Refleksi Bersinambung – KeuskupanAtambua.org – 𝐋𝐞𝐨 𝐗𝐈𝐈𝐈, 𝐅𝐫𝐚𝐧𝐬𝐢𝐬𝐤𝐮𝐬 𝐝𝐚𝐧 𝐋𝐞𝐨 𝐗𝐈𝐕 – oleh Dr. Doddy Sasi, CMF
“…..Paus Leo XIV, ingin segera menempatkan dirinya dalam kesinambungan pastoral dengan Leo XIII dan Fransiskus. Ada kontinuitas dalam hal ajaran dan tema pastoral tapi diskontinuitas dalam simbol”.
Leo XIV adalah nama yang dipilih Kardinal Robert Francis Prevost. Pemilihan nama Leo XIV ini tentu tidak sembarangan. Bagi saya, rupa-rupanya ia ingin merujuk pada dua pribadi karismatis pendahulunya: Leo XIII dan Fransiskus. Dan pilihan nama Leo XIV ini bisa menjadi petunjuk arah yang ingin diberikannya dalam masa kepausannya.
𝐋𝐞𝐨 𝐗𝐈𝐈𝐈: 𝐏𝐚𝐮𝐬 𝐏𝐚𝐫𝐚 𝐏𝐞𝐤𝐞𝐫𝐣𝐚
Leo XIII adalah Uskup Roma dan Paus ke-256. Leo XIII lahir di Carpineto Romano, Italia. Ia lahir dengan nama Vincenzo Gioacchino Raffaele Luigi Pecci. Ia menjabat sebagai Paus untuk waktu yang lama: dari 20 Februari 1878 hingga kematiannya pada 20 Juli 1903, pada usia 93 tahun dan dimakamkan di Basilika Santa Maria Maggiore.
Leo XIII adalah penulis ensiklik terkenal Rerum Novarum yang diumumkan pada tanggal 15 Mei 1891 dan yang menjadi titik balik penting dalam Gereja Katolik, yang memulai jalan menuju Ajaran Sosial Modern dalam Gereja. Untuk perubahan penting yang dianjurkan dalam ensiklik ini, keberpihakannya pada hak-hak pekerja dan keadilan sosial, Leo XIII diberi julukan ‘Paus Sosial’ dan ‘Paus para Pekerja’.
Selama masa kepausannya yang panjang, Paus Leo XIII menulis 86 ensiklik. Dia mempromosikan dialog dengan dunia modern dan kebangkitan Gereja dalam hal budaya.
𝐅𝐫𝐚𝐧𝐬𝐢𝐬𝐤𝐮𝐬: 𝐏𝐚𝐮𝐬 𝐘𝐚𝐧𝐠 𝐃𝐞𝐤𝐚𝐭 𝐝𝐚𝐧 𝐒𝐞𝐝𝐞𝐫𝐡𝐚𝐧𝐚
Sejak terpilih pada 13 Maret 2013, gelombang simpati yang dibangkitkan oleh Paus Fransiskus di dalam Gereja dan di dunia menjadi sangat luar biasa. Tapi di hari-hari awal, keterpilihanya memunculkan “konflik penafsiran” yang berbeda dari antusiasme dan simpatisme dari Paus yang memiliki nama asli Jorge Mario Bergoglio ini.
Ada yang melihat bahwa dalam antusiasme yang sangat luar biasa, Paus Fransiskus akan mengobarkan kembali gejala-gejala musim semi iman dalam Gereja; ada yang sempat melontarkan pikiran bahwa Paus Fransiskus akan memanifestasikan muntahan “kasih sayang anti-Romawi” yang tak terpadamkan, sebab ia “datang hampir dari ujung dunia”, lalu ada pula optimisme baru bahwa Paus Fransiskus akan membawa perubahan radikal pada Kuria Roma.
Secara pribadi, saya merasa selaras dan senada dengan dinamika pikiran-pikiran di atas, tapi yang jauh lebih penting adalah bahwa masa kepausan Paus Fransiskus adalah suatu masa yang luar biasa penuh rahmat dan menjadi harapan bagi semua orang, dalam kesinambungan dengan apa yang telah dipersiapkan oleh pembaharuan secara spiritual yang diinginkan oleh Paus Benediktus XVI, meskipun dengan karakteristik yang berbeda.
