Atambua, KeuskupanAtambua.org – Momen Refleksi Imamat: Uskup Atambua Tegaskan Paskah sebagai Sumber Spiritualitas Merobohkan 7 Musuh Utama dalam Persaudaraan Imamat – oleh Rm. Yudel Neno, Pr
Uskup Atambua, Mgr. Dominikus Saku, Pr, memberikan refleksi imamat kepada para imam yang berkarya di wilayah Keuskupan Atambua pada Selasa, 15 April 2025, bertempat di Katedral Atambua. Refleksi ini dihadiri oleh Vikaris Jenderal Keuskupan Atambua, Pater Vincent Wun, SVD, para Deken dari Dekenat Belu Utara (Rm. Agustinus Seran Berek, Pr), Kefa (Rm. Kanisius Oki, Pr), Malaka (Pater Hironimus Moensaku, SVD), dan Mena (Rm. Yohanes Seran Nahak, Pr), serta sejumlah imam, pater, suster, bruder, frater, dan umat. Sebelumnya, Uskup Atambua telah menginstruksikan para pastor dari paroki-paroki terdekat, seperti Tukuneno, Fatuketi, Fatubenao, Nela, dan Haliwen, agar menghimbau umat supaya lebih banyak menghadiri kegiatan refleksi imamat dan misa pembaharuan janji imamat.
Kegiatan dipandu oleh Bapak Yosef Hello, Sekretaris Umum Pusat Pastoral Keuskupan Atambua, dan diawali dengan lagu Vos Amici Mei Estis yang dipimpin oleh Ibu Yustin, serta pengucapan Visi-Misi dan Slogan oleh Pak Okto Klau. Refleksi imamat yang dibimbing oleh Uskup Atambua dimoderatori oleh Rm. Goris Dudy, Pr, dengan tema “Paskah dan Persaudaraan Imamat.”
Mengenai perayaan Paskah, Uskup Atambua mengutip artikel 39-99 tentang Paskah dan Persiapannya yang diterbitkan oleh Kongregasi Ibadat Ilahi dalam dokumen Gerejawi seri nomor 71, yang dipromulgasikan pada 16 Januari 1988. Dalam terang dokumen tersebut, Uskup menegaskan bahwa perayaan Paskah merupakan rangkaian perayaan yang utuh. Dalam perayaan ini, kita secara khusus mengalami misteri keselamatan. Uskup Dominikus menyebut perayaan Ekaristi sebagai “Kurban Paskah” (Victima Paschalia). Dengan merayakan Paskah, kita diikutkan dan diikatkan pada Salib. Ketika kita berdiri di altar Tuhan, kita semua diikat dalam spiritualitas Golgota, yang kini terjadi dalam Perayaan Ekaristi.
Mengenai hubungan antara imam dan umat, Uskup menegaskan bahwa semuanya berada langsung di bawah Salib, dengan para imam mengambil peran besar sebagai Alter Christi dan In Persona Christi dalam merayakan Ekaristi. Dari kedua peran ini, para imam yang mempersembahkan Ekaristi dituntut untuk memiliki kesatuan jiwa, raga, pikiran, dan roh. Dalam semangat kesatuan ini, aspek kurban semakin tampak dalam sebuah perayaan.
Uskup juga berbicara tentang Kamis Putih sebagai Hari Penuh Mandat. Ada tiga mandat yang terkandung dalam Kamis Putih: Ekaristi, Imamat, dan Cinta Kasih. Karena Kamis Putih merupakan sumber Ekaristi, maka pada saat itu, Tabernakel harus kosong, yang secara sakramental menandakan bahwa tidak boleh ada tindakan Sakramen sebelum perayaan tersebut. Selanjutnya, pada Jumat Agung, Uskup mengingatkan bahwa inkulturasi ratapan diperbolehkan, namun harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak mengaburkan iman. Jalan Salib dilakukan, tetapi tidak boleh mengaburkan makna ibadat Jumat Agung. Khususnya pada Sabtu Alleluya, Uskup meminta agar sulah diatur dengan hikmat, dan dalam upacara peralihan cahaya, umat disadarkan tentang peralihan dari kegelapan akibat dosa menuju kepada Kristus sebagai Cahaya yang membebaskan.
