Opini – KeuskupanAtambua.org – Sebuah Catatan Politik untuk Para Aktor Politik – oleh Armyndo Tlali – Sekretaris OMK Paroki Santa Filomena Mena
Prolog
Politik kontemporer kerap dipahami sebagai suatu permainan yang sarat strategi, negosiasi, aliansi, dan manipulasi. Permainan tersebut tidak lagi sekadar berakar pada ideologi atau kebijakan, melainkan bergerak dalam pusaran perebutan kekuasaan yang melibatkan partai politik, para pemimpin, serta kelompok masyarakat yang berkepentingan.
Dalam dinamika tersebut, para aktor politik dituntut memahami aturan—baik yang bersifat formal maupun non-formal—serta mampu memanfaatkan segala sumber daya untuk mencapai dominasi. Setiap aktor harus siap menghadapi tantangan, risiko, dan kompetisi yang muncul dari sesama pemain politik.
Beberapa unsur memperlihatkan kemiripan politik dengan sebuah permainan. Pertama, strategi dan taktik menjadi kunci dalam menentukan arah pergerakan politik. Pemimpin politik dituntut membuat perencanaan matang, mengambil keputusan cepat, dan beradaptasi dengan perubahan situasi. Kedua, aliansi dan koalisi menjadi kebutuhan strategis dalam mengamankan dukungan. Kerja sama antar partai politik merupakan jalan penting menuju kemenangan bersama. Ketiga, manipulasi dan negosiasi digunakan untuk mengatur opini publik, mempengaruhi arah isu, serta meraih kesepakatan kompromis. Keempat, setiap keputusan politik memuat risiko tinggi yang dapat membawa dampak besar, baik positif maupun negatif.
Namun, tidak seperti permainan yang hanya berdampak pada hiburan, politik memiliki konsekuensi nyata terhadap kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, setiap langkah politik seharusnya berada dalam kerangka norma, etika, hukum, dan prinsip-prinsip dasar yang menjaga marwah demokrasi dan keadaban publik.
Aktor Politik dan Hilangnya Moralitas
Ketika regulasi politik diabaikan, maka lahirlah politisi yang kehilangan orientasi moral. Fenomena meningkatnya politisi yang terjerat kasus korupsi menunjukkan adanya krisis etika dalam tubuh kekuasaan. Banyak nama pejabat kini tercatat bukan sebagai pelayan publik, tetapi sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Praktik korupsi telah merusak wajah demokrasi dan menciptakan jurang ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi negara.
Selain korupsi, maraknya janji-janji palsu menjelang pemilihan juga memperparah kondisi. Para politisi berlomba menyampaikan janji manis yang dibungkus retorika meyakinkan, namun minim realisasi. Contoh nyata seperti pengabaian terhadap komitmen menjaga kestabilan harga BBM bersubsidi menggambarkan lemahnya akuntabilitas politisi terhadap janji yang pernah disampaikan.
Meningkatnya Golongan Putih (Golput)
Akumulasi perilaku tidak etis dari para politisi mendorong lahirnya fenomena antipati publik. Ketidakpercayaan terhadap politisi berdampak pada meningkatnya jumlah pemilih yang memilih untuk golput. Golput bukan hanya bentuk protes, tetapi juga menjadi ancaman bagi keberlangsungan demokrasi. Ketika proses demokrasi kehilangan partisipasi rakyat, maka kekuasaan cenderung jatuh ke tangan segelintir elite yang berpotensi menyalahgunakannya.
Dalam keadaan tersebut, politisi menjadi semakin leluasa menyusun kebijakan yang hanya menguntungkan kelompok tertentu. Lembaga-lembaga negara terancam berubah menjadi instrumen kekuasaan semata, bukan pelayan masyarakat. Dampaknya dapat terlihat dalam meningkatnya angka kemiskinan, pengangguran, diskriminasi, hingga konflik sosial yang meresahkan tatanan kehidupan berbangsa.
Tanggung Jawab Rakyat dalam Demokrasi
Situasi politik yang korup dan manipulatif tidak dapat dibiarkan terus berlangsung. Dalam sistem demokrasi yang sejati, rakyat memiliki tanggung jawab konstitusional untuk memperbaiki keadaan. Kekuatan rakyat terletak pada kemampuannya memilih pemimpin yang memiliki integritas, visi kebangsaan, dan moralitas tinggi. Namun, tugas ini tidak ringan, mengingat rasa percaya masyarakat terhadap sistem dan aktor politik telah terkikis.
Pemulihan kepercayaan publik menuntut teladan nyata dari para politisi. Keteladanan tersebut mencakup integritas dalam bertindak, kejujuran dalam menyampaikan visi, serta kesetiaan pada hukum dan konstitusi. Untuk mewujudkannya, masyarakat sipil harus turut berperan aktif dalam menciptakan iklim politik yang sehat.
Urgensi Sanksi Politik
Salah satu instrumen penting dalam memperbaiki kualitas politik adalah pemberian sanksi politik. Sanksi politik merupakan bentuk hukuman sosial yang diberikan oleh rakyat kepada politisi yang tidak berpihak kepada rakyat, terlibat dalam korupsi, dan abai terhadap penegakan hukum. Bentuk sanksi tersebut dilakukan melalui sikap tidak memilih kembali politisi yang gagal menjalankan amanah.
Penerapan sanksi politik membutuhkan dukungan kolektif dari masyarakat sipil. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), media massa, organisasi masyarakat, akademisi, dan tokoh agama perlu berperan dalam menyadarkan rakyat. Edukasi politik harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan melalui publikasi, diskusi, penelitian, dan khotbah keagamaan yang menyinggung tanggung jawab moral dalam memilih pemimpin.
Epilog
Kekuatan sistem politik sangat menentukan arah pembangunan suatu negara. Ketika sistem berjalan secara bersih, transparan, dan akuntabel, maka hanya politisi bermoral yang akan mampu menembus seleksi alam demokrasi. Sebaliknya, sistem yang lemah membuka ruang bagi manipulasi dan politik transaksional.
Ketika pemilihan pejabat negara didominasi oleh transaksi politik, maka keputusan publik kerap kali lahir tanpa berpihak pada rakyat. Keadilan sulit ditemukan, hukum bisa dibeli, dan kekuasaan menjelma menjadi leviathan yang rakus. Dalam kerangka inilah pernyataan Lord Acton, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely,” menemukan relevansinya.
Namun, keyakinan tetap perlu dijaga bahwa bangsa Indonesia memiliki kapasitas untuk keluar dari krisis kepercayaan terhadap politik. Diperlukan pejabat negara yang sadar bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan privilese untuk memperkaya diri dan kelompok. Ketika kekuasaan diletakkan dalam porsinya—sebagai instrumen untuk mencapai kesejahteraan bersama—maka harapan akan lahirnya masyarakat adil dan makmur bukanlah utopia belaka.
Semoga Indonesia senantiasa dipimpin oleh para penyelenggara negara yang jujur, adil, dan berintegritas.
Penulis : Armyndo Tlali, Editor : Yudel Neno, Pr