Bagi saya, ada dua elemen yang berperan dalam cara hidup dan tindakan Jorge Mario Bergoglio – Paus Fransiskus, yang membuatnya mampu menjangkau secara luas dan mendalam hati setiap orang yakni Kedekatan dan Kesederhanaan.
Yang pertama : Kedekatan. Kedekatan inilah yang membuat Paus Jesuit asal Argentina ini sangat dicintai oleh banyak orang. Caranya berkomunikasi sangat afektif, penuh perasaan dan kedekatan. Preferensi untuk “berbicara tanpa basa-basi”, yang sering ditunjukkannya merupakan ungkapan keinginan untuk menjangkau orang-orang yang disapanya dengan cara yang langsung, esensial, dan mendalam.
Mengutip pepatah Latin “Cor ad cor loquitur“: pepatah yang sangat disukai oleh Kardinal John Henry Newman, mengekspresikan dengan baik busur api yang dapat dibangun oleh Paus Fransiskus antara dirinya dan para pendengarnya, membuat mereka merasakan kedekatan hati dalam menyambut dan mendengarkan satu sama lain. Kedekatan ini ia padukan pula dengan kedalaman yang juga merupakan kelebihan komunikasi spiritual yang ada dalam dirinya. Homili yang disampaikannya pun mampu menjangkau pikiran dan hati, menyatukan kebenaran dan cinta, kejelasan dan kedalaman isi. Kedekatan komunikasi dari kata-kata dan tindakan Paus Fransiskus ini tidak akan memiliki kekuatan jika tidak disertai dengan ketulusan dan keterbukaan. Karena itu, nampak melalui kenyataan verbal Paus Fransiskus bahwa hanya mereka yang mencintai kebenaran dan pada saat yang sama mencintai orang- orang yang mereka ajak bicara yang dapat menggabungkan kedua cinta tersebut dalam sebuah komunikasi yang benar, mencerahkan dan membias.
Pernah dalam sebuah kesempatan homilinya, Paus Fransiskus mengatakan bahwa : “Kedekatan relasi dengan Umat Allah itu bukanlah suatu kewajiban melainkan suatu anugerah. “Cinta untuk orang-orang adalah kekuatan spiritual yang mendukung perjumpaan dalam kepenuhan dengan Tuhan” (Evangelii Gaudium, 272). Inilah sebabnya mengapa tempat setiap gembala adalah berada di tengah-tengah umat. Seorang gembala perlu hidup, menangis dan tertawa bersama dengan umat-umatnya. Tempat tinggal yang paling indah bagi seorang gembala adalah ditengah-tengah umatnya”. Dengan demikian, kedekatan Paus Fransiskus menjadi contoh dan sekolah bagi semua orang, terutama bagi mereka yang terbiasa berbicara “politis”, yang mampu melipatgandakan kata-kata yang berbanding terbalik dengan isi kebenaran yang disampaikan.
Yang kedua : Kesederhanaan. Yang paling mengejutkan banyak orang adalah kesederhanaan Paus Fransiskus. Setelah terpilih Paus Fransiskus memilih untuk tinggal di Casa Santa Marta, sebuah tempat tinggal sederhana yang jauh dari kemewahan Istana Kepausan. Keputusan untuk tinggal bersama orang lain di Casa Santa Marta mengungkapkan dengan keinginan hatinya untuk hidup dalam kesederhaan dan persaudaraan bersama orang lain. Ia juga memutuskan menggunakan mobil sederhana, jam tangan dan sepatu yang sangat sederhana. Saat wafat dan dikuburkan ia tetap memakai sepatu kulit hitam yang sederhana itu. Ia memilih gaya hidup dan perilaku yang “normal”.
Pesannya bahwa Paus Fransiskus ingin merasa sebagai salah satu dari kita, sesama pelancong, peziarah dan saudara dalam kemanusiaan. Dengan kesederhanaan hidup yang dipilihnya ini tidak mengurangi perannya sebagai seorang Bapa Universal Gereja Katolik, tetapi memberikan sentuhan aksesibilitas dan keakraban, yang membuatnya dekat dengan hati banyak orang.