Dalam konteks liturgi Paskah, sulah merujuk pada penggunaan api baru yang dinyalakan pada Malam Paskah, tepatnya pada upacara Paskah Vigil (Paskah Tengah Malam). Api ini digunakan untuk menyalakan Lilin Paskah, yang kemudian dibawa masuk ke dalam gereja sebagai simbol kebangkitan Kristus dari kematian.
Berdasarkan refleksi tentang Paskah, Uskup Atambua mengemukakan tujuh musuh persaudaraan dalam hidup imamat, sekaligus menawarkan solusi untuk masing-masing masalah tersebut. Uskup menegaskan bahwa persaudaraan imamat harus diikat pada persekutuan Trinitaris, karena hanya dengan kedekatan dan kesatuan dengan Tuhan, kita dapat menjadi berkat bagi kekokohan dan kesatuan umat. Dengan refleksi ini, Uskup Atambua mengingatkan pentingnya kesatuan dan kedekatan dengan Tuhan sebagai landasan utama dalam pelayanan imamat. Kesatuan ini menjadi kekuatan yang menjaga agar hidup imamat senantiasa berada dalam terang kasih dan persaudaraan sejati.
Ketujuh Musuh utama dalam persaudaraan imamat dan komunitas disebutkan dan diuraikan oleh Uskup sebagai berikut :
Yang pertama : Individualisme Klerikal
Menurut Bapak Uskup, prestasi dan prestise dalam kehidupan imamat seringkali menjerumuskan kita pada sikap tertutup (eksklusif) terhadap saudara-saudari lainnya. Tak jarang, kita merasa mampu berdiri sendiri secara berlebihan (independen secara eksesif), dan tergoda untuk melepaskan diri dari semangat sinodalitas—baik dengan Tuhan maupun dengan sesama. Sikap tertutup dan menyendiri seperti ini, tegas Uskup Domi, justru menjadi sumber kejatuhan yang berujung pada kemerosotan rohani maupun moral.
Lebih lanjut, Bapak Uskup menggarisbawahi bahwa kecenderungan untuk merongrong semangat inkardinasi—yakni keterikatan dan penghayatan sebagai anggota presbiterium keuskupan—semakin nyata. Gejala individualisme klerikal yang merasuki kehidupan imamat tampak dalam berbagai bentuk, antara lain: lebih suka bekerja sendiri, menghindari kolaborasi pastoral, tidak antusias terhadap pertemuan-pertemuan pastoral, serta menganggap pelayanan pastoral sebagai kegiatan pribadi, bukan sebagai bagian dari misi Gereja yang diwartakan. Bahkan, tak jarang muncul kecenderungan untuk menghindari ret-ret tahunan maupun bentuk-bentuk kebersamaan lainnya.
Setelah menyampaikan catatan-catatan kritis tersebut, Bapak Uskup menawarkan jalan keluar yakni para imam dituntut untuk dengan sadar mengembangkan semangat persaudaraan imamat dan membangun budaya akuntabilitas dalam pelayanan. Semua ini, tegas Bapak Uskup, perlu ditempuh melalui keterlibatan aktif dan partisipatif dalam hidup bersama sebagai Gereja.
Yang kedua : Kompetisi – Persaingan yang Tidak Sehat – Kecemburuan
Dalam karya pastoral, ada kecenderungan di kalangan para pelayan pastoral (para imam) untuk membandingkan diri dengan rekan imam paroki lain, seolah-olah paroki lain selalu lebih baik. Bapak Uskup menyoroti gejala persaingan yang tidak sehat, yang kerap menjadi alasan stagnasi dalam tugas pastoral. Tanda-tandanya antara lain: rasa cemas atau tidak nyaman atas capaian pastoral rekan imam, kebiasaan mengkritik secara tidak membangun, serta hasrat untuk bersaing demi popularitas pribadi. Uskup dengan tegas mengingatkan bahwa satu-satunya jalan untuk “terkenal” sebagai imam adalah melalui dan dalam Salib Kristus.
