Opini, KeuskupanAtambua.org – Rukun Bersama Saudara: Jalan Menuju Berkat dan Martabat dalam Dialog Antaragama – oleh Rm. Yudel Neno, Pr
Teks Kitab Suci yang Menginspirasi Tulisan Ini
Tulisan ini merupakan permenungan lanjutan atas Mazmur 133:1–3, sebuah nyanyian ziarah Daud yang menggambarkan indahnya hidup dalam kerukunan. Walau konteks aslinya berbeda, hikmah universalnya tetap relevan. Bahwasannya; persaudaraan yang rukun memantulkan berkat Allah dan memperlihatkan-Nya sebagai sumber damai sejati.
Dalam edisi studi Alkitab, istilah “nyanyian ziarah” (Mazmur 120:1) dimaknai sebagai “naik” ke Bukit Sion—sebuah gerak simbolik umat Israel menuju perjumpaan syukur dengan Allah. Gerak “naik” yang dimaksud, tidak hanya geografis, melainkan juga spiritual, yakni dari kehidupan sehari-hari menuju relasi suci dengan Yang Ilahi.
Bagi umat Kristiani masa kini, terutama dalam konteks pluralisme religius, nyanyian ziarah yang dimaksud di atas; menjadi lambang gerak bersama seluruh umat manusia—lintas agama—menuju Allah yang satu. Dalam cara pandang inilah tulisan ini berusaha mengurai makna dan praksis kerukunan antarumat beragama.
Arti Kerukunan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “rukun” berarti damai dan bersahabat, serta bersepakat dalam hati. Dari kata ini; lahirlah “kerukunan” yang mengacu pada hidup dalam kesepahaman dan persatuan hati. Kerukunan, dengan demikian, bukanlah sebatas suasana sosial, tetapi merupakan cerminan dari kualitas relasi manusia dengan sesamanya dan dengan Yang Transenden. Ia menjadi identitas sosial sekaligus spiritual, yang menuntut keberanian untuk hidup dalam kebaikan bersama.
Kerukunan Antarumat Beragama
Tak satu pun agama sejati mengajarkan kekerasan terhadap pemeluk agama lain. Jika kekerasan muncul, itu lebih sering disebabkan oleh kesalahan tafsir terhadap ajaran atau ambisi kekuasaan yang mengatasnamakan iman. Karenanya, membangun kerukunan dalam keberagaman adalah keutamaan moral yang melampaui retorika toleransi biasa.
Kerukunan dalam relasi antaragama merupakan suatu kondisi sosial-religius yang ditandai oleh hidup berdampingan secara damai, saling menghormati, dan bekerja sama antara pemeluk agama yang berbeda. Dalam perspektif teologi Katolik, kerukunan bukan sekadar ketiadaan konflik, melainkan wujud konkret dari semangat persaudaraan universal (fraternitas universalis) yang berakar pada penciptaan manusia menurut gambar dan rupa Allah (bdk. Kej. 1:26-27). Kerukunan menuntut keterlibatan aktif seluruh umat beriman dalam membangun relasi yang sehat dan bermartabat, tanpa mengorbankan identitas iman masing-masing.
Kerukunan yang autentik tercermin dalam kesediaan umat beragama untuk hidup dalam empat bentuk dialog yang direkomendasikan oleh Magisterium Gereja, yakni: dialog kehidupan, dialog karya, dialog teologis, dan dialog pengalaman religius (bdk. Nostra Aetate 2).
Dialog kehidupan menumbuhkan sikap saling peduli dalam kehidupan sehari-hari; dialog karya menekankan solidaritas dalam menghadapi masalah sosial dan kemanusiaan; dialog teologis memupuk saling pengertian atas dasar penghormatan terhadap perbedaan doktrin; dan dialog pengalaman religius memperdalam spiritualitas masing-masing tanpa superioritas. Keempat bentuk dialog ini, membentuk fondasi kerukunan yang integratif dan transformatif.
