KEUSKUPANATAMBUA.ORG. -Hari ini (maksudnya: kemarin) Selasa, 21 Juli 2020 lain dari hari-hari lainnya. Suasana Rumah Uskupan Atambua yang dahulu ketika di’baptis’ oleh Mgr. Anton Pain Ratu, SVD pada tahun 2002 dengan nama “Uma Metan Keuskupan Atambua” tidak seperti biasanya. Ada sebuah peristiwa langka terjadi. Dua cewek cantik memakai tais. Mereka hendak mengalungi seseorang tamu Uskup hari ini. Kunjungan dari seorang yang luar biasa. Seorang Melkianus Laka Lena. Tokoh Nasional. Beliau itu Wakil Ketua Komisi IX DPR RI dan sekaligus Ketua DPD I Partai Golkar Nusa Tenggara Timur. Ada apa nian seorang Tokoh Senayan datang ke Lalian Tolu? Ada apa dengan Lalian Tolu? Secara naif sebuah pertanyaan bisa dilontarkan, siapakah kita sehingga seorang Melkianus Laka Lena mau mengunjungi Keuskupan Atambua? Jawaban atas pertanyaan itu bisa macam-macam. Namun dari kata pengantar yang disampaikan seorang Melkianus Laka Lena dalam perjumpaan ‘kasih’ itu, dapat disimak maksud kunjungan tersebut. Pada tahun ini tepatnya tanggal 9 Desember 2020 ada hajatan Pilkada serentak yang akan diikuti oleh 220 daerah dengan rincian 9 propinsi, 224 kabupaten dan 37 kota. Di antara 224 kabupaten itu terdapat tiga kabupaten yang ada dalam wilayah Keuskupan Atambua yakni kabupaten Malaka, TTU dan Belu. Untuk diketahui Partai Golkar sedang melakukan survey terhadap para bakal calon. “Untuk itulah siang hari ini, kami berkunjung kepada Bapa Uskup untuk mendengarkan masukan Bapa Uskup terhadap para bakal calon itu”, demikian Bapak Melkianus Laka Lena menyampaikan maksud kedatangannya.
Pilkada: Momen Politik dan Kemanusiaan dipertaruhkan
Sebagaimana diketahui, sebelum tahun 2005, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Itu artinya suara rakyat diwakilkan kepada wakilnya yaitu DPR. DPR memilih kepala daerah atas nama rakyat. Namun, dengan diberlakukannya Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, maka pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau yang disingkat dengan “Pilkada”. Melalui peristiwa Pilkada, rakyat menggunakan hak politiknya untuk memilih pemimpinnya. Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dicalonkan melalui dua cara atau pintu yaitu pintu Partai Politik dan pintu perorangan atau independen.
Pilkada juga adalah momen kemanusiaan. Di sini kemanusiaan para pemilih (rakyat) dan yang dipilih (pemimpin) dipertaruhkan. Mengapa saya menggunakan istilah ‘dipertaruhkan?” Bukan tidak mungkin yang satu menggeser yang lain. “Itu biasa dalam Lautan Revolusi”, kata Founding Fathers kita, Soekarno. Sering orang menekankan pada aspek politik dan mengabaikan aspek kemanusiaan. Karena penekanan yang berat sebelah, maka orang terjerumus pada kefatalan berpikir. Politik mendapat konotasi buruk. “Politik itu harus kotor; politik itu baku tipu; politik itu sesuatu yang tidak baik, bahkan lebih naif lagi, ‘politik itu putar balik!” Seperti seorang anak yang berkata kepada bapaknya, “e…kau sudah politik saya!” Pada hal menurut Aristoteles, politik adalah aktivitas jiwa atau akal budi dan tindakan untuk mencapai kebaikan tertinggi yaitu kebahagiaan (Kenyowati, 2004: 19). Atau dengan kata lain, politik adalah pintu masuk menuju rumah ‘kebahagiaan’. Kebahagiaan itu sering disamakan dengan perubahan? Lantas, bagaimana bisa mencapai tujuan, bila pintunya rusak? Maka kemudian muncul istilah “tujuan menghalalkan segala cara!”
Biasa. Mendekati momen Pilkada, rakyat bukannya yang berkuasa, tetapi mereka dimainkan ‘penguasa’ ataupun ‘calon penguasa’. Bermacam-macam cara dipakai untuk memenangkan calon penguasa. Ada politik uang. Ada politik ‘super mi’. Ada politik ‘baju kaos’. Bahkan ada politik ‘drum ter’. Itu semua dipakai untuk menghancurkan kemanusiaan. Manusia didegradasikan menjadi ‘uang, super mi, kaos dan drum ter’. Kasihan. Naif sekali. Tetapi mau bagaimana? Dalam situasi chaos seperti ini sangat dibutuhkan peran kenabian. Kenabian Gereja harus muncul ke permukaan. Bukan saja untuk menepis semua itu. Tetapi lebih jauh harus memberi makna soteriologis terhadap actus politik manusia yang akan mengikuti Pilkada. Di sinilah maksud kedatangan seorang Melkianus Laka Lena menemui Pemimpin Gereja, Pemimpin Rohani setempat, Uskup Atambua dalam diri Mgr. Dr. Dominikus Saku. Untuk itulah maka wajah ‘Uma Metan Keuskupan Atambua’ di Lalian Tolu itu berubah. Bukan tanpa alasan.
