
Keheningan yang dulunya dianggap sebagai tanda kedewasaan kini tergeser oleh keinginan untuk terus berbicara, meski tanpa arah. Akibatnya, identitas dibangun dari kebisingan, bukan dari kebijaksanaan.
Komitmen terhadap Etika Komunikasi Digital
Berkomunikasi di dunia maya sejatinya memerlukan standar moral yang sama, bahkan lebih tinggi, dibanding komunikasi tatap muka. Penggunaan bahasa yang santun, verifikasi informasi sebelum dibagikan, serta empati terhadap penerima pesan adalah bagian integral dari etika komunikasi.
Serangan personal, ujaran kebencian, dan penyebaran hoaks harus dipandang sebagai pelanggaran moral yang merusak tatanan sosial digital. Kesadaran ini penting agar media sosial benar-benar berfungsi sebagai alat pembangunan peradaban, bukan penghancurnya.
Krisis Moral dan Tanggung Jawab Kolektif
Etika dan moralitas adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Ketika keduanya diabaikan dalam penggunaan media sosial, maka lahirlah krisis identitas kolektif. Budaya, agama, dan nilai-nilai luhur yang seharusnya menjadi penuntun justru sering terpinggirkan oleh algoritma dan popularitas sesaat.
Tanggung jawab untuk membangun ruang digital yang sehat bukan hanya milik pengguna individu, tetapi juga institusi, pemerintah, dan komunitas. Regulasi dan edukasi harus berjalan seiring untuk menciptakan keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sosial.
Catatan Penutup
Krisis etika dalam komunikasi digital menuntut perhatian serius dari semua pihak. Penggunaan bahasa kasar dan tidak etis di media sosial mencerminkan kurangnya kesadaran masyarakat terhadap nilai-nilai moral dan kebahasaan. Maka, perlu ada langkah konkret seperti pemberlakuan sanksi, edukasi literasi digital, dan kampanye komunikasi etis untuk menanggulangi krisis ini.
Moralitas sebagai sistem nilai harus dikedepankan dalam menyikapi era digital yang terus berkembang. Etika dan sopan santun tidak boleh menjadi korban modernisasi, tetapi justru menjadi pilar untuk membentuk ruang digital yang lebih manusiawi.
Akhirnya, dengan berpikir sebelum berbicara dan mempertimbangkan kata-kata secara matang, kita bisa menjadikan media sosial sebagai ruang dialog yang sehat, membangun, dan bermakna. Dunia digital bukan hanya tempat untuk terlihat, tetapi harus menjadi ruang untuk menjadi pribadi yang layak didengar.
Editor: Rm. Yudel Neno, Pr