KeuskupanAtambua.org , OPINI – Rm. Yudel Neno, Pr – — Beberapa waktu lalu, ketika Misa Syukur Rm. Theo Asa Siri, Pr yang bertempat di Paroki Weluli Keuskupan Atambua, 18 Oktober 2024; Rm. Agus Berek, Pr (Pastor Paroki Noemuti – Keuskupan Atambua), saat berkhotbah, melontarkan kritikan pedas terhadap dansa kizomba, yang akhir-akhir ini meresahkan publik.
Saduran pernyataan itu kira-kira seperti ini :
.…..ini dengar baik-baik…..tentang dansa kizomba….ini setan semua…..Kaka dorong ambil be do……dansa kizomba bukan budaya kita. Dansa kizomba budaya Angola-Afrika…..tenda 85 blok, kizomba sampe pagi ……dansa sampai tidur di dada. ….ini kurang ajar……di Keuskupan ini (Atambua); Malaka, Belu TTU….foe….
Cuplikan video itu, dalam waktu sekejab membanjiri domain media sosial (facebook, instagram, tiktok, whatsapp, reels). Cuplikan video ini turut menuai kontoversi. Banyak yang mendukung pernyataan Rm. Agus, tetapi banyak juga yang menolak.
Uraian di bawah ini, kiranya membantu kita untuk memahami asal-usul, dari munculnya dansa kizomba dan tempatnya di dalam seni.
Kizomba adalah tarian sosial asal Angola yang berkembang pesat dalam beberapa dekade terakhir dan populer di berbagai negara, termasuk Indonesia. Namun, belakangan ini, tarian tersebut telah memicu kekhawatiran di beberapa kalangan, khususnya terkait gaya dansanya yang dianggap terlalu intim dan kurang sesuai dengan norma sosial atau budaya tertentu.
Sejarah dan Asal Usul Kizomba
Kizomba berasal dari Angola pada tahun 1980-an, sebagai hasil dari perpaduan antara musik tradisional Angola dan tarian serta musik dari negara-negara lain, termasuk zouk (pesta) dari Karibia. Tarian ini dikenal karena gerakannya yang lambat, sensual, dan penuh emosi. Dalam konteks budaya asalnya, kizomba merupakan ekspresi kebersamaan dan keintiman, yang seringkali merefleksikan hubungan emosional yang dalam antara pasangan.
Persepsi di Luar Budaya Asalnya
Ketika kizomba menyebar ke berbagai negara, termasuk Indonesia, tarian ini sering kali disalahpahami. Beberapa pihak menganggapnya tidak pantas karena gerakan yang intim antara pasangan yang menari. Di banyak negara yang lebih konservatif dalam hal norma sosial dan interaksi fisik, seperti Indonesia, tarian yang sangat dekat dan penuh kontak fisik ini dianggap meresahkan atau melanggar norma-norma kesopanan.
Kritik dari Perspektif Sosial dan Agama
Di Indonesia, di mana norma sosial dan agama sering kali lebih konservatif, kritik terhadap kizomba muncul terutama dari kalangan yang mempermasalahkan interaksi fisik yang terlalu dekat dalam konteks publik. Beberapa kelompok masyarakat berpendapat bahwa tarian seperti ini tidak sesuai dengan nilai-nilai kesopanan dan agama yang dijunjung tinggi. Kecemasan ini dipicu oleh kekhawatiran bahwa tarian seperti kizomba dapat mendorong perilaku yang tidak sesuai dengan norma kesusilaan, terutama di kalangan generasi muda.
Pengaruh Media dan Komunitas Global
Sebagian besar kekhawatiran ini juga diakibatkan oleh peningkatan globalisasi budaya, di mana tarian sosial dari berbagai belahan dunia, seperti salsa, bachata, dan kizomba, semakin mudah diakses melalui media sosial. Dengan banyaknya video yang menunjukkan tarian kizomba dalam bentuk yang sangat sensual dan intim, hal ini memperkuat kesan negatif terhadap tarian ini di beberapa kalangan. Selain itu, komunitas tari di Indonesia yang mengadopsi kizomba sering kali tidak secara penuh menjelaskan konteks budaya asli dari tarian ini, sehingga memicu kesalahpahaman.