Dengan demikian, kerukunan antaragama tidak dapat dipahami sebagai kompromi teologis, melainkan sebagai tanggung jawab moral dan spiritual yang muncul dari iman yang matang. Sebagaimana dikatakan dalam Mazmur 133:1, “Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun!”, maka kerukunan menjadi tanda kehadiran Allah yang memberkati umat-Nya ketika mereka hidup dalam cinta kasih, saling menghormati, dan bekerjasama demi kebaikan bersama (bonum commune). Dialog yang didasari oleh ketulusan, tanpa motif manipulatif, menjadi jalan menuju perdamaian sejati dalam masyarakat pluralistik.
Rukun sebagai Bahasa Batin
Kerukunan pertama-tama adalah bahasa batin yang damai. Manusia yang damai dengan dirinya, akan lebih siap hidup damai dengan orang lain. Namun, batin yang damai tidak cukup bila tidak mewujud dalam tindakan sosial. Rukun bukan isolasi spiritual, tetapi keterbukaan eksistensial. Dalam kerangka ini, rukun berarti damai dengan diri, dengan agama yang dianut, dan juga dengan sesama penganut agama lain.
Rukun sebagai Bahasa Kritis
Kerukunan tidak boleh menjadi topeng dari kemunafikan atau sikap permisif yang membiarkan kebenaran dicampuradukkan. Rukun mesti berjalan beriringan dengan sikap kritis, bukan untuk menyerang, tetapi untuk mempertahankan integritas iman. Sikap ini mencegah dua ekstrem: indiferentisme yang menyamaratakan semua agama, dan eksklusivisme yang merendahkan agama lain. Rukun adalah kedamaian yang kritis: mengasihi tanpa menyerah pada relativisme.
Rukun sebagai Bahasa Persaudaraan
Hidup bersaudara mengandaikan batin yang damai dan sikap kritis yang sehat. Persaudaraan sejati bukan sentimentalitas kosong, melainkan kesediaan untuk mengakui kebenaran dalam agama lain sembari setia pada iman sendiri. Dekrit Unitatis Redintegratio menegaskan bahwa dialog sejati dalam keragaman harus mencapai pengakuan akan wahyu ilahi yang juga bekerja dalam umat lain. Dalam semangat ini, persaudaraan diuji dan dipertumbuhkan.
Rukun sebagai Komitmen terhadap Martabat Sosial Manusia
Kerukunan bukan sekadar sikap batin, tetapi juga komitmen etis. Ia mengandaikan penghormatan terhadap sesama sebagai citra Allah, melampaui identitas agamanya. Dalam solidaritas ini, setiap orang melihat sesama sebagai dirinya yang lain, yang layak disapa dan dilayani. Rukun sebagai komitmen menghasilkan tindakan nyata demi kesejahteraan bersama dan pelestarian martabat manusia.
Memperkuat Kerukunan melalui Dialog
Dialog antaragama adalah sarana paling luhur untuk membangun kerukunan. Namun, dialog bukanlah ajang perekrutan, adu debat, apalagi arena propaganda kebenaran sepihak. Dialog tidak dimaksudkan untuk menciptakan teologi universal, melainkan untuk merayakan kekayaan iman masing-masing. Jika disalahgunakan, dialog justru bisa menjadi pintu masuk konflik. Maka, dialog menuntut sikap rendah hati, jujur, dan saling terbuka.
Empat Macam Dialog dalam Dokumen Gereja
Empat bentuk dialog dalam Gereja Katolik—berdasarkan dokumen Nostra Aetate, Ad Gentes, dan Unitatis Redintegratio, serta penjabaran Armada Riyanto, CM—membantu memperkuat kerukunan antarumat beragama.
