Refleksi Kritis – KeuskupanAtambua.org – KEBIJAKAN TIMPANG DAN TANGGUNG JAWAB MORALNYA – Rm. Patris Sixtus Bere, Projo – (refleksi malam di Haumeni – dekat Oe apot) – Dunia Helenis mengenal dan mewariskan sebuah ungkapan sarat makna: tuta sub aegide Pallas — aman di bawah perisai Pallas Athena, dewi kebijaksanaan. Ungkapan ini menegaskan bahwa keputusan yang benar harus lahir dari kebijaksanaan atau minimal berada di bawah naungan kebijaksanaan. Keputusan haruslah sebuah kebijakan yang bijaksana dan bukan sekedar lahir dari sebuah otoritas atau kekuasaan. Pertanyaan utama dari tulisan ini adalah: apakah kebijakan publik kita hari ini masih berada di bawah perisai kebijaksanaan itu?
Fenomena Mutakhir Memperlihatkan Sebaliknya
Banyak kebijakan lahir dari perhitungan pragmatis dari si enak hati, si enak pikiran, si enak mulut, sang pemimpi. Pemimpin dewasa ini sering mengambil putusan yang menimbulkan polemik luas, lalu berlindung di balik aturan yang multitafsir dan sulit diakses publik. Aparat mengeksekusi aturan itu dengan alasan “sesuai hukum”, “ sesuai amanat regulasi dan perundang-undangan” walaupun eksekusi tersebut lebih banyak melukai rasa keadilan masyarakat.
Di titik ini, kita juga patut bertanya: mana yang lebih utama—aturan formal atau keadilan?
Aturan tanpa Jiwa – Kebijakan Timpang
Secara filosofis (baca : dalam pandangan yang sangat bijaksana), hukum dibuat untuk menjamin bonum commune—kebaikan bersama. Namun, dalam praktik, aturan termasuk undang-undang sekalipun kerap disusun untuk melayani kepentingan politis tertentu. Sejumlah pedoman yang dibuat, dimaksudkan untuk melayani res privata dan bukan res publica. Masyarakat dipaksa tunduk pada aturan yang membingungkan, sementara keadilan terasa kian jauh. Ketika aturan dan keadilan bertentangan, yang terjadi adalah jurang ketidakpercayaan. Ada fenomena resistensi yang merajalela. Ada gerakan dan riak di mana-mana.
Fenomena lainnya, eberapa orang di antaranya memilih untuk tidak peduli. Rakyat pun lantas bertanya: aturan ini dibuat untuk siapa—untuk kepentingan bersama, atau untuk mereka yang berkuasa?
Absennya kebijaksanaan terlihat nyata dalam sejumlah kebijakan atau fenomen berikut:
• Program mercusuar yang menyedot anggaran besar tanpa menjawab kebutuhan riil rakyat. Misalnya pembukaan lahan baru dari pemerintah yang dinilai tidak urgen dibandingkan dengan memaksimalkan lahan yang ada dengan program-program unggulan. Hiburan rakyat yang tidak berdampak pada kesejahteraan jangka Panjang, dan lain sebagainya.
• Alokasi anggaran legislatif yang tidak sebanding dengan kapasitas fiskal daerah. Berkaca pada kasus demonstrasi besar-besaran di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya terhadap kebijakan anggota Dewan yan tidak adil, menjadi contoh nyata resistensi dan penolakan public terhadap penyalahgunaan wewenang termasuk dana public untuk kepentingan segelintir orang.
• Kebijakan perekrutan ASN, dalam hal ini P3K yang justru menyingkirkan sebagian tenaga honorer yang telah lama mengabdi. Ketidakadilan ini memicu gelombang protes di berbagai daerah terhadap putusan ini.
Semuanya itu mungkin sah secara administratif, tetapi cacat di mata keadilan. Keputusan publik akhirnya tampak lebih sebagai instrumen kekuasaan ketimbang jalan menuju kieadilan atau kebaikan bersama yang dikehendaki.
John Rawls dan Selubung Ketidaktahuan
Di titik genting ini, gagasan filsuf politik John Rawls relevan untuk dijadikan juga sebagai penuntun gagasan keadilan. Rawls memperkenalkan konsep veil of ignorance atau selubung ketidaktahuan: keadilan sejati hanya dapat dirancang apabila seseorang mengambil keputusan seakan-akan ia tidak tahu posisi dirinya kelak dalam masyarakat—apakah ia kaya atau miskin, pejabat atau tenaga honorer, lahir di pusat kota atau di pelosok. Selubung ketidaktahuan memaksa setiap pengambil keputusan menanggalkan kepentingan pribadi dan kelompok. Dengan begitu, aturan yang lahir akan diarahkan pada perlindungan yang adil bagi semua orang, terutama yang paling lemah.
Bayangkan jika penyusun kebijakan publik di negeri ini sungguh memakai prinsip Rawls: setiap rancangan undang-undang, anggaran, atau keputusan administratif akan diuji dengan pertanyaan sederhana: Bagaimana jika saya sendiri berada di posisi rakyat kecil yang terkena dampaknya?
Res Publica dan Tanggung Jawab Moral
Konsep res publica (kepentingan bersama) dan bonum commune kini terasa semakin hari semakin jauh. Formalitas hukum berjalan, tetapi keadilan publik terluka. Kita pun kembali pada pertanyaan awal: apakah aturan dan keadilan dapat dipertentangkan? Jawabannya: aturan tanpa kebijaksanaan akan kehilangan jiwa. Undang-undang hanya bermakna bila berakar pada keadilan. Dengan kerangka Rawlsian, kita diingatkan bahwa keadilan sejati tidak boleh ditentukan oleh posisi sosial, melainkan oleh kesadaran moral bahwa siapa pun bisa berada di posisi paling rentan. Kerentanan (vulnerability) berarti keadaan seseorang atau kelompok yang lemah atau terbatas dalam melindungi dirinya dari risiko, kerugian, atau ketidakadilan. Dalam konteks sosial dan politik, kerentanan biasanya terkait dengan: Ekonomi: orang miskin yang tidak punya akses sumber daya. Sosial: kelompok minoritas yang sering dipinggirkan. Politik: warga yang tidak punya kuasa memengaruhi keputusan. Hukum: orang yang tidak memahami aturan hukum yang rumit. Struktural: misalnya posisi pekerja honorer, buruh harian, petani kecil, atau masyarakat di daerah terpencil. Kerentanan-kerentanan seperti inilah yang membuat orang-orang lebih mudah menjadi korban kebijakan yang tidak adil.
Kembali ke Perisai “Pallas”
Refleksi ini mengantar kita pada kesimpulan: perisai Pallas Athena, lambang kebijaksanaan, harus kembali menjadi payung bagi setiap kebijakan publik. Tanpa kebijaksanaan, hukum hanyalah teks kaku yang membenarkan kekuasaan. Dengan kebijaksanaan—dan kerendahan hati untuk memutuskan dari balik selubung ketidaktahuan—aturan bisa menjadi sarana nyata untuk menghadirkan keadilan dan mengembalikan politik pada tujuan sejatinya: melayani masyarakat.
Tugas utama para pemimpin hari ini bukan sekadar menyusun aturan baru atau menjalankan prosedur lama, melainkan memastikan setiap kebijakan lahir dari akal sehat dan nurani yang terarah pada kepentingan umum. Hanya dengan cara itu kepercayaan rakyat dapat dipulihkan, rasa keadilan dijaga, dan res publica ditegakkan kembali.
oleh Rm. Sixtus
Editor : Yudel Neno
1 Comment
🔥🔥🔥🔥