Sebagai jalan pembaruan, Bapak Uskup menawarkan beberapa sikap rohani yang perlu dikembangkan: bersyukur atas rahmat dan talenta yang telah dipercayakan kepada kita masing-masing, serta mensyukuri pula rahmat kesuksesan pastoral rekan-rekan imam lainnya. Kita diajak untuk mengembangkan rasa kagum yang jujur dan tulus terhadap keberhasilan orang lain, tanpa jatuh dalam pujian yang berlebihan atau kepalsuan. Penting untuk dihayati bersama bahwa misi perutusan Gereja jauh lebih besar dan lebih mulia daripada sekadar pencapaian individual.
Yang ketiga : Tidak Menyukai Corectio Fraterna
Menurut Bapak Uskup; salah satu persoalan yang cukup mengganggu dinamika hidup imamat adalah sikap enggan atau bahkan penolakan terhadap correctio fraterna (teguran persaudaraan). Tak jarang terdengar ungkapan seperti, “Itu urusanmu, bukan urusanku,” yang mencerminkan sikap individualistis dan ketidakpedulian dalam hidup bersama sebagai klerus.
Banyak dari kita enggan melakukan correctio fraterna karena takut konflik atau penolakan. Akibatnya, kita memilih diam, bersikap acuh tak acuh, bahkan abai terhadap rekan imam yang sedang mengalami kesulitan atau persoalan serius. Dalam kenyataannya, kita seringkali tidak peduli ketika ada saudara seiman yang sedang jatuh dalam krisis—baik krisis spiritual, moral, pastoral, maupun finansial. Alih-alih menjadi saudara yang hadir untuk menolong, kita justru lebih suka menyebarkan gosip, bukannya mencari solusi dalam semangat kasih dan demi persaudaraan sejati.
Kegagalan dalam membangun budaya correctio fraterna sesungguhnya merupakan tanda kemunduran pastoral. Ketika sikap tidak peduli ini menjadi kebiasaan, maka semangat perutusan dan kebersamaan sebagai satu presbiterium ikut tergerus.
Sebagai solusinya, Bapak Uskup mengingatkan bahwa kita dipanggil untuk menjadi rekan seperjalanan (companion on the journey), saling menopang dalam iman, dan memohonkan keteguhan hati untuk satu sama lain. Kita ditantang untuk menghadapi persoalan hidup dan pelayanan dengan rendah hati—sebuah keutamaan yang sangat penting dalam kehidupan imamat. Sayangnya, justru dalam situasi krisis, kita kerap tidak cukup rendah hati untuk terbuka, bahkan tergoda untuk saling menghakimi, bukan menolong.
Yang keempat : Klerikalisme dan Kompleks Kesombongan Pastoral
Bapak Uskup menyinggung gejala klerikalisme yang kerap hadir dalam wajah kesombongan religius. Ungkapan “Pastor locuta, causa finita” (Pastor sudah bicara, perkara selesai) menjadi simbol dari mentalitas yang menutup ruang dialog dan refleksi bersama. Sikap ini menunjukkan semacam superioritas rohani yang justru bertentangan dengan semangat Injil.
Klerikalisme menjadikan sebagian imam merasa diri sebagai kelompok elit—kelompok unggul yang tak tersentuh, yang merasa superior atas dasar jabatan, penempatan, atau bahkan pengaruh sosial. Dalam mentalitas seperti ini, imamat dipandang sebagai status kekuasaan, bukan sebagai panggilan untuk melayani.