Dialog Kehidupan atau Persaudaraan
Dialog Kehidupan atau Persaudaraan merupakan bentuk dialog paling mendasar dan konkrit yang terjadi dalam kehidupan harian, terutama di tengah masyarakat majemuk. Dialog ini tidak mengandalkan forum resmi atau perdebatan teologis, melainkan tumbuh dari pengalaman bersama dalam bekerja, berjualan, bersekolah, merawat lingkungan, dan menanggapi krisis sosial. Dalam konteks ini, umat beragama saling mengenal bukan pertama-tama melalui ajaran kitab suci masing-masing, tetapi lewat tindakan nyata yang mencerminkan kepedulian dan empati. Sebagaimana dikatakan dalam Nostra Aetate 2, relasi seperti ini merupakan pengakuan akan satu asal-usul dan tujuan manusia, yakni Allah, dan menjadi dasar untuk menghormati satu sama lain sebagai saudara.
Dalam semangat subsidiaritas dan solidaritas sebagaimana digarisbawahi dalam Ad Gentes 11 dan 16, serta Unitatis Redintegratio 9, dialog kehidupan memupuk kesadaran bahwa hidup berdampingan bukan sekadar kebetulan geografis, melainkan sebuah panggilan iman untuk saling membantu dan membangun kebaikan bersama. Ketika umat beragama saling memperhatikan dalam situasi suka dan duka—misalnya saat merawat tetangga yang sakit, membantu korban bencana, atau ikut serta dalam pesta budaya—maka terciptalah kerukunan sejati yang tidak rapuh. Inilah wujud konkret dari iman yang bertemu dengan kemanusiaan dan menghasilkan harmoni, meskipun dalam keberbedaan keyakinan.
Dialog Karya atau Kerja Sama
Dialog Karya atau Kerja Sama adalah bentuk dialog yang terwujud dalam tindakan nyata, khususnya saat umat beragama bahu-membahu menanggapi situasi darurat, seperti bencana alam, kelaparan, kemiskinan, atau krisis kemanusiaan lainnya. Dalam saat-saat genting seperti itu, perbedaan agama bukan menjadi penghalang, melainkan justru menjadi peluang untuk bersatu dalam semangat kemanusiaan. Sebagaimana ditegaskan dalam Nostra Aetate 2, semua manusia adalah ciptaan Allah yang satu, dan karena itu dipanggil untuk saling mendukung dan memperjuangkan martabat manusia secara bersama-sama. Kerja sama lintas iman mencerminkan kasih universal yang tidak membeda-bedakan, melainkan memelihara kehidupan bersama sebagai anugerah ilahi.
Tindakan kolaboratif dalam dialog menjadi kesaksian iman yang hidup, di mana kasih bukan hanya diwujudkan dalam doa dan ibadah, tetapi juga dalam tindakan konkret yang membawa harapan dan pemulihan bagi sesama. Ketika umat Kristen, Muslim, Hindu, Buddha, dan penganut agama lain turun tangan bersama membangun kembali rumah-rumah warga, mendistribusikan bantuan, atau merawat yang terluka, maka terbentuklah jembatan perdamaian yang kokoh. Dalam dialog karya seperti ini, iman tidak hanya menjadi identitas pribadi, tetapi menjadi kekuatan kolektif yang menyatukan umat manusia dalam kasih dan kepedulian bersama, membuktikan bahwa Allah bekerja juga melalui kerja sama di antara mereka yang berbeda iman.
Dialog Pandangan Teologis (untuk Para Ahli)
Dialog Pandangan Teologis (untuk Para Ahli) merupakan bentuk dialog yang melibatkan para teolog, rohaniwan, atau pemuka agama dari berbagai tradisi keimanan. Tujuannya bukan untuk mencari titik persamaan secara paksa atau menyeragamkan keyakinan, melainkan untuk saling memahami kedalaman ajaran masing-masing dengan jujur dan terbuka. Dalam semangat Nostra Aetate 2 dan Unitatis Redintegratio 4, dialog ini mengandaikan adanya pengakuan akan kebenaran yang juga hadir, meskipun dengan cara yang berbeda, dalam agama-agama lain. Oleh karena itu, sikap rendah hati, respek mendalam, dan kemauan untuk mendengarkan menjadi dasar etis yang tidak bisa ditawar dalam perjumpaan teologis lintas iman.