Argumen Pendukung
Namun, di sisi lain, banyak yang membela kizomba sebagai bentuk seni tari yang indah dan bagian dari interaksi sosial yang sehat. Para pendukung berpendapat bahwa tarian ini, jika dipahami dan dipraktikkan dalam konteks yang tepat, bukan hanya tentang keintiman fisik, tetapi juga tentang kerjasama, rasa percaya, dan komunikasi non-verbal antara dua orang. Mereka juga menekankan pentingnya memahami dan menghormati asal-usul budaya dari tarian ini, sebelum membuat penilaian yang terburu-buru.
Solusi dan Pendekatan Kritis
Salah satu solusi yang dapat diusulkan adalah dengan mendekati kizomba secara lebih kontekstual. Edukasi tentang asal-usul budaya tarian ini, nilai-nilai yang diusungnya, serta bagaimana tarian ini sebenarnya merupakan bentuk seni yang menghargai keindahan gerak, dapat membantu mengurangi kesalahpahaman. Selain itu, komunitas tari di Indonesia juga dapat menyesuaikan koreografi atau gaya tarian kizomba agar lebih sesuai dengan norma-norma lokal, tanpa kehilangan esensi dari tarian itu sendiri.
Kesimpulan
Secara keseluruhan, kekhawatiran terhadap kizomba lebih berkaitan dengan perbedaan budaya dan interpretasi lokal terhadap gerakan tari. Sebagai tarian yang memiliki akar budaya yang kuat, penting untuk menghargai konteks asalnya, namun juga mempertimbangkan penyesuaian di tempat-tempat dengan norma sosial yang berbeda. Dengan adanya dialog yang lebih terbuka dan edukasi yang lebih luas, diharapkan kekhawatiran ini dapat diredakan.
Kizomba : Wujud Glorifikasi dan Idolatria terhadap Gerakan Tubuh
Dansa kizomba, sebuah tarian sosial yang berasal dari Angola, telah menjadi fenomena global, menyebar dengan cepat ke berbagai belahan dunia, termasuk di negara-negara dengan budaya yang berbeda jauh dari asalnya. Popularitas kizomba tidak terlepas dari daya tarik visualnya yang sensual dan intens, yang mengundang pujian sekaligus kritik. Namun, lebih dari sekadar sebuah tarian, kizomba juga dapat dilihat sebagai bentuk glorifikasi dan idolatria terhadap gerakan tubuh manusia, di mana ekspresi fisik ditempatkan pada pusat perhatian.
Kizomba: Antara Keindahan dan Sensualitas
Kizomba adalah tarian yang menekankan gerakan tubuh yang halus, lambat, dan penuh makna. Dalam setiap langkahnya, ada keharmonisan antara pasangan yang menari, dengan setiap gerakan yang berpusat pada kedekatan fisik dan ritme musik. Sensualitas kizomba terletak pada bagaimana tubuh mengekspresikan emosi melalui gerakan yang intim dan terkoordinasi. Banyak yang memuji tarian ini sebagai bentuk seni yang indah dan menggugah, di mana tubuh manusia dirayakan sebagai medium untuk menyampaikan perasaan dan hubungan.
Namun, di sisi lain, tarian ini juga menghadirkan glorifikasi yang sangat kuat terhadap fisik. Tubuh, dalam kizomba, bukan hanya instrumen untuk menari, tetapi juga menjadi objek yang dipuja melalui gerakannya. Sensualitas yang sering kali diasosiasikan dengan kizomba dapat dianggap sebagai bentuk idolatria terhadap keindahan tubuh, di mana tarian ini berfungsi sebagai platform untuk mengagungkan kekuatan fisik dan daya tarik sensual pasangan yang menari.
