Mena, Selasa, 18 Maret 2025 – KeuskupanAtambua.org – Uskup Keuskupan Atambua, Mgr. Dominikus Saku, Pr, memimpin rekoleksi kategorial di hadapan ratusan pelajar dari berbagai sekolah di Dekenat Mena. Kegiatan ini berlangsung di Aula Dekenat Mena, dipandu oleh Pak Kand Eduard Nipu, dan diawali dengan doa oleh Fr. Alfin Bria yang secara khusus memohonkan berkat dalam rangka Tahun Yubileum.
Pembacaan teks Kitab Suci diambil dari perumpamaan Anak yang Hilang dan dibacakan oleh Ricy Humoen, siswi SMAK Santa Filomena Mena. Acara ini diawali dengan menyanyikan lagu Vos Amici Mei Estis, diikuti dengan pengucapan visi-misi, strategi yang relevan, dan slogan Keuskupan Atambua.
Deken Mena, Rm. Yohanes Seran Nahak, Pr, dalam sambutannya menekankan pentingnya membina relasi dengan alam, sesama, dan Allah. Ia mengingatkan bahwa kesalahan adalah bagian dari kehidupan, tetapi belajar dan bertobat merupakan keunggulan manusia. Ia juga menyoroti pertobatan ekologis sebagai bentuk kesadaran untuk menjaga hubungan yang baik dengan alam. Selain itu, ia mengingatkan bahwa tempat penuh kesenangan belum tentu memberikan ketenangan, dan keramaian tidak selalu menghadirkan kedamaian.
Selanjutnya, dalam renungan mimbar, Uskup Atambua mengajak para pelajar untuk merenungkan pentingnya pengharapan sebagaimana tertulis dalam Roma 5:5. Ia mengaitkan hal ini dengan refleksi Paus Fransiskus dalam Bulla Spes non Confundit. Uskup juga membahas konsep pertobatan dari dua perspektif, yaitu Conversio Profana dan Conversio Religiosa, serta menegaskan bahwa doa hanya akan efektif jika disertai dengan kerja keras.
Uskup menyoroti tantangan dalam dunia pendidikan, di mana ilmu yang tersedia sering kali tidak sebanding dengan kemampuan siswa dalam menyerapnya. Ia menekankan bahwa tanpa belajar, seseorang bisa menjadi objek eksploitasi dan bahkan perusak bagi dirinya sendiri. Ia juga menekankan pentingnya berpikir kritis agar tidak menjadi orang yang tidak berguna. Dalam konteks Masa Prapaskah, Uskup Atambua mengajak para pelajar untuk melakukan tobat sekolah dan tobat konsumsi, menekankan pentingnya pola makan sehat, serta mewaspadai bahaya zat adiktif yang dapat memengaruhi pola kerja otak dan pengambilan keputusan.
Dalam perspektif iman dan moral, Uskup menegaskan bahwa pertobatan membentuk nilai-nilai kehidupan. Ia mengingatkan bahwa sekolah harus memiliki kualitas yang baik karena pendidikan yang buruk dapat menjadi sumber rasa malu. Ia juga menekankan bahwa hidup yang tertib dan sesuai dengan hukum alam akan membawa manfaat, sedangkan melawan keteraturan alam dapat menyebabkan berbagai kerugian. Mengutip Albert Einstein, Uskup menegaskan bahwa penciptaan bukanlah kebetulan, melainkan mengikuti tatanan yang jelas.
Menutup renungannya, Uskup mengingatkan para pelajar untuk tidak berjudi selama masa pendidikan. Ia menegaskan bahwa mendapatkan keuntungan tanpa perjuangan bukanlah prinsip hidup yang dapat diandalkan. Ia juga menyoroti pentingnya ketekunan membaca, kecepatan menulis, dan ketelitian dalam menulis. Menurutnya, kecerdasan spiritual adalah yang paling diperlukan dalam kehidupan.
Rekoleksi ini merupakan hari kedua dari rangkaian kegiatan yang sebelumnya diadakan untuk kategori orang dewasa pada Senin, 17 Maret 2025. Kegiatan ini diikuti oleh 684 siswa dari tujuh sekolah di wilayah Dekenat Mena, termasuk SMAN Pantura (400 siswa), SMAN Oekolo (65 siswa), SMAK Santa Filomena Mena (118 siswa), SMK Kesehatan Ponu (25 siswa), SMAN Bian Biboki Anleu (30 siswa), SMAK Harneno (27 siswa), dan SMK Harneno (19 siswa).