Dialog seperti ini menjadi penting di tengah dunia yang sering dilanda kecurigaan dan prasangka antarumat beragama. Melalui diskusi yang mendalam tentang konsep ketuhanan, keselamatan, manusia, moralitas, dan spiritualitas, para ahli agama membantu membongkar stereotip dan membuka ruang untuk saling memperkaya. Bukan untuk menyamakan semua agama, melainkan untuk menegaskan bahwa perbedaan tidak harus menjadi ancaman, melainkan peluang untuk bertumbuh dalam pemahaman dan kedewasaan iman. Dalam terang ini, dialog teologis adalah bentuk tinggi dari penghormatan terhadap kebebasan beriman dan pengakuan bahwa kebenaran ilahi lebih besar daripada batas-batas pemahaman manusia.
Dialog Pengalaman Keagamaan
Dialog Pengalaman Keagamaan merupakan bentuk dialog yang paling mendalam dan personal dalam perjumpaan antarumat beriman. Dialog ini tidak sekadar membahas ajaran atau kerja sama sosial, tetapi memasuki ranah spiritualitas yang paling intim, yakni pengalaman akan kehadiran Allah dalam doa, meditasi, kontemplasi, dan hidup rohani sehari-hari. Dalam terang Nostra Aetate 2, dialog ini menjadi mungkin dan bermakna hanya jika didasarkan pada iman yang teguh dan identitas religius yang jelas. Dengan demikian, umat beriman tidak larut dalam sinkretisme, melainkan saling memperkaya lewat kesaksian rohani yang tulus dan mendalam.
Dalam ruang dialog ini, umat dari berbagai agama dapat berbagi bagaimana mereka merasakan kedekatan dengan Yang Ilahi, bagaimana mereka menafsir penderitaan, harapan.
Dasar-Dasar Kristiani untuk Dialog Antaragama yang Autentik
Dalam dunia yang semakin plural dan terhubung, dialog antaragama menjadi kebutuhan mendesak demi membangun perdamaian dan memperkuat solidaritas antarumat manusia. Namun, bagi umat Katolik, keterlibatan dalam dialog lintas iman tidak dapat dilakukan atas dasar kompromi iman atau relativisme kebenaran. Sebaliknya, dialog yang sejati justru berakar pada identitas iman yang kokoh dalam Kristus dan dijiwai oleh kesadaran akan karya Roh Kudus yang melampaui batas-batas lahiriah Gereja.
Uraian selanjutnya di bawah ini, mengajak kita untuk memahami dan sekaligus merupakan penegasan terhadap pentingnya empat unsur fundamental dalam dialog yakni iman akan Kristus (Art. 20), pendalaman Kitab Suci (Art. 21), kehidupan sakramental (Art. 22), dan kehidupan dalam Kristus (Art. 23)—merupakan syarat mutlak bagi keterlibatan umat Katolik dalam dialog antaragama yang mendalam dan otentik. Keempat dimensi ini tidak hanya memperkuat identitas Kristiani, tetapi juga membuka ruang bagi penghargaan yang tulus terhadap tradisi keimanan lain. Dengan demikian, dialog lintas agama bukanlah pengaburan iman, melainkan kesaksian kasih Kristus yang hadir melalui integritas hidup dan belarasa sejati. Dalam terang inilah, Gereja hadir di tengah dunia sebagai saksi kebenaran dan kasih, sekaligus pelayan harapan di antara umat manusia yang beragam.
Art. 20 – Iman akan Kristus
Sebagai umat Katolik, setiap bentuk dialog antaragama berakar pada iman yang teguh akan Yesus Kristus, Putra Allah yang menjadi manusia demi keselamatan seluruh umat manusia. Kristus adalah pusat pewahyuan ilahi dan dasar keselamatan yang ditawarkan kepada semua orang, seperti ditegaskan dalam Dominus Iesus (2000). Oleh karena itu, keterlibatan kita dalam dialog bukan karena relativisme, melainkan sebagai ungkapan kesetiaan kepada Kristus yang mengutus Gereja untuk menjadi saksi kasih-Nya di tengah dunia. Identitas Katolik yang kokoh dalam Kristus tidak melemahkan dialog, justru menjadi kekuatan rohani yang memungkinkan kita hadir dengan rendah hati dan penuh keyakinan.