Tubuh sebagai Objek dan Subjek dalam Kizomba
Dalam konteks kizomba, tubuh bukan hanya medium ekspresi, tetapi juga pusat perhatian. Gerakan-gerakan yang dekat, erat, dan penuh dengan kontak fisik mengarahkan perhatian pada tubuh sebagai fokus utama dari tarian. Para penari, baik pria maupun wanita, menampilkan gerakan yang memperlihatkan ketangguhan fisik, kelenturan, dan keindahan tubuh mereka. Di sini, tubuh diidolakan sebagai sesuatu yang harus diperlihatkan, dihargai, dan dikagumi.
Pada dasarnya, hal ini mengarah pada pemujaan fisik (idolatria tubuh), di mana elemen spiritual atau emosional dari tarian dapat tersingkirkan oleh aspek visual yang lebih menonjol. Kizomba, dengan kontak fisik yang intim, dapat dipandang sebagai ritual di mana tubuh manusia diangkat sebagai simbol kekuatan, kecantikan, dan kedekatan. Dalam beberapa kasus, tubuh menjadi satu-satunya bahasa yang diutamakan, menggantikan ekspresi verbal atau emosional dengan gerakan yang merangsang secara visual.
Kritik Terhadap Pemujaan Tubuh dalam Kizomba
Banyak kritik muncul terhadap aspek glorifikasi tubuh dalam kizomba, terutama di masyarakat yang memiliki norma sosial dan agama yang ketat. Di Indonesia, misalnya, budaya tarian yang menekankan sensualitas fisik ini sering dianggap bertentangan dengan nilai-nilai kesopanan dan keagamaan. Pemujaan terhadap gerakan tubuh yang sensual dan dekat dianggap tidak sesuai dengan norma-norma sosial yang menekankan pada penghormatan terhadap privasi fisik dan kehalusan interaksi sosial.
Kritikus menyoroti bahwa dalam tarian ini, tubuh sering kali dijadikan objek yang terlalu terekspos, seolah-olah menghilangkan esensi manusia sebagai makhluk yang lebih dari sekadar fisik. Ada kekhawatiran bahwa tarian seperti kizomba mendorong eksploitasi tubuh, mengesampingkan aspek-aspek non-fisik dari hubungan manusia, seperti komunikasi emosional atau spiritual. Dalam konteks ini, idolatria tubuh dianggap dapat merusak nilai-nilai moral dan memicu perilaku yang bertentangan dengan norma-norma tradisional.
Glorifikasi Tubuh dalam Konteks Modern
Namun, dalam dunia modern yang semakin terhubung dan terbuka, glorifikasi tubuh melalui tarian seperti kizomba mungkin dapat dipahami sebagai respons terhadap kebutuhan manusia untuk mengekspresikan diri secara fisik. Dalam masyarakat yang semakin digital dan teralienasi, di mana interaksi manusia sering kali dibatasi oleh layar dan teknologi, tarian ini memberikan ruang bagi tubuh untuk kembali menjadi alat komunikasi utama. Glorifikasi tubuh melalui gerakan tidak selalu berarti idolatria dalam arti negatif, tetapi bisa juga dilihat sebagai bentuk pemberdayaan fisik dan penghargaan terhadap tubuh manusia sebagai manifestasi dari vitalitas dan kehidupan.
Penari kizomba sering kali menyatakan bahwa tarian ini tidak hanya tentang sensualitas, tetapi juga tentang kepercayaan dan komunikasi antara pasangan. Dalam tarian ini, tubuh digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan emosional yang mungkin sulit diungkapkan secara verbal. Di sini, tubuh dipandang sebagai medium yang kuat untuk mengekspresikan perasaan yang mendalam, bukan semata-mata sebagai objek sensual.
Refleksi terhadap Tubuh dalam Kizomba
Kizomba, sebagai tarian yang sensual dan ekspresif, memang mengangkat tubuh sebagai pusat perhatian. Dalam beberapa hal, tarian ini dapat dilihat sebagai bentuk glorifikasi atau bahkan idolatria terhadap gerakan tubuh, di mana fisik menjadi pusat dari narasi tari. Namun, penting untuk diingat bahwa tarian ini juga berakar pada budaya yang memiliki cara tersendiri dalam menghargai tubuh dan gerakan fisik sebagai bentuk ekspresi.