Singkat kata, kesederhaan menjadi sebuah bahasa, sebuah cara untuk dekat dengan semua orang dan untuk meruntuhkan jarak yang dengan mudah diciptakan oleh ketakutan kita terhadap mereka yang memiliki tanggung jawab dan kuasa. Dari situ kita belajar menemukan kembali ketenangan adalah cadangan yang berharga di masa krisis dan kesulitan ekonomi bagi banyak orang.
Dalam sebuah kisahnya; Paus Fransiskus mengatakan bahwa ia senang ketika menjadi seorang pastor paroki, bukan karena keinginan untuk menjadi lebih orisinal, tetapi karena cinta untuk umatnya dan dalam ketaatan pada cara hidup dan tindakan Yesus, Sang Guru. Kesederhaan hidup dari apa yang ia ajarkan dan katakan memiliki cita rasa Injil, seperti kata Sang Guru: “Berbahagialah kamu, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah” (Lukas 6:20).
𝐋𝐞𝐨 𝐗𝐈𝐕: 𝐏𝐚𝐮𝐬 𝐃𝐚𝐦𝐚𝐢 𝐒𝐞𝐣𝐚𝐡𝐭𝐞𝐫𝐚
Kardinal Robert Francis Prevost penerus Paus Fransiskus, yang memilih nama Leo XIV adalah seorang Agustinian. Ia lahir lahir di Chicago, 14 September 1955. Ia juga seorang ahli Hukum Gereja. Pada 30 Januari 2023, Paus Fransiskus memanggilnya ke Roma, dan menunjuknya sebagai Prefek Dikasteri untuk Para Uskup dan Presiden Komisi Kepausan untuk Amerika Latin.
Sebelumnya, pada 3 November 2014, Paus Fransiskus mengangkatnya sebagai sebagai uskup, keuskupan Chiclayo, Peru. Lalu baru, pada 6 Februari 2025, Paus Fransiskus mengangkatnya pada jabatan Kardinal Uskup, yang bagi banyak pengamat dibaca sebagai ada ‘sesuatu’. Dan pada konklaf kemarin Kardinal Robert Francis Prevost terpilih pada pemungutan suara keempat, seperti Benediktus XVI pada tahun 2005. Asap putih muncul pada pukul 18.07 dan pengumuman resmi oleh Kardinal Protodiakon Dominique Mamberti, pada pukul 19.13 waktu Roma.
Saat tampil perdana, Paus Leo XIV dengan suara penuh wibawa, penuh percaya diri dan dengan berbahasa Italia tapi dengan intonasi bahasa Spanyol yang agak kental berkata: “Damai sejahtera bagi kamu sekalian! Saudara dan saudari yang kekasih, ini adalah salam pertama dari Kristus yang Bangkit, Gembala yang baik yang telah memberikan nyawa-Nya bagi kawanan domba Allah. Saya juga ingin agar salam damai ini masuk ke dalam hatimu, menjangkau keluargamu, kepada semua orang, di mana pun mereka berada, kepada semua bangsa, kepada seluruh bumi”. Kemudian ia melanjutkan: ”adalah kedamaian dari Kristus yang Bangkit. Kedamaian yang berasal dari Tuhan, Tuhan yang mengasihi kita semua tanpa syarat.
Paus Leo XIV melanjutkan bahwa masih terngiang di telinga kita suara Paus Fransiskus yang lemah namun selalu penuh keberanian memberkati Roma! Paus memberkati Roma, memberikan berkatnya kepada dunia, kepada seluruh dunia, pada pagi Paskah itu. Izinkan saya untuk melanjutkan berkat yang sama: Tuhan mengasihi kita, Tuhan mengasihi Anda semua, dan kejahatan tidak akan menang! Kita semua ada di dalam tangan Allah. Oleh karena itu, tanpa rasa takut, bergandengan tangan dengan Allah dan satu sama lain, marilah kita melangkah maju. Kita adalah murid-murid Kristus. Kristus berjalan mendahului kita. Dunia membutuhkan cahaya-Nya. Umat manusia membutuhkan Dia sebagai jembatan menuju Allah dan kasih-Nya. Bantulah kami juga, satu sama lain untuk membangun jembatan, dengan dialog, dengan perjumpaan, yang menyatukan kita semua untuk menjadi satu umat yang selalu damai. Terima kasih Paus Fransiskus!”.
