OPINI – KeuskupanAtambua.org – Homili menurut Fulton John Sheen dan Paus Fransiskus – oleh Rm. Christian Kali, Pr – Pastor yang bertugas di Paroki Manufui
Pendahuluan
Di berbagai platform media sosial, tren homili yang menyerupai pertunjukan stand-up comedy semakin marak. Imam menyampaikan khotbah dengan gaya yang menghibur, bahkan sering kali me-roasting umat hingga gereja riuh dengan tawa dan tepuk tangan. Di tempat lain, ada pula imam yang mengubah homili menjadi ajang pemaparan strategi pembangunan gereja, laporan keuangan paroki, cerita sinetron(basa-basi), amarah (pesan moral murahan), keluhan pribadi, gerutuan menyakitkan dan menyimpang dari Sabda Allah. Terhadap praktek di atas, Paus Fransiskus mengeritik bahwa homili tidak bisa berbentuk hiburan seperti yang disajikan oleh media (EG. art 138).
Mengapa bertobat itu penting? Karena bertobat merupakan tindakan pertama dari jiwa yang kembali kepada Allah, cambukan pertama yang memutuskan hubungan dosa dari hati
Fenomena seperti di atas menimbulkan pertanyaan: apakah homili yang menarik harus selalu menghibur, atau justru berisiko melukai?
Kemalasan rohani dalam mempersiapkan homili adalah kesalahan fatal. Homili yang panjang, tidak terarah, dan tanpa persiapan justru menambah beban umat yang sudah lelah dengan berbagai pergumulan hidup. Imam hendaknya mengelakkan diri dari kemalasan Rohani, khotbah tanpa persiapan dan berlarut-larut dalam waktu yang lama sangatlah buruk
Banyak umat merasa jenuh dengan khotbah yang panjang, tidak terstruktur, dan minim persiapan. Akibatnya, perhatian berkurang, umat tertidur, berbincang sendiri, atau sekadar menunggu homili berakhir.
Sekilas tentang Fulton John Sheen – Penginjil Katolik di Era Modern
Fulton John Sheen adalah Seorang Uskup Agung Katolik Roma yang dikenal luas sebagai Penginjil dan Komunikator Ulung di abad ke-20. Lahir pada 8 Mei 1895 di El Paso, Illinois, ia tumbuh dalam lingkungan keluarga Katolik yang taat.
Sejak usia muda, Sheen menunjukkan kecerdasan dan ketertarikan mendalam pada iman, yang kemudian membawanya menempuh pendidikan di Universitas St. Viator dan Universitas Katolik Amerika. Ia kemudian melanjutkan studinya di Universitas Louvain, Belgia, di mana ia meraih gelar doktor dalam bidang filsafat dan teologi.
Pada 20 September 1919, Sheen ditahbiskan sebagai imam, menandai awal dari perjalanan panjangnya dalam pelayanan gereja. Karier akademiknya berkembang pesat ketika ia menjadi profesor filsafat di Universitas Katolik Amerika, sebuah posisi yang diembannya selama lebih dari dua dekade. Namun, bukan hanya di ruang akademik Sheen meninggalkan jejaknya, melainkan juga di dunia media yang kala itu masih berkembang.
Homili merupakan kesempatan untuk menjangkau orang lain melalui kata-kata. Homili juga merupakan kesempatan untuk merebut hati umat; mereka datang untuk mendengarkanNya dari segala penjuru. Homili merupakan kesempatan untuk mereka yang mendengarkanNya merasa takjub dan bukan terbebani; dan karena itu, homili perlu dipersiapkan dengan jelas dan sederhana – Paus Fransiskus
Pada tahun 1930, Sheen mulai menarik perhatian publik melalui siaran radionya, The Catholic Hour, yang dengan cepat meraih jutaan pendengar. Sejak tahun 1940, Sheen dikenal sebagai pelopor pelayanan yang pertama melalui televisi.
Keberhasilannya di radio membuka jalan bagi kiprahnya di televisi dan pada tahun 1950 ia diangkat menjadi Direktur Nasional dari Society for the Propagation of the Faith. Selanjutnya dari tahun 1951-1957 Sheen menjadi pembawa acara Life is Worth Living (Hidup Berharga untuk Dilayani). Dengan gaya penyampaian yang memikat dan pemikiran yang tajam, Sheen mampu menarik perhatian tidak hanya umat Katolik, tetapi juga masyarakat luas dari berbagai latar belakang agama. Popularitasnya begitu besar hingga ia bahkan memenangkan Penghargaan Emmy untuk kategori pembawa acara televisi terbaik.