Tanda-tanda nyata dari klerikalisme antara lain: meremehkan imam-imam yunior yang dianggap belum berpengalaman, atau merendahkan para imam sepuh yang dicap tidak berhasil atau kurang sukses secara pastoral. Ini semua mencerminkan sikap yang jauh dari semangat persaudaraan sejati dalam presbiterium.
Sebagai jalan keluar, Bapak Uskup menekankan pentingnya menanamkan dalam diri setiap imam semangat kepemimpinan yang melayani. Kita dipanggil untuk hadir bukan dengan berbagai tuntutan, melainkan dengan kerendahan hati. Setiap imam perlu dihargai bukan karena status atau jabatannya, melainkan karena rahmat imamat yang diterimanya. Imamat adalah anugerah, bukan arena kompetisi kekuasaan.
Yang kelima : Gosip dan Kecenderungan untuk Menjelekkan
Salah satu dinamika yang menggerus persaudaraan imamat adalah kebiasaan bergosip. Ungkapan yang sering muncul seperti, “Su dengar ko?” menjadi tanda awal dari praktik komunikasi yang tidak sehat dan memecah belah. Gosip menciptakan suasana ketidakpercayaan, perpecahan, serta merusak semangat solidaritas dan kepercayaan dalam hidup bersama.
Dalam konteks kehidupan imamat, tanda-tanda gosip kerap muncul dalam bentuk pembicaraan diam-diam, dengan nada menyindir atau menyudutkan (bicara sipit-sipit). Kebiasaan ini tidak hanya merusak martabat pribadi yang dibicarakan, tetapi juga mencederai nilai imamat itu sendiri.
Sebagai jalan pembaruan, Bapak Uskup mengajak kita untuk belajar berbicara tentang warta Injil di dalam Gereja—yakni membiasakan diri untuk menyampaikan hal-hal yang baik, benar, dan membangun. Injil sejati lahir dari pikiran, perkataan, dan tindakan yang dilandasi kasih. Jika ada persoalan atau kesalahan yang terjadi, hendaknya disampaikan secara langsung kepada yang bersangkutan, dengan cara yang baik dan penuh hormat. Dengan demikian, kita dapat menghindari keruntuhan relasi, menjaga keutuhan persaudaraan, dan merawat semangat sinodalitas dalam pelayanan.
Yang keenam : Masa Bodoh terhadap Sesama Imam yang Bergulat dengan Persoalan
Salah satu bentuk kemerosotan dalam kehidupan presbiterium adalah sikap masa bodoh terhadap sesama imam yang sedang berjuang menghadapi persoalan hidup. Tanda-tandanya cukup jelas: ungkapan seperti “biarkan saja, itu urusannya sendiri” mencerminkan sikap tidak peduli dan kurangnya rasa tanggung jawab terhadap saudara seiman. Banyak imam mengaku merasa ditinggalkan dan berjalan sendirian, karena rekan-rekannya tidak hadir dalam saat-saat sulit.
Kita kerap terjebak dalam rutinitas dan kesibukan pribadi, sehingga menjadi tidak peka terhadap pergulatan hidup rekan imam lainnya. Tidak pusing, tidak tahu-menahu, dan tidak saling memperhatikan—sikap-sikap ini semakin menjauhkan kita dari ideal persaudaraan imamat. Kita cenderung mengasumsikan bahwa semua baik-baik saja, padahal bisa jadi seseorang sedang memikul beban yang sangat berat. Fokus yang terlalu sempit pada tugas pribadi membuat kita kehilangan kepekaan terhadap kebutuhan rohani dan emosional saudara kita sendiri.
Sebagai jalan pembaruan, Bapak Uskup menekankan pentingnya membangun kembali budaya persaudaraan sejati: dengan menawarkan dukungan yang tulus, hadir secara rohani, dan menunjukkan kepedulian nyata terhadap sesama imam. Kita dipanggil untuk menjadi saudara yang menemani dalam perjalanan, bukan justru saling menyangkal atau membiarkan. Budaya saling mendukung inilah yang memperkuat persekutuan imamat dan menjaga kita tetap utuh dalam semangat pelayanan.
