Opini – KeuskupanAtambua.org – Antropologi Pendidikan dan Relevansi Pendidikan Karakter: Refleksi atas Kegiatan Siswa Seminari Lalian di Kefamenanu – Penulis: Asc. Prof. Gregor Neonbasu, SVD, PhD – Sumbangan pemikiran dalam kegiatan Malam Kreasi yang digelar oleh para Siswa Seminari Lalian di Panggung Paroki Santa Theresia Kefamenanu, Sabtu, 24 Mei 2025, pukul 18.00 WITA, dalam rangka menyongsong Pesta 75 Tahun Seminari Lalian yang akan terlaksana pada September 2025 mendatang.
Catatan Pendahuluan
Kegiatan para siswa Seminari Lalian yang akan tampil di panggung Paroki Santa Theresia Kefamenanu, hari ini, Sabtu, 24 mei 2025 merupakan sumbangan berharga dan bernilai dalam kerangka pendidikan karakter. Inisiatif ini tidak hanya menjadi bagian dari dinamika internal lembaga pendidikan Seminari Lalian, tetapi sekaligus menjadi kontribusi yang bernas bagi arah pembinaan generasi muda Gereja lokal Keuskupan Atambua dan Gereja universal secara lebih luas.
Di tengah kecemasan akan kerapuhan moral generasi muda, kegiatan seperti ini tampil sebagai ruang afirmatif terhadap proses formasi integral kaum muda dalam Gereja.
Lebih dari sekadar ekspresi seni dan budaya, kegiatan tersebut menyampaikan pesan mendalam mengenai pentingnya pendekatan antropologis dalam pendidikan. Pendidikan karakter bukanlah konsep abstrak, tetapi merupakan narasi yang mengakar dalam pengalaman hidup, relasi sosial, dan nilai-nilai budaya yang dihayati.
Para siswa Lalian akan tampil, dan bukan hanya sebagai peserta pentas, tetapi sebagai subjek pembentuk nilai yang berdialog dengan masyarakat. Dalam konteks seperti inilah pendidikan karakter memperoleh relevansinya—yakni sebagai pendidikan yang memberi ruang bagi peserta didik untuk tumbuh secara utuh, berkarakter, dan bertanggung jawab terhadap dirinya maupun masyarakat.
Pendidikan Karakter Sebagai Fenomena Sosial Global
Pendidikan karakter kini hadir sebagai respons atas krisis moral dan sosial yang melanda berbagai lapisan masyarakat di seluruh dunia. Fenomena ini tidak lagi bersifat lokal, melainkan telah menjadi perhatian global, karena menyangkut persoalan dasar mengenai martabat manusia, kualitas relasi, dan tanggung jawab sosial. Dalam dunia pendidikan, karakter menjadi parameter yang tak kalah penting dibandingkan dengan prestasi akademik.
Pentingnya pendidikan karakter terletak pada kemampuannya menghargai harga diri peserta didik secara mendalam. Dalam konteks Seminari Lalian, anak-anak muda yang sedang ditempa menjadi calon imam dibentuk bukan hanya secara intelektual, tetapi juga secara etis dan spiritual. Mereka dilatih untuk memiliki integritas, tanggung jawab, dan kesadaran sosial. Hal ini terlihat dalam berbagai bentuk pentas yang mereka hadirkan—bukan sekadar untuk hiburan, tetapi sebagai refleksi dari nilai-nilai luhur yang hendak dibagikan.
Pendidikan Makna dan Penemuan Nilai
Pendidikan karakter selalu bertolak dari pengakuan terhadap pentingnya makna dalam hidup manusia. Pesemaian nilai bukanlah sekadar pengajaran norma, melainkan proses penemuan makna yang kontekstual dan relasional. Dalam kegiatan pentas para siswa Lalian, makna ditemukan melalui keterlibatan aktif dalam realitas masyarakat, melalui laku seni, dan perjumpaan antarpribadi yang penuh empati.
Nilai-nilai dasar seperti hormat, tanggung jawab, solidaritas, dan kesederhanaan bukan diajarkan dalam ruang kelas yang kaku, tetapi dihidupi dalam tindakan konkret. Oleh karena itu, setiap pentas menjadi sarana belajar untuk membaca realitas, menafsir nilai, dan mewujudkan makna secara nyata. Pendidikan seperti ini menyentuh kedalaman manusia, karena bersifat eksistensial dan dialogis.
Penciptaan Lingkungan Kondusif dalam Lembaga Pendidikan
Keberhasilan pendidikan karakter sangat ditentukan oleh lingkungan yang kondusif bagi tumbuhnya kepribadian peserta didik. Suasana yang ramah, adil, dan saling menghargai menjadi prasyarat utama agar nilai-nilai dapat dihayati dan ditransformasikan menjadi kebiasaan hidup. Dalam lembaga seperti Seminari Lalian, setiap individu—baik peserta didik maupun pembina—perlu dilibatkan secara aktif dalam membangun ekosistem pendidikan yang berdaya bentuk.
Penghargaan terhadap perbedaan, dialog antaranggota komunitas, dan pembinaan yang tidak memaksa namun memampukan, menjadi indikator utama lingkungan kondusif. Hal tersebut akan membangun rasa aman dan terbuka pada diri anak-anak Lalian sehingga mereka dengan percaya diri dapat menyampaikan gagasan, mengembangkan bakat, dan membentuk jati diri. Maka, proses pendidikan karakter menjadi alami dan menyeluruh.