Suara Kenabian Seorang Uskup: Pemimpin Gereja
Menarik! Kata pengantar seorang Melkianus Laka Lena pada perjumpaan ‘kasih’ di Lalian Tolu (Selasa, 21/7/2020) bahwa kehadirannya untuk mendengarkan masukan Bapa Uskup yang akan menjadi pertimbangan Partai Golkar dalam survey calon pemimpin TTU dan Belu. Mengapa untuk menentukan calon Bupati dan Wakil Bupati dari partai politik mesti mempertimbangkan masukan seorang Uskup?
Uskup adalah pimpinan Gereja setempat, Pemimpin spiritual dari suatu masyarakat yang beragama Katolik. Mengingat hampir 90% rakyat Belu dan TTU beragama Katolik, maka suara pemimpin agamanya sangat diperhitungkan dan layak untuk didengarkan sebelum pengambilan keputusan menyangkut kehidupan mereka, termasuk kehidupan politik. Ada tiga tugas utama seorang Uskup yakni mewartakan Injil/Khabar baik; menggembalakan umat Tuhan dan menjalankan misi sebagai seorang Klerus. Dalam hal ini, seorang Uskup mengemban tri tugas Kristus yakni sebagai Imam, Nabi dan Raja. Sehubungan dengan tugas kenabian yaitu dalam hal mengajar, tugas Uskup mengajar tentang iman dan moral. Dalam hal iman dan moral, seorang uskup adalah Guru Iman dan Guru Moral.
Kembali kepada perihal kunjungan Pak Melki Laka Lena kemarin. Kehadiran beliau bukan semata-mata sebagai Orang Politik (Man of Politic) atau Politisi Partai Golkar, tetapi dalam kapasitas sebagai Kader Awam Katolik. Dalam arti ini, beliau menjalankan tugas perutusan sebagai murid Kristus sebagaimana dinyatakan dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) artikel 899, tugas awam beriman adalah menjiwai kenyataan-kenyataan sementara dengan komitmen Kristen, yang olehnya mereka memperlihatkan bahwa mereka adalah saksi dan pelaku perdamaian dan keadilan untuk menumbuhkan Kerajaan Allah di tengah-tengah masyarakat. Melalui iman mereka pula, seorang awam Katolik meninggalkan tanda dalam kehidupan politik sebagai bentuk dukungan terhadap kehidupan Gereja itu sendiri. Nah, kehadiran seorang Melki Laka Lena dalam kunjungan ini bagai dua keping mata uang. Mendengarkan masukan Bapa Uskup sama artinya mendengarkan suara kenabiannya.
Di tengah carut marut “lautan revolusi” Pilkada Malaka, TTU dan Belu dengan aneka pandangan, pendapat dan haluan, Suara Kenabian seorang Uskup sebagai Pemimpin Gereja Lokal sangat diharapkan. Gereja Katolik Indonesia melalui para Uskupnya sejak tahun 1997 menjadi lebih berani menyuarakan kebenaran dan keadilan. Suara kenabian Gereja ini sangat diperlukan oleh masyarakat pada umumnya dan umat Katolik pada khususnya untuk melanjutkan reformasi yang sudah dimulai. Suara itu bagaikan air penyejuk di tengah panas teriknya mentari politik.
Langit Malaka, TTU dan Belu hari-hari terakhir ini penuh dengan hujan dan abu politik. Beda pada zaman Raja Daud yang memimpin sambil berdendang: “Langit menceriterakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya; hari meneruskan berita itu kepada hari, dan malam menyampaikan pengetahuan itu kepada malam.” (Mzm 19; 2-3). Langit Malaka, Belu dan TTU pada menjelang Pilkada ini penuh dengan segala macam hal saling memojokkan, saling menghujat, saling melempar isu negatif hingga saling memaki. Dalam hal ini, suara kenabian seorang Uskup Gereja Katolik juga berfungsi educatif, agar umat dapat menjalankan peran politiknya secara baik dan benar sesuai azas Pancasila dan Injil Yesus Kristus untuk mencapai ‘bonum commune’ yaitu kesejahteraan bersama.
Suara kenabian dari Mgr. Dr. Dominikus Saku untuk misi “Selasa Siang” dari Bapak Laka Lena sudah didengarkan. Kita menanti saja keputusan Partai Golkar untuk menentukan calon Bupati dan calon Wakil Bupati TTU dan Belu. Akankah suara Uskup itu “terekam” dengan baik oleh Bapak Melki Laka Lena, sangat tergantung pada recorder yang dipakai beliau pada saat mendengarkan masukan itu. Sebab suara kenabian yang dititipkan, sering kali hilang terbawa teriknya mentari atau mendungnya langit. Namun yang pasti suara kenabian sebagaimana suara para Bapak Uskup Indonesia pasca 1997 selalu mendukung “Reformasi atau Perubahan”. Entahkah perubahan itu yang terjadi? Masih tanda tanya. (oleh Yosef M.L. Hello).
Diedit oleh admin