Yang ketujuh : Kekerdilan Spiritual dan Mindset Sekuler
Salah satu tantangan serius dalam hidup imamat masa kini adalah gejala kekerdilan spiritual yang muncul dari kegagalan dalam memelihara kehidupan rohani dan menjalin persaudaraan sejati. Ketika seorang imam tidak lagi menghidupi akar rohaninya, ia rentan terjebak dalam cara pandang sekuler yang mereduksi imamat hanya sebagai profesi atau jabatan fungsional. Kita memang hidup di tengah dunia yang penuh godaan, dan tantangan untuk tetap setia pada nilai-nilai Injil semakin berat.
Tanda-tanda kekerdilan spiritual cukup kentara: imamat direduksi semata-mata sebagai tugas administratif belaka. Semangat doa mulai padam, dan hidup rohani tergeser oleh obsesi pada keberhasilan duniawi, terutama dalam bentuk upaya-upaya ekonomi dan pencapaian finansial. Dalam situasi seperti ini, pelayanan menjadi rutinitas kering tanpa daya rohani.
Sebagai solusi, Bapak Uskup mengajak para imam untuk mengembangkan kembali semangat hidup rohani yang kokoh dan berakar dalam relasi dengan Tuhan: melalui doa, perayaan Ekaristi, dan pelayanan yang berlandaskan kasih. Pola pelayanan Yesus harus menjadi teladan utama kita—Yesus selalu memulai dari doa, pergi untuk melayani, dan kembali lagi ke doa. Sayangnya, pola kita justru sering terbalik: dari satu pelayanan ke pelayanan lain yang melelahkan, lalu berakhir dalam hiburan atau rekreasi, tanpa jeda rohani.
Imamat bukan sekadar profesi manusiawi. Persaudaraan imam adalah rahmat yang mesti dihayati secara spiritual dan bukan hanya secara struktural. Di tengah arus sekularisasi, para imam dipanggil untuk meneguhkan kembali identitas rohaninya sebagai pelayan Sabda dan sakramen yang hidup dari doa, dan berjalan bersama sebagai saudara seiman.
Antisipasi Keretakan Imamat sebagaimana dalam Diri Yudas Iskarioth dan Petrus
Bapak Uskup mengajak semua imam merenungkan secara mendalam dua figur sentral dalam Injil yang pernah mengalami krisis dalam panggilan imamat mereka yakni Yudas Iskariot dan Petrus. Keduanya telah dipilih, dipanggil, dan ditetapkan sebagai murid-murid yang kudus. Mereka berada dalam lingkaran terdekat Yesus, menerima Sabda, menyaksikan mukjizat, dan mengalami cinta yang personal dari Sang Guru. Namun, keduanya juga jatuh.
Yudas—dikatakan dalam Injil—kerasukan iblis. Ia telah diperingatkan, sebagaimana Petrus juga telah diperingatkan, bahwa mereka akan mengalami pencobaan dan kejatuhan. Namun Yudas memilih jalan yang menutup diri dari rahmat. Ia menyesal, tetapi pengakuannya salah alamat—ia kembali kepada imam-imam yang telah memberinya tiga puluh keping perak, bukan kepada Tuhan. Ia lari dari kenyataan salib dan menutup dirinya dari pengampunan. Dalam diri Yudas, kita melihat bagaimana kekuatan mamon, kesombongan, dan cinta akan kefanaan bisa menguasai dan menghancurkan rahmat panggilan.
Sebaliknya, Petrus juga jatuh. Ia menyangkal Yesus sebanyak tiga kali. Tetapi yang membedakan Petrus adalah ini: ia menangis dan bertobat. Ia kembali kepada Tuhan dan membuka diri untuk diampuni. Inilah metanoia sejati—perubahan hati yang membuka jalan bagi pemulihan. Justru karena pertobatan inilah, Petrus dipercaya oleh Yesus untuk memegang Kunci Kerajaan Surga dan memimpin Gereja perdana.