Tampak terharu di serambi tengah Basilika, Paus Leo XIV tidak sekadar memberi salam, tapi menyampaikan pidato yang agak panjang dan terprogram. Paus Leo XIV membacakan teks yang ditulisnya dengan tangan di atas beberapa lembar kertas beberapa menit sebelum ia muncul dari tempat yang sama di mana Fransiskus, pada hari Minggu Paskah, memberikan berkat Urbi et Orbi untuk yang terakhir kalinya. “Saya ingin berterima kasih,” kata Paus Leo XIV, ”juga kepada semua saudara kardinal yang telah memilih saya untuk menjadi penerus Petrus dan berjalan bersama Anda, sebagai Gereja yang bersatu yang selalu mencari perdamaian, keadilan, selalu berusaha untuk bekerja sebagai pria dan wanita yang setia kepada Yesus Kristus, tanpa rasa takut, untuk mewartakan Injil, menjadi misionaris. Saya adalah putra Santo Agustinus, seorang Agustinian, yang berkata: ‘Bersama kalian aku seorang Kristiani dan untuk kalian seorang Uskup’. Dalam pengertian ini kita semua dapat berjalan bersama menuju tanah air yang telah dipersiapkan Tuhan bagi kita’.
Tak lupa pula, Ia segera menyampaikan salam khusus kepada Gereja Roma: “Kita harus bersama-sama mencari cara untuk menjadi Gereja yang misioner, Gereja yang membangun jembatan, berdialog, selalu terbuka untuk menerima seperti alun-alun ini dengan tangan terbuka. Setiap orang, setiap orang yang membutuhkan cinta kasih kita, kehadiran kita, dialog dan cinta. Dan jika Anda mengizinkan saya menyampaikan sepatah kata, salam kepada semua dan terutama kepada Keuskupan Chiclayo, Peru, di mana umat yang setia telah menemani uskupnya, berbagi iman dan memberikan begitu banyak hal untuk terus menjadi Gereja Yesus Kristus yang setia”. Ia menyimpulkan: “Kepada kalian semua, saudara dan saudari di Roma, di Italia, di seluruh dunia, kita ingin menjadi Gereja yang sinodal, Gereja yang berjalan, Gereja yang selalu mencari perdamaian, yang selalu mencari cinta kasih, yang selalu berusaha untuk dekat terutama dengan mereka yang menderita”.
Paus Leo XIV menampilkan dirinya kepada dunia dengan mengenakan pakaian sesuai dengan protokol kepausan, tidak seperti dua belas tahun yang lalu, pada tahun 2013, Jorge Mario Bergoglio-Paus Fransiskus, yang menunjukkan dirinya hanya mengenakan jubah putih dan salib dada logam serta cincin uskup yang telah ia kenakan sejak tahun 1992, saat menjadi uskup auksilier di Buenos Aires.
Robert Francis Prevost-Paus Leo XIV, agak beda dengan di atas jubah putih, ia mengenakan rochetto, mozzetta merah, salib dada emas, dan jubah kepausan merah dengan lambang Tahta Suci, yaitu tiara dan kunci-kunci yang terpisah, serta gambar empat penginjil. Di jari manis kanannya, ia masih mengenakan cincin emas kardinal yang diterima dari Fransiskus dalam konsistori 30 September 2023. *Paus Leo XIV, ingin segera menempatkan dirinya dalam kesinambungan pastoral dengan Leo XIII dan Fransiskus. Ada kontuinitas dalam hal tema pastoral tapi diskontuinitas dalam simbol*.
Dengan terpilihnya Paus Leo XIV, Sede Vacante yang hanya berlangsung selama 17 hari telah berakhir.

Editor : Yudel Neno, Pr