Opini – KeuskupanAtambua.org – Partisipasi Umat Katolik dalam Kegiatan Gerejawi dan Berbagai Tingkatannya-oleh Rm. Yudel Neno, Pr berdasarkan Klasifikasi Rm. Yustinus Adianto, Pr
Kehidupan menggereja umat Katolik menunjukkan ragam partisipasi yang berbeda-beda. Ragam ini menggambarkan bagaimana umat merespons panggilan untuk terlibat dalam karya keselamatan yang diwujudkan melalui komunitas Gereja. Berdasarkan refleksi pastoral Rm. Yustinus Adianto, Pr, dari Keuskupan Agung Jakarta, umat Katolik dapat dikelompokkan ke dalam lima tipe partisipasi yang mencerminkan kedalaman iman dan keterlibatan mereka dalam kehidupan Gereja.
Tipe pertama dikenal sebagai Aktivis Aktif Tanpa Syarat. Umat dalam kelompok ini senantiasa hadir dalam berbagai kegiatan gerejawi, baik sebagai pengurus lingkungan, pelayan liturgi, maupun panitia kegiatan rohani. Mereka bersedia hadir kapan saja, tanpa mempertimbangkan kenyamanan pribadi. Semangat pelayanan dan ketulusan hati menjadi ciri khas mereka. Komitmen yang kuat membuat kehadiran mereka sangat rutin dan andal.
Kehadiran umat tipe ini tidak hanya menopang kegiatan paroki, tetapi juga meneguhkan semangat komunitas. Tanpa peran mereka, pelayanan gerejawi akan terasa timpang. Oleh karena itu, mereka layak disebut sebagai penggerak utama dalam kehidupan paroki.
Tipe kedua disebut Tidak Aktivis Tapi Rajin. Meskipun tidak masuk dalam struktur organisasi atau kepanitiaan, umat kelompok ini setia dalam menjalankan kehidupan rohaninya. Mereka rajin mengikuti Misa, terutama Misa harian, serta aktif dalam berbagai bentuk devosi.
Bagi mereka, perayaan Ekaristi bukan sekadar rutinitas, melainkan perjumpaan mendalam dengan Yesus Kristus. Gaya hidup yang sederhana dan ketekunan dalam beribadah menjadikan mereka teladan iman yang hening namun berpengaruh. Kehadiran mereka menunjukkan bahwa iman dapat tumbuh kuat meskipun tidak selalu diwujudkan melalui kegiatan yang tampak.
Berikutnya adalah tipe ketiga, yaitu Minimalis. Umat dalam kelompok ini biasanya hanya mengikuti Misa pada hari Minggu atau Sabtu sore. Setelah Misa selesai, mereka merasa telah memenuhi kewajiban rohani mingguan dan tidak terdorong untuk terlibat lebih lanjut.
Keterlibatan mereka sangat terbatas pada waktu dan rutinitas. Gereja tidak mereka maknai sebagai ruang pertumbuhan iman, melainkan sebagai tempat untuk sekadar menunaikan kewajiban. Keterbatasan ini membuat mereka sulit merasa menjadi bagian dari komunitas.
Tipe keempat adalah Napasina, singkatan dari Natal, Paskah, Sambut Baru, Nikah, dan Kematian. Umat yang tergolong dalam tipe ini hanya hadir dalam perayaan-perayaan besar atau saat ada peristiwa penting dalam keluarga.
Mereka memandang Gereja sebagai tempat perayaan, bukan sebagai rumah rohani yang perlu dihidupi setiap hari. Identitas Katolik masih mereka pegang, namun lebih bersifat budaya daripada kesadaran iman yang aktif. Partisipasi mereka sangat bersifat musiman dan simbolik.
Tipe kelima adalah Sangat Pasif. Umat dalam tipe ini tidak lagi menghadiri Misa, tidak mengikuti kegiatan gereja, bahkan sering kali meninggalkan sakramen-sakramen penting. Mereka menjauh dari kehidupan Gereja, dan kerap kali tidak memiliki relasi rohani dengan komunitas umat beriman.
Beberapa dari mereka mungkin pernah terluka atau merasa tidak diterima, sehingga secara perlahan menjauh. Keheningan dan ketidakhadiran mereka menjadi luka dalam tubuh Gereja, karena mereka adalah bagian yang hilang, yang sesungguhnya sangat dirindukan untuk kembali dipeluk.
Kelima tipe partisipasi tersebut merupakan kenyataan yang harus diakui oleh Gereja. Pengelompokan ini tidak dimaksudkan untuk menghakimi, melainkan sebagai sarana pastoral untuk menyadarkan umat bahwa iman bukan hanya untuk diimani secara pribadi, melainkan juga untuk dihidupi bersama dalam persekutuan.
Semua umat memiliki potensi yang dapat dikembangkan, dan seluruh umat layak dibina. Oleh sebab itu, Gereja harus hadir sebagai rumah bersama yang merangkul setiap pribadi apa adanya.
Salah satu penyebab utama kurangnya keterlibatan umat dalam kegiatan Gereja adalah keterbatasan pembinaan iman. Banyak umat yang belum memahami makna liturgi dan pentingnya pelayanan. Minimnya pendampingan menyebabkan iman yang tidak bertumbuh, dan pada akhirnya membuat umat enggan terlibat.
Pembinaan yang terstruktur dan menyeluruh perlu dijalankan secara berkesinambungan, agar umat dapat semakin memahami, menghayati, dan mewujudkan imannya secara nyata.
Selain itu, pola hidup individualistis yang semakin kuat dalam masyarakat juga berpengaruh besar. Kesibukan, tekanan pekerjaan, dan gaya hidup serba cepat membuat waktu untuk Tuhan menjadi hal yang mudah diabaikan. Banyak orang lebih mengutamakan kenyamanan dan kepentingan pribadi. Dalam situasi ini, Gereja sering kali dianggap tidak relevan, dan komunitas iman pun menjadi kurang menarik.
Untuk menjawab tantangan tersebut, diperlukan beberapa solusi yang bersifat ideal sekaligus praktis. Pertama, meningkatkan pembinaan iman dengan menghadirkan katekese yang menarik dan relevan bagi semua kelompok usia. Kedua, membangun komunitas kecil melalui pertemuan lingkungan yang rutin dan dialog iman yang sederhana, sehingga tercipta kedekatan yang alami dan penuh kekeluargaan. Ketiga, mengajak umat terlibat sesuai talenta masing-masing, dimulai dari tugas-tugas kecil yang dapat menumbuhkan rasa memiliki. Keempat, menyelenggarakan kegiatan yang kreatif, khususnya yang melibatkan orang muda dan lintas generasi, agar tercipta semangat kebersamaan yang segar dan menyenangkan.
Pada akhirnya, partisipasi umat Katolik dalam kehidupan menggereja memang beragam, namun setiap bentuk kehadiran tetap memiliki nilai di mata Tuhan. Gereja dipanggil untuk tidak tinggal diam, melainkan aktif menyapa dan membina semua umat, tanpa kecuali. Pendekatan yang digunakan hendaknya bersifat lembut dan menghibur, bukan menghakimi atau mencela. Sebab, iman bertumbuh bukan dalam tekanan, tetapi dalam relasi kasih. Melalui kebersamaan dan partisipasi aktif, Gereja akan semakin hidup sebagai tanda keselamatan di tengah dunia.