Menurut Paus Fransiskus, homili merupakan alat uji untuk menilai kedekatan pastor untuk berkomunikasi dengan umatnya
Dalam struktur kepemimpinan Gereja Katolik, Sheen terus dipercaya mengemban tugas-tugas penting. Pada tahun 1951, ia diangkat sebagai Uskup Agung Tituler Newport oleh Paus Pius XII sekaligus menjabat sebagai Direktur Misi Kepausan Amerika Serikat. Kemudian, pada tahun 1962, Paus Yohanes XXIII menugaskannya di Konsili Vatikan II sebagai Komisi Misionaris. Pada tahun 1966, ia ditunjuk sebagai Uskup Rochester, New York, oleh Paus Paulus VI sebelum akhirnya pensiun tiga tahun kemudian (1969). Selanjutnya, pada 15 Oktober 1969, Paus Paulus VI mengangkatnya menjadi Uskup Agung Tituler Newport. Beliau menulis 73 buku dan berbagai artikel dan karangan. Meski telah pensiun, Sheen tetap aktif menulis, berkhotbah, dan membimbing umat.
Uskup Agung Sheen, wafat di kediamannya di New York pada tanggal 9 Desember 1979 dan dimakamkan di pemakaman Katedral Santo Patrick.
Warisan Sheen tidak hanya terletak pada media evangelisasi, tetapi juga dalam karya tulisnya. Sepanjang hidupnya, ia menulis lebih dari 60 buku, di antaranya Life of Christ, The World’s First Love dan The Priest Is Not His Own, yang masih banyak dibaca hingga kini. Gaya penulisannya yang logis dan menggugah menjadikannya salah satu pemikir Katolik paling berpengaruh di zamannya.
Sebagai pengakuan atas kehidupan dan pelayanannya yang luar biasa, Gereja Katolik pada tahun 2002 menganugerahinya gelar Venerable- Servant of God – Hamba Allah, sebuah langkah awal dalam prosesbeatifikasi dan kanonisasi. Jenazahnya kemudian dipindahkan ke Peoria, Illinois, sebagai bagian dari proses beatifikasinya.
Fulton Sheen adalah contoh nyata bagaimana iman dapat disampaikan dengan cara yang relevan dan menarik di tengah perubahan zaman. Melalui media, tulisan, dan pengajarannya, ia membawa pesan Katolik ke dunia modern, menjadikan spiritualitas lebih dekat dan lebih dipahami oleh banyak orang.
Berkhotbah dan Berdoa
Sejak ditahbiskan, seorang imam memiliki kewajiban utama untuk berkhotbah. Fulton J. Sheen menegaskan bahwa menyampaikan Sabda Allah dari minggu ke minggu tanpa doa dan persiapan tidak hanya menjadikan imam tersebut stagnan, tetapi justru dapat membuatnya semakin buruk.
Sheen memperingatkan bahwa kegagalan untuk bertumbuh dalam kehidupan rohani sama dengan kemunduran. Gagal untuk menanjak berarti merosot ke bawah. Hubungan seorang imam dengan Tuhan adalah keistimewaan yang harus senantiasa diperbarui agar tidak menjadi rutinitas tanpa makna.
Menurut Sheen, imam yang malas secara rohani, yang tidak tinggal dekat dengan api tabernakel, tidak akan mampu menyalakan api di atas mimbar. Homili tanpa doa hanya akan menjadi keluhan yang menyakitkan, bukan pewartaan Injil yang menghidupkan. Homili tanpa doa – menghasilkan khotbah yang buruk. Sheen bahkan menegaskan bahwa imam yang tidak mempersiapkan homili dengan baik sama saja dengan mempermalukan Kristus. Jika Yesus mengundang semua orang yang letih dan berbeban berat untuk datang kepada-Nya (bdk. Mat 11:28, Yoh. 10:13), maka seorang imam harus terlebih dahulu memikul tanggung jawabnya sebelum berani mengkhotbahkan umat. Imam yang mempersiapkan homili tanpa doa, menurut Sheen, ia tidak berhak mengkhotbahkan orang yang “bekerja berat” dan “berbeban berat.