Bapak Uskup menegaskan, perbedaan mendasar antara Yudas dan Petrus terletak pada keberanian untuk memeluk kembali Salib. Petrus kembali dan merangkul misteri penderitaan, pengampunan, dan kasih ilahi. Yudas, sebaliknya, lari dan menutup pintu hatinya terhadap rahmat.
Menurut Bapak Uskup, apa yang dilakukan dan yang terjadi pada Yudas Iskarioth dan Petrus merupakan peringatan yang sungguh relevan bagi para imam, dengan wanti tegasnya ialah hati-hati terhadap jebakan mamon, godaan akan kekuasaan, dan keinginan akan kemegahan duniawi. Menurut Bapak Uskup, semua itu tidak membawa kita kepada Tuhan. Kita dipanggil bukan untuk tampil sempurna, melainkan untuk senantiasa kembali dalam kerendahan hati kepada Tuhan yang setia menanti. Pada bagian akhir dari point ini, ditegaskan bahwa imamat adalah panggilan kepada kesetiaan dalam keretakan, kepada kasih dalam kerapuhan, dan kepada salib sebagai jalan menuju kemuliaan.
Sebab Kejatuhan Para Imam: Kemalasan Rohani sebagai Akar Utamanya
Dalam nasihatnya yang penuh kepedulian, Bapak Uskup menegaskan bahwa salah satu akar paling dalam dari kejatuhan seorang imam adalah kemalasan rohani. Kemerosotan hidup doa, jauh dari Ekaristi, dan menggantikan relasi dengan Kristus dengan kesenangan duniawi merupakan tanda-tanda nyata dari kehampaan batin yang pelan-pelan menggerogoti kekuatan imamat.
Kemalasan rohani tidak datang secara tiba-tiba. Ia muncul perlahan, ketika doa mulai diabaikan, diganti dengan menekuni hobi atau kesibukan duniawi. Ketika imam tidak lagi menjadikan Ekaristi sebagai pusat hidup rohaninya, maka ia mulai terjebak dalam keberdayaan yang nyaman—merasa cukup dengan kemampuan, jaringan sosial, dan kesuksesan manusiawi. Lebih jauh, imam yang malas secara rohani akan cenderung menggantikan Kristus dengan manusia: mencari pengakuan bukan dari Tuhan, tetapi dari popularitas, pujian, atau pengaruh sosial.
Bapak Uskup mengingatkan bahwa kita perlu belajar dari Yudas dan Petrus—dua pribadi yang jatuh karena kehilangan kewaspadaan terhadap kesempatan dosa. Mereka tidak antisipatif, tidak berjaga dalam doa, dan akhirnya gagal dalam saat pencobaan. Demikian pula para imam masa kini: ketika tidak membangun benteng rohani melalui doa dan hidup batin yang mendalam, kita mudah dikuasai oleh kecemasan, kesombongan, keinginan akan kenyamanan, dan berbagai ilusi duniawi.
Maka, para imam dipanggil untuk terus membarui hidup rohaninya. Jangan biarkan kemalasan menjadi pintu masuk bagi kehancuran panggilan. Jadikan doa, Ekaristi, dan kesetiaan pada Kristus sebagai kekuatan utama dalam pelayanan. Imam yang berakar dalam Kristus tidak akan mudah goyah, sebab ia hidup bukan dengan kekuatannya sendiri, melainkan dalam rahmat Tuhan yang setia menyertai.
Ajakan Terkahir
Mengakhiri refleksi imamat, Bapak Uskup mengajak peserta yang hadir, untul kita kembali kepada Tuhan. Menurut Bapak Uskup; hanya di dalam Tuhan, kita dan segala karya pastoral dapat bercahaya