Iman akan Kristus juga menjadi fondasi etis yang mendorong kita untuk membangun relasi lintas iman dalam semangat kasih, kebenaran, dan penghormatan terhadap martabat manusia. Dalam perjumpaan dengan penganut agama lain, kita membawa cahaya Kristus bukan sebagai dominasi, tetapi sebagai terang yang menyinari dialog menuju persaudaraan sejati. Sebab sebagaimana Kristus datang bukan untuk menghakimi, tetapi untuk menyelamatkan, demikian pula kita dipanggil untuk menghadirkan wajah Kristus yang penuh belaskasihan, mengundang tanpa memaksa, dan mencintai tanpa syarat.
Art. 21 – Pendalaman Kitab Suci
Kitab Suci menjadi sumber hidup rohani dan rujukan normatif bagi umat Katolik dalam memahami kehendak Allah. Melalui pendalaman Sabda Tuhan, kita dibentuk untuk mengenal nilai-nilai hakiki seperti kasih, keadilan, pengampunan, dan belas kasih, yang juga dapat ditemukan dalam bentuk-bentuk berbeda pada agama-agama lain. Dengan demikian, dialog antaragama menjadi ruang untuk mengenali dan menghargai benih kebenaran dan kebaikan yang tersebar dalam berbagai tradisi religius, sebagaimana dikatakan dalam Lumen Gentium 16 dan Nostra Aetate 2.
Pendalaman Kitab Suci juga membentuk kepekaan hati untuk membaca tanda-tanda zaman secara iman. Ketika umat Katolik memasuki dialog dengan umat beragama lain, mereka tidak sekadar membawa wawasan teologis, tetapi juga membawa roh Sabda yang hidup—roh yang membangun jembatan dan bukan tembok. Dalam semangat ini, dialog bukanlah pelemahan iman, melainkan kesempatan untuk memberi kesaksian tentang Sabda yang menjadi daging, sekaligus mengenali bagaimana Allah bekerja secara misterius di luar batas-batas gerejawi.
Art. 22 – Kehidupan Sakramental
Kehidupan sakramental adalah puncak dan sumber kehidupan rohani umat Katolik, terutama dalam Ekaristi yang menyatukan kita dengan Kristus dan sesama. Meskipun sakramen-sakramen ini tidak dihayati dalam tradisi agama lain, penghargaan terhadap nilai keselamatan universal tetap menjadi bagian penting dari semangat dialog. Gereja, sebagaimana ditegaskan dalam Gaudium et Spes 22, percaya bahwa Roh Kudus dapat bekerja juga di luar batas-batas kelihatan Gereja, dan bahwa semua manusia dipanggil untuk keselamatan.
Dengan demikian, dalam berdialog, kita tidak mengabaikan kekhasan sakramental Gereja, tetapi juga tidak menutup mata terhadap karya rahmat Allah yang melampaui keterbatasan manusia. Kita memandang penganut agama lain sebagai sesama peziarah yang juga mencari kebenaran dan keselamatan, dan dalam semangat itu kita membangun komunikasi rohani yang jujur dan terbuka. Hidup sakramental mendorong kita untuk menjadi saksi yang rendah hati, bukan superior; sebagai pelayan rahmat, bukan pemilik keselamatan.
Art. 23 – Kehidupan dalam Kristus
Hidup dalam Kristus berarti hidup dalam kasih yang berbuah dalam keadilan, perdamaian, dan belarasa, khususnya dalam relasi dengan sesama, termasuk penganut agama lain. Iman yang hidup bukan sekadar doktrin, melainkan kesaksian nyata akan kasih Allah yang menyatukan dan menyembuhkan dunia. Maka, dialog antaragama menjadi ekspresi konkret dari hidup Kristiani yang tidak egois, tetapi inklusif dan penuh kasih, sebagaimana ditekankan oleh Rasul Paulus: “Kasih Kristus menguasai kami” (2Kor 5:14).