Pentas dan Jati Diri Sosial Calon Imam
Ketika anak-anak Lalian tampil di depan publik, mereka sebenarnya sedang membentuk dan menyampaikan jati diri sosial mereka. Tindakan berkreasi di depan masyarakat bukan hanya sebagai bentuk ekspresi seni, tetapi juga sebagai latihan tanggung jawab dan keberanian tampil sebagai representasi nilai-nilai yang mereka hayati dalam komunitas seminari.
Dengan tampil di luar lingkungan internal, wawasan mereka diperluas dan dimampukan untuk mengenali konteks masyarakat yang lebih luas. Mereka belajar membaca kebutuhan, mengolah pesan, dan beradaptasi dengan publik yang beragam. Aktivitas seperti ini memperkaya kepribadian mereka, menjadikan mereka calon pemimpin rohani yang tidak terisolasi, tetapi mampu hadir dalam realitas umat.
Strategi Desain Program Pendidikan Karakter
Efektivitas pendidikan karakter menuntut perencanaan program yang jelas, kontekstual, dan partisipatif. Desain program yang baik harus realistis, fleksibel, dan mampu merespons dinamika sosial di sekitar. Anak-anak Lalian butuh lebih dari sekadar jadwal kegiatan; mereka memerlukan ruang-ruang kreatif yang memungkinkan mereka menemukan dan menghidupi nilai secara nyata.
Strategi ini menyangkut juga keterbukaan untuk mengevaluasi metode yang digunakan selama ini. Pendidikan tidak boleh berhenti pada pengulangan rutinitas, tetapi harus terus berinovasi dan mendekatkan diri pada dunia anak-anak. Di sinilah peran kreativitas pentas sebagai medium strategis pendidikan karakter yang efektif, karena langsung menyentuh dimensi emosional dan sosial peserta didik.
Integrasi Makna dan Nilai Lokal
Kegiatan anak-anak Lalian di tengah masyarakat Kefa membuka ruang baru bagi integrasi nilai-nilai lokal ke dalam kurikulum formasi. Kehadiran mereka di tengah masyarakat bukan hanya untuk tampil, melainkan untuk belajar dari kehidupan masyarakat yang kaya akan makna, simbol, dan narasi budaya. Inilah yang disebut dengan pendekatan emik dalam antropologi pendidikan.
Proses ini memberi peluang bagi anak-anak seminari untuk mengenali akar budaya masyarakatnya, menghormati kearifan lokal, dan mengolahnya sebagai bahan refleksi teologis dan moral. Maka, formasi mereka tidak berjarak dari kenyataan umat, melainkan sangat akrab dan relevan. Dengan demikian, calon imam tidak menjadi pribadi asing, tetapi gembala yang mengerti dan mencintai dombanya.
Keterlibatan Komunitas dalam Proses Pendidikan
Pendidikan karakter yang berdaya guna memerlukan keterlibatan masyarakat secara aktif. Masyarakat bukan hanya sebagai penerima hasil pendidikan, tetapi juga sebagai sumber nilai dan mitra pembinaan. Dalam hal ini, komunitas sekitar, tokoh adat, dan orangtua memiliki peran strategis dalam membentuk suasana yang menunjang pendidikan karakter.
Anak-anak Lalian perlu didorong untuk menjalin relasi dengan tokoh masyarakat, belajar dari mereka, dan menyerap nilai-nilai hidup yang otentik dari keseharian masyarakat. Sinergi ini menjadikan pendidikan karakter sebagai gerakan kolektif yang bermuara pada pembentukan pribadi-pribadi unggul yang menyatu dengan komunitasnya.
Gereja dan Kolaborasi Kurikulum Nilai
Gereja, sebagai pelayan sabda dan pembina umat, perlu mengambil bagian lebih aktif dalam penyusunan kurikulum pendidikan karakter. Kerja sama antara lembaga pendidikan, Gereja lokal, pemerintah, dan masyarakat adat menjadi mutlak. Proses ini akan melahirkan kurikulum yang tidak saja akademis, tetapi juga moral dan sosial.
Yesus Kristus sendiri dalam karya pewartaan-Nya adalah pendidik karakter sejati. Maka, Gereja dipanggil untuk meneladani pola tersebut dengan terus menyokong lembaga-lembaga pendidikan karakter seperti Seminari Lalian. Langkah strategisnya adalah menjadikan nilai-nilai lokal sebagai bahan ajar, bukan hanya untuk diketahui, tetapi untuk dihayati dan dijadikan gaya hidup.
Catatan Simpulan
Kegiatan malam kreasi para siswa Seminari Lalian di Kefamenanu merupakan wujud nyata dari pendidikan karakter berbasis antropologi. Pendidikan seperti ini tidak hanya membentuk pribadi yang cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara moral dan sosial. Dalam terang refleksi ini, Seminari Lalian telah menunjukkan bahwa pendidikan karakter tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial dan budaya tempat peserta didik berada.
Maka, untuk menyongsong masa depan yang lebih bermartabat, pendidikan karakter harus tetap menjadi jantung dari seluruh proses pembinaan.
Editor : Rm. Yudel Neno, Pr