Mempersiapkan Homili atau Khotbah
Fulton J. Sheen memberikan panduan konkret agar homili menjadi berkat bagi umat. Ia menekankan bahwa homili yang baik harus membakar hati dan jiwa, sebab tugas imam adalah memberi makan umat dengan Sabda Allah. Paulus dengan tegas menyatakan, “Celakalah aku, jika aku tidak mewartakan Injil!” (1 Kor 9:16).
Beberapa prinsip yang dianjurkan oleh Sheen dalam mempersiapkan homili. Yang pertama ; Meditasi Sabda Allah setiap pagi, terutama untuk homili hari Minggu yang akan datang. Yang kedua : Sebelum berkhotbah, berdoa lima menit kepada Roh Kudus untuk memperoleh api Pentakosta dalam pewartaan. Yang ketiga : Menjaga agar Kitab Suci selalu terbuka di dekat imam sebagai sumber utama kebenaran dalam pewartaan. Dengan prinsip-prinsip di atas, menurut Sheen, imam tidak akan menggantikan Alkitab dengan laporan keuangan paroki, mengganti ajakan pertobatan dengan permohonan sumbangan, atau menukar pewartaan salib dengan basa-basi kosong.
Kitab Suci – Tema Pertobatan
Topik dalam homili tidak akan pernah habis jika bersumber dari Kitab Suci. Namun, dari sekian banyak tema, yang paling fundamental adalah pertobatan (repentance). Pertobatan merupakan tema dari khotbah Yohanes Pembaptis (Mat 3:8). Khotbah Yesus yang pertama adalah mengenai pertobatan (Mat 4:17). Khotbah pertama Petrus kepada orang Yahudi (Kis 2:38) dan kepada orang-orang bukan Yahudi (Kis 11:28) adalah mengenai pertobatan. Demikian pun Paulus yang mana menyampaikan Pertobatan kepada orang Yahudi dan non-Yahudi (Kis 20:21). Pertobatan adalah tema pertama dan terakhir dari Khotbah Yesus; “Pertobatan dan pengampunan dosa harus disampaikan kepada segala bangsa” (Luk 24;47).
Pesan dari Bunda Maria di Lourdes adalah “Lakukanlah penebusan dosa”; kata-kata yang sama diulang di Fatima: Lakukanlah penebusan dosa.” Namun berapa sering penebusan dosa dikhotbahkan? Mengapa bertobat itu penting? Karena bertobat merupakan tindakan pertama dari jiwa yang kembali kepada Allah, cambukan pertama yang memutuskan hubungan dosa dari hati. Oleh Karena itu, para pendosa janganlah terus menunda pertobatan demi memperoleh kesalamatan dari Allah.
Sumbangan Pemikiran Paus Fransiskus tentang Homili
Tentang homili dan bagaimana membawakan homili yang baik, Paus Fransiskus menekankan bahwa homili yang baik haruslah singkat dan dipersiapkan dengan matang. Homili seharusnya lahir dari perjumpaan pribadi imam dengan Sabda Allah dan doa, karena tugas utama imam adalah “mengkhotbahkan Dunia Yesus.
Dalam Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, khususnya dalam artikel 135–159, Paus Fransiskus menekankan beberapa hal penting tentang homili.
Yang pertama : Homili sebagai perjumpaan antara Allah dan umat-Nya
Homili bukan sekadar ceramah, tetapi bagian dari liturgi yang memperdalam hubungan umat dengan Allah (EG. art 135). Dalam homili, Sabda Allah harus dipribadikan. Dan karena itu, menurut Paus; pengetahuan aspek linguistik atau eksegetis belumlah mencukupi. Dalam homili, hendaklah pastor mendekati Sabda Allah dengan hati yang sungguh terbuka dan dalam sikap doa, sehingga Sabda itu secara mendalam meresapi pikiran maupun perasaan umat yang mendengarkan dan menciptakan wawasan baru padanya (EG. art 149).