Sebagai murid Kristus, kita dipanggil untuk membawa buah-buah Roh dalam perjumpaan lintas iman: damai, kesabaran, kemurahan, dan penguasaan diri (lih. Gal 5:22-23). Inilah wajah Gereja yang hadir bukan untuk menguasai, melainkan melayani; bukan untuk menutup diri, tetapi membuka diri dalam semangat misi. Dalam dialog antaragama, hidup dalam Kristus menjadi kesaksian nyata yang tidak hanya terucap dalam kata, tetapi terpancar dalam tindakan kasih yang menyembuhkan luka-luka sejarah dan membangun harapan baru bagi kemanusiaan.
Bila Bersama Saudara Hidup Rukun
Hidup bersama akan sungguh rukun apabila setiap penganut agama bersedia menghidupi keempat bentuk dialog antaragama dengan penuh tanggung jawab iman dan integritas spiritual. Dalam dialog kehidupan, kerukunan tumbuh dari semangat saling peduli dalam keseharian—menyapa, membantu, dan hadir dalam suka maupun duka tanpa memandang latar belakang agama. Dalam dialog kerja sama, persaudaraan diperkuat melalui tindakan nyata yang tulus dalam menolong sesama, khususnya di saat krisis dan penderitaan, tanpa menyisipkan agenda tersembunyi. Kedua bentuk dialog ini membangun fondasi relasional yang kokoh karena berpijak pada kemanusiaan bersama.
Sementara itu, dialog pandangan teologis mengundang umat beragama, khususnya para pemuka dan teolog, untuk saling membuka diri dalam semangat penghormatan terhadap perbedaan doktrinal. Keterbukaan ini bukan berarti melemahkan keyakinan, melainkan memperdalamnya dengan cara memahami iman orang lain tanpa merasa terancam atau harus mengorbankan iman sendiri. Demikian pula dalam dialog pengalaman iman, kehadiran rohani setiap pribadi yang setia pada ajaran agamanya—tanpa sikap merasa paling benar—menjadi kesaksian akan kerendahan hati dan kebesaran jiwa. Di sinilah pengalaman spiritual yang otentik menciptakan ruang perjumpaan batin yang mendalam.
Mazmur 133:1 dengan indah menyatakan: “Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun!” Firman ini menjadi inspirasi mendalam bagi semangat dialog lintas iman yang dibangun di atas dasar kasih dan kejujuran. Dialog yang lahir dari iman yang terbuka dan cinta yang tulus akan menjadi berkat bagi semua pihak dan menjadi jalan menuju perdamaian sejati. Sebaliknya, dialog yang dilandasi oleh motif tersembunyi atau manipulatif hanya akan menciptakan kecurigaan dan akhirnya menimbulkan perpecahan. Maka, kerukunan sejati tidak cukup dibangun lewat kata, tetapi melalui niat yang murni, tindakan yang nyata, dan iman yang berakar dalam kebenaran.
Sumber Bacaan
Alkitab Edisi Studi
Konsili Vatikan II: Unitatis Redintegratio, Ad Gentes, Nostra Aetate
F.X.E. Armada Riyanto, CM, Dialog Agama dalam Pandangan Gereja Katolik
Dr. Philipus Tule, SVD & Dra. Maria Matildis Banda, MS, Pengembangan Kerukunan Umat Beragama di NTT
Gus Dur & Banawiratma, Dialog: Kritik dan Identitas Agama
Dr. Norbert Jegalus, MA, Dari Koeksistensi Menuju Proeksistensi
Dr. Herman Punda Panda, Agama-Agama dan Dialog antar Agama dalam Pandangan Kristen.
1 Comment
Artikel yg padat makna utk didalami dan diamalkan. Luar biasa. TUHAN beri berkat berlimpah