Dalam dunia yang semakin global, penting untuk memahami konteks budaya yang melatarbelakangi tarian seperti kizomba dan bagaimana gerakan tubuh dapat berfungsi sebagai sarana komunikasi dan ekspresi yang sah. Glorifikasi tubuh dalam tarian ini bukan semata-mata soal sensualitas, tetapi juga tentang bagaimana tubuh dapat menjadi simbol keindahan, kepercayaan, dan hubungan manusia yang mendalam.
Pandangan Kritis terhadap Dansa Kizomba Berdasarkan Pernyataan Santo Paulus tentang Tubuh sebagai Bait Roh Kudus
Dansa kizomba, yang sering dipandang sebagai tarian yang sensual dan intim, bisa menjadi subjek kajian kritis dalam perspektif iman Kristen, khususnya dengan merujuk pada ajaran Santo Paulus tentang tubuh sebagai “bait Roh Kudus.” Pernyataan ini dapat ditemukan dalam 1 Korintus 6:19-20, yang menyatakan:
“Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!” (1 Korintus 6:19-20, TB).
Dari pandangan biblis ini, tubuh dipahami sebagai tempat kediaman Roh Kudus, yang berarti bahwa setiap tindakan yang melibatkan tubuh harus menghormati fungsi suci dari tubuh tersebut. Dengan demikian, setiap ekspresi fisik, termasuk tarian, perlu dilihat dalam kerangka moralitas dan kemuliaan bagi Allah.
Tubuh sebagai Bait Roh Kudus
Dalam ajaran Paulus, tubuh tidak hanya dilihat sebagai wadah fisik, tetapi sebagai tempat di mana Roh Kudus berdiam. Konsep ini mengubah cara orang Kristen memandang tubuh mereka sendiri dan interaksi fisik mereka dengan orang lain. Tubuh bukan hanya milik pribadi, tetapi juga milik Allah, sehingga setiap tindakan yang menggunakan tubuh harus memuliakan Allah. Santo Paulus menekankan bahwa tubuh harus dijaga dari tindakan yang dianggap sebagai pelanggaran moralitas, terutama yang menyangkut kesucian dan kemurnian.
Dalam konteks kizomba, yang dikenal sebagai tarian dengan gerakan sensual dan kedekatan fisik antara pasangan, muncul pertanyaan: apakah tarian ini dapat memuliakan Allah atau justru mengarah pada penyalahgunaan tubuh sebagai alat untuk kepuasan fisik? Jika tubuh adalah bait Roh Kudus, maka penggunaan tubuh dalam aktivitas seperti dansa harus dinilai berdasarkan apakah aktivitas tersebut menghormati kehadiran Roh Kudus dalam diri seseorang.
Perbandingan dengan Ajaran Paulus tentang Kemurnian
Dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, Santo Paulus juga berbicara banyak tentang pentingnya menjaga kemurnian tubuh dan menghindari percabulan. 1 Korintus 6:18 mengatakan, “Jauhkanlah dirimu dari percabulan! Setiap dosa lain yang dilakukan manusia terjadi di luar dirinya, tetapi orang yang melakukan percabulan berdosa terhadap dirinya sendiri.” Ajaran ini menyoroti bahwa tindakan yang tidak murni terhadap tubuh dianggap sebagai dosa serius karena langsung melibatkan tubuh sebagai tempat kediaman Roh Kudus.
Sementara kizomba, sebagai sebuah tarian, mungkin tidak secara eksplisit melibatkan tindakan seksual, banyak gerakannya bersifat sensual dan intim, yang dapat memicu atau menggambarkan kedekatan fisik yang mengarah pada pemikiran atau hasrat seksual. Dalam ajaran Paulus, tindakan yang membangkitkan keinginan seksual di luar konteks pernikahan dianggap melanggar standar kesucian tubuh. Dalam konteks ini, kizomba bisa dilihat sebagai sesuatu yang berpotensi bertentangan dengan ajaran tentang menjaga kemurnian tubuh.