Yang kedua : Kesederhaan dan Kejelasan
Paus menekankan bahwa homili harus mudah dipahami dan tidak terlalu panjang, agar umat dapat menangkap makna Injil dengan baik. Homili merupakan kesempatan untuk menjangkau orang lain melalui kata-kata (bdk. Roma. 10:14-17, EG. art. 136). Homili juga merupakan kesempatan untuk merebut hati umat; mereka datang untuk mendengarkanNya dari segala penjuru (bdk Mrk. 1:45, EG. art 136). Homili merupakan kesempatan untuk mereka yang mendengarkanNya merasa takjub dan bukan terbebani; dan karen itu, homili perlu dipersiapkan dengan jelas dan sederhana (bdk. Mrk. 6:2, EG. art. 136).
Yang ketiga : Persiapan yang Mendalam
Seorang pengkhotbah harus berdoa, merenungkan Kitab Suci, dan memahami situasi umat yang dilayani. Paus mengatakan bahwa persiapan yang mendalam dapat menghasilkan kata-kata yang mengobarkan hati (EG. art 142). Dalam persiapan homili, Paus Fransiskus mengingatkan bahwa homili atau khotbah yang melulu bersifat moralistik atau doktriner, atau khotbah yang berubah menjadi kuliah tentang tafsir Kitab Suci, mengurangi komunikasi dari hati ke hati ini yang terjadi dalam homili dan memiliki sifat kuasi-sakramen: “Jadi, iman timbul dari pendengaran (Fides ex Auditu), dan pendengaran oleh Firman Kristus” (Rom. 10:17, EG. art 142). Persiapan yang mendalam menegaskan bahwa homili merupakan manifestasi dari hati yang berbicara (EG. art. 144).
Yang keempat : Gaya Berbicara yang Menarik
Homili yang baik tidak hanya berisi ajaran teologis, tetapi juga harus menggunakan bahasa yang menarik dan akrab bagi umat. Ini tidak berarti homili harus ibarat stand up comedy. Menurut Paus Fransiskus, homili merupakan alat uji untuk menilai kedekatan pastor untuk berkomunikasi dengan umatnya (EG art. 135). Apabila pastor mengutamakan metode stand up comedy, maka sebetulnya pastor bukan mendekatkan Sabda dengan umat, melainkan menjadikan umat sebagai objek mendulang perhatian.
Yang kelima : Aplikasi dalam Kehidupan Sehari-hari
Paus Fransiskus menegaskan bahwa homili harus relevan dengan kehidupan umat, memberikan penghiburan, tantangan, dan harapan. Menurut Paus Fransiskus; seorang pengkhotbah, selain berbicara, ia juga harus menjadi telinga bagi umat, agar iapun dapat mendengarkan umat. Seorang pengkhotbah harus tahu bahwa dalam merenungkan sabda, ia juga harus merenungkan umatnya, karena dengan mendengarkan mereka; sama halnya dengan Allah memanggil mereka (EG. art 154). Dalam kaitannya dengan ini juga, Paus menegaskan bahwa hendaknya homili tidak terlalu mementingkan penjelasan tentang apa yang sebaiknya tidak dilakukan, melainkan menyarankan apa yang dapat kita lakukan secara lebih baik (Eg. art. 159).
Kesimpulan
Berkhotbah adalah tugas utama seorang imam tertahbis. Homili yang baik harus berakar dalam persatuan dengan Sabda Ilahi di depan Ekaristi. Imam yang ingin mengkhotbahkan Dunia Kristus harus tetap dekat dengan api tabernakel agar di mimbar Sabda, kata-katanya mampu membakar hati umat untuk bertobat.
Kemalasan rohani dalam mempersiapkan homili adalah kesalahan fatal. Homili yang panjang, tidak terarah, dan tanpa persiapan justru menambah beban umat yang sudah lelah dengan berbagai pergumulan hidup. Imam hendaknya mengelakkan diri dari kemalasan Rohani, khotbah tanpa persiapan dan berlarut-larut dalam waktu yang lama sangatlah buruk.
Fulton J. Sheen menegaskan bahwa tanpa kehidupan rohani yang mendalam, homili seorang imam akan menjadi hambar, membosankan, dan tidak membawa manfaat. Oleh karena itu, seorang imam harus selalu menjaga kedekatannya dengan Tuhan, agar Sabda yang ia wartakan benar-benar menjadi terang dan kekuatan bagi umat.
Sumber Bacaan :
Imam Bukan Miliknya Sendiri karya Fulton John Sheen dan Seruan Apostolik Paus Fransiskus ; Evangelii Gaudium
Penulis : Rm. Christian Kali, Pr
Editor : Rm. Yudel Neno, Pr