Salah satu Guru dari SMAN Pantura, Pak Wendel Haki, menyampaikan kesan positif terhadap rekoleksi ini. Ia menilai bahwa refleksi yang diberikan sangat relevan dengan kehidupan para pelajar, terutama dalam membangun kesadaran akan pentingnya kerja keras, disiplin, dan pertobatan. Ia berharap pesan-pesan yang disampaikan dapat menjadi motivasi bagi siswa untuk lebih tekun dalam belajar dan menjalani hidup dengan nilai-nilai yang lebih baik.
Pada sesi kedua, Uskup Atambua melanjutkan dengan penyampaian informasi pastoral dan dialog bersama siswa serta guru pendamping. Dalam sesi ini, Uskup membahas tema Tahun Yubileum sebagai tahun pembebasan, di mana dosa sering kali membuat seseorang merasa tidak nyaman dengan Tuhan dan banyak hal lainnya. Ia menekankan bahwa ada beberapa cara untuk memperoleh kebebasan spiritual, yaitu melalui pembenahan rohani dan menjadi Peziarah Pengharapan.
Dalam sesi dialog, suasana menjadi semakin hidup ketika beberapa siswa mengajukan pertanyaan yang mencerminkan keingintahuan dan kegelisahan mereka akan kehidupan beriman dan realitas sosial.
Ricy Paty, seorang siswa yang penuh semangat, mengangkat pertanyaan mendalam tentang iman dan kasih. “Mengapa iman dan kasih bisa padam, hingga menjadikan hidup tidak sejalan dengan kehendak Allah?” tanyanya dengan nada penuh refleksi.
Menanggapi pertanyaan ini, Uskup menjelaskan bahwa iman dan kasih bisa meredup ketika manusia terjebak dalam rutinitas tanpa refleksi, ketika doa tidak lagi menjadi bagian dari kehidupan, dan ketika orang lebih mengandalkan kekuatan sendiri daripada berserah kepada Tuhan. Ia menekankan bahwa iman perlu dipelihara melalui doa, sakramen, dan tindakan kasih yang nyata.
Selanjutnya, Ningsih Talaen dari SMAN Pantura mengangkat isu ekologis. Dengan nada penuh kepedulian, ia bertanya, “Apakah Negara Indonesia telah mengeluarkan kebijakan dalam menangani masalah ekologis?”
Uskup menjawab dengan mengakui bahwa berbagai kebijakan telah dikeluarkan oleh pemerintah, seperti program reboisasi, pelestarian lingkungan, dan regulasi terkait industri. Namun, ia menekankan bahwa kebijakan saja tidak cukup jika tidak diiringi dengan kesadaran dan tanggung jawab setiap individu untuk menjaga lingkungan.
Pertanyaan kritis lainnya datang dari Selestina Rusae, juga dari SMAN Pantura. Dengan nada penuh keheranan, ia bertanya, “Jika pendidikan adalah untuk siswa, mengapa siswa yang harus membayar, sementara kurikulum dibuat oleh sekolah?”
Uskup menyambut baik pertanyaan ini dan menjelaskan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab bersama. Ia mengakui bahwa sistem pendidikan masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk dalam aspek pembiayaan. Namun, ia menekankan bahwa lebih dari sekadar biaya, yang paling penting adalah keseriusan siswa dalam belajar dan menggunakan pendidikan sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas hidup.
Dengan penuh antusias, Uskup menjawab setiap pertanyaan dengan penjelasan yang padat, singkat, dan berbobot. Dialog yang terjadi tidak hanya memberikan pemahaman lebih dalam kepada para siswa, tetapi juga menginspirasi mereka untuk terus belajar, berpikir kritis, dan menjalani kehidupan dengan nilai-nilai yang benar.
Dengan pesan-pesan reflektif yang disampaikan sepanjang rekoleksi dan dialog ini, diharapkan para pelajar semakin terdorong untuk menjalani kehidupan yang lebih baik dengan semangat pertobatan, kerja keras, dan kedisiplinan.
Laporan : Yudel Neno, Pr