Tantangan Etis dan Moral dalam Kizomba
Dalam kritik terhadap kizomba, muncul beberapa tantangan etis terkait hubungan antara keintiman fisik dan kesucian tubuh. Kizomba sangat berbeda dari tarian yang lebih formal atau ritualistik, karena menekankan kedekatan dan kontak fisik yang erat antara pasangan. Pada satu sisi, tarian ini bisa dianggap sebagai ekspresi seni, tetapi pada sisi lain, intensitas fisik dalam kizomba dapat menyebabkan godaan atau dorongan yang berbahaya secara moral bagi beberapa individu.
Pertanyaan yang muncul adalah, apakah seseorang yang menari kizomba benar-benar dapat menjaga tubuhnya sebagai “bait Roh Kudus” tanpa melibatkan aspek sensual yang membangkitkan nafsu? Jika tarian ini dipraktikkan dalam batas-batas yang menghormati tubuh dan tidak mengundang pemikiran atau tindakan yang tidak murni, maka argumen bahwa tubuh sebagai bait Roh Kudus mungkin masih dapat dipertahankan. Namun, jika tarian ini dianggap sebagai penggambaran eksplisit dari hasrat fisik yang intens, maka hal tersebut dapat dilihat sebagai pelanggaran terhadap ajaran Paulus tentang menjaga kemurnian tubuh.
Alternatif dalam Mengekspresikan Tubuh
Paulus tidak menolak penggunaan tubuh untuk mengekspresikan kebahagiaan, sukacita, atau pujian kepada Tuhan. Dalam beberapa konteks, tarian memang digunakan sebagai bentuk ibadah, seperti dalam kasus Raja Daud yang menari di hadapan Tuhan dalam 2 Samuel 6:14. Namun, perbedaan penting terletak pada niat dan bentuk ekspresi fisik tersebut. Jika tarian digunakan untuk memuliakan Allah dan tidak menekankan sensualitas atau hasrat fisik, maka tarian tersebut dapat dilihat sebagai sesuatu yang sah secara spiritual.
Kritik terhadap kizomba dari perspektif biblis ini dapat mengarahkan kita pada pertanyaan yang lebih dalam tentang bagaimana tubuh seharusnya digunakan sebagai instrumen untuk memuliakan Tuhan, bukan sebagai objek untuk memuaskan hasrat manusiawi. Alternatif ekspresi tubuh dalam konteks iman Kristen harus lebih menekankan kesucian, keindahan yang murni, dan penghormatan terhadap martabat tubuh sebagai bait Roh Kudus.
Kesimpulan
Kritik terhadap dansa kizomba berdasarkan pernyataan Santo Paulus tentang tubuh sebagai bait Roh Kudus membawa kita pada pemahaman bahwa setiap tindakan yang melibatkan tubuh, termasuk tarian, harus dilihat dalam kerangka moral yang menghormati kesucian tubuh. Kizomba, dengan gerakannya yang sensual dan kedekatan fisik yang intens, dapat menimbulkan kekhawatiran dari sudut pandang Kristen yang menekankan pentingnya menjaga kemurnian dan kesucian tubuh.
Meskipun tarian ini dapat dilihat sebagai ekspresi seni dan keindahan gerakan tubuh, ada risiko bahwa tarian ini dapat memicu hasrat fisik yang tidak sesuai dengan ajaran tentang kesucian tubuh. Dalam hal ini, penting bagi setiap individu Kristen untuk mengevaluasi niat dan tujuan di balik setiap tindakan fisik, termasuk tarian, agar tubuh tetap diperlakukan sebagai tempat kediaman Roh Kudus dan sebagai alat untuk memuliakan Allah, bukan untuk memuaskan keinginan yang bersifat duniawi.
Penulis : RD. Yudel Neno (Imam Keuskupan Atambua – Sekretaris Komisi Kepemudaan Keuskupan Atambua).