KeuskupanAtambua.org – Warisan di Ruang Kosong: Spiritualitas Seorang Gembala – Oleh: RD. Leo Mali – Dosen dan Pembina pada Fakultas Filsafat Unwira Kupang dan Seminari Tinggi Santo Mikael Penfui Kupang
“Karena seorang uskup harus meletakkan persoalan umat di ruang kosong atas mitranya” — Mgr. Petrus Turang
Pagi itu, tanggal 4 April 2025 pukul 08.15 Wita, saya tengah berada di ruang kelas menguji tesis seorang frater Tingkat VI dari Konviktus Keuskupan Agung Kupang. Di tengah keseriusan akademik itu, kabar duka datang menghentak: Mgr. Emeritus Petrus Turang telah dipanggil pulang ke rumah Bapa.
Seketika, tubuh saya menggigil. Mata saya terasa sembab. Keheningan menyelimuti ruangan. Dengan lirih, saya meminta izin kepada Romo Dr. Herman Punda Panda untuk menghentikan ujian sejenak. Kami lalu berdoa bersama, membiarkan duka menyatu dalam doa.
Usai ujian, saya terdorong untuk menuliskan refleksi ini. Bukan sekadar mengenang, tapi menghidupkan kembali jejak seorang gembala yang selama 27 tahun mengiringi perjalanan Gereja lokal di tanah Timor.
Ketika ditahbiskan pada 27 Juli 1997, Mgr. Petrus Turang menyampaikan kalimat yang terus bergema dalam benak saya: “Mengapa ada tempat kosong di atas mitra uskup?” Pertanyaan itu dijawabnya sendiri: “Karena seorang uskup harus meletakkan persoalan umat di ruang kosong atas mitranya.”
Itu bukan sekadar pembuka pidato atau retorika elegan. Itu adalah pengakuan dan tekad dari seorang gembala yang siap memikul salib umat, yang rela membiarkan hatinya menjadi altar keluh kesah dan harapan banyak orang.
Selama 27 tahun, kalimat itu menjadi semacam nubuat yang ia genapi. Mitra itu kini tak lagi ia kenakan. Tapi ruang kosong di atasnya kini berisi gema kasih dan dedikasi yang tak lekang oleh waktu.
Ia Menghidupi Kristus
Moto episkopalnya, Per transiit benefaciendo—”Ia berjalan sambil berbuat baik” (Kis. 10:38)—bukan hanya slogan. Itu adalah cara hidupnya. Ia tidak mencari popularitas, tapi membangun kedekatan. Ia hadir, berjalan, mendengar, dan menyembuhkan.
Di wilayah keras dan menantang seperti Nusa Tenggara Timur, ia menjadi sungai yang tenang namun memberi kehidupan. Ia tidak membangun kekuasaan, tapi relasi. Ia tidak mencari pengaruh, tapi kehadirannya berpengaruh.
Ia Menjadi Gembala dalam Arti Penuh
Dalam pengalaman pastoral saya bersamanya—baik sebagai imam maupun dosen—saya melihat betapa ia menyeimbangkan kedalaman teologi dengan kepekaan pastoral. Ia keras dalam prinsip, namun lembut dalam penghayatan iman.
Pernah di sebuah kunjungan ke Kapela Stasi Pakubaun Amarasi, Oktober 1999, ia menolak dicium tangannya oleh umat. Itu bukan kesombongan rohani, tapi ketulusan dan keengganan untuk dijadikan figur yang jauh. Namun, ketika akhirnya membiarkan umat mencium tangannya, itu bukan karena ia berubah pikiran, tapi karena ia mengerti pentingnya simbol kasih bagi umat.
Ia Menjadi Penafsir Zaman
Dalam banyak pertemuan, ia tampil sebagai penafsir zaman. Ia bersuara tentang ketidakadilan sosial, pentingnya pendidikan bermartabat, dan relasi lintas iman. Tapi semua ia lakukan dalam gaya Kristiani yang senyap namun kuat.
Ia tidak mengajar kita menjadi sukses, tapi mengajar kita menjadi setia. “I am not to be successful, but I am here to be faithful.” Kalimat ini bukan hanya pengakuan, tapi warisan spiritual.
Meninggalkan Jejak yang Tak Terhapuskan
Dalam tahun Yubileum dengan tema Peregrinantes in spem—peziarah pengharapan—Mgr. Turang menutup ziarahnya dengan cara yang sangat simbolik: memasuki Pintu Keabadian sebagaimana umat diajak memasuki Pintu Suci.
Kini, mitranya telah diletakkan. Tapi ruang kosong di atasnya bukan kekosongan semata. Ia adalah ruang kenangan, ruang doa, ruang harapan. Ia adalah tempat kita menyimpan inspirasi, hingga hari kita masing-masing tiba.
Hodie tibi, cras mihi: Hari ini bagimu, esok bagiku.
Ia telah mendahului kita, tapi jejaknya tetap menuntun ziarah kita. Dan kami, para imam dan umat, akan meneruskan ziarah ini bersama Mgr. Hironimus Pakaenoni—dengan terus menjaga ruang kosong di atas mitra itu, sebagai lambang kasih yang selalu siap memanggul persoalan umat.
Terima kasih, Monsinyur Petrus Turang.
Pelayananmu adalah litani kasih yang tak pernah selesai.
Oleh RD. Leo Mali, Pr – Dosen Fakultas Filsafat Unwira Kupang dan Pembina pada Seminari Tinggi Santo Mikael Penfui Kupang. Diedit dengan sudut pandang penulisan yang lain oleh Rm. Yudel Neno, Pr