Ada 15 artikel dalam dokumen ini (Apperuit Illis). Penulis berupaya membeberkan makna penting tiap artikel sebagai inspirasi merenungkan Hari Minggu Sabda Allah, yang akan dirayakan pada Hari Minggu III dalam masa biasa.
Yang Pertama ; Antara Kristus, Gereja dan Kitab Suci
Bapa Suci mengangkat tema penting tentang Kristus sebagai sumber utama dalam Kitab Suci. Ia menyebut bahwa tanpa Kristus, tidak mungkin kita dapat memahami Kitab Suci secara mendalam. Sebaliknya, tanpa Kita Suci, peristiwa-peristiwa perutusan Yesus dan GerejaNya, tidak dapat dimengerti.
Bapa Suci menekankan hubungan penting antar Kristus dan GerejaNya melalui Kitab Suci. Boleh dikatakan, dalam hubungan Kristus ke Gereja (Dimensi Katabatis), Kristus adalah sumber utama bagi Gereja, untuk memahami Kitab Suci. Sementara dalam hubungan Gereja ke Kristus (Dimensi Anabatis), Gereja membutuhkan Kitab Suci sebagai sumber perbendaharaan iman (Depositom Fidei), yang didalamnya karya perutusan dan kesaksian hidup Kristus di dunia dapat dipahami.
Yang Kedua ; Kekayaan Sabda yang tak pernah Habis Diwartakan
Menurut Bapak Suci, dengan ditetapkannya suatu Hari Minggu Sabda Allah, Gereja (umat Allah) diberi kesempatan untuk memahami Sabda Allah sebagai suatu kekayaan yang tak pernah habis diwartakan, yang muncul langsung dari dialog Allah dengan umatNya melalui Kitab Suci.
Kekayaan Sabda Allah itu ditempat Bapa Suci sebagai suatu kerinduan, yang diungkapkannya dengan melalui pernyataan “kami seperti orang-orang kehausan yang minum dari mata air”. Dengan menekankan aspek kontemplasi terhadap Sabda Allah, Paus Fransiskus mengajak umat Kristiani menempatkan kontemplasi sebagai suatu nilai penting, untuk menemukan beragam keindahan dan kekayaan yang tersembunyi dan terkandung di dalam Sabda Allah.
Yang Ketiga ; Aspek Ekumenis dan Aspek Normatif Sabda Allah dalam Homili
Paus Fransiskus menekankan pentingnya aspek ekumenis dalam Hari Minggu Sabda Allah, dengan mengangkat pentingnya mempererat hubungan umat Yahudi dan berdoa bagi kesatuan umat Kristiani. Nilai ekumenis itu diungkapkan Paus Fransiskus, dengan ajakan menunjukkan jalan yang perlu diikuti demi mencapai kesatuan yang otentik dan kokoh pasca mendengarkan Sabda Allah dalam Kitab Suci. Inilah aspek ekumenis dari Kitab Suci bahwa isinya menawarkan pentingnya nilai kesatuan dengan semua orang.
Sedangkan tentang aspek normatif Sabda Allah, Paus meminta agar dalam Perayaan Ekaristi, Kitab Suci ditakhtakan. Dan dalam homili-homili, lanjut Paus Fransiskus, perlu disusun dengan cara khusus, agar Sabda Allah menjadi tampak dan menjadi inspirasi untuk pelayanan yang tepat sasar dan menjawabi kebutuhan iman umat.
Bapa Paus juga meminta kepada para Pastor agar dalam Hari Minggu Sabda Allah, diupayakan adanya pelantikan lektor (pewarta yang terlatih dan handal), pemberian Kitab Suci kepada umat sebagai sarana nyata, yang dengannya dapat memacu iman umat untuk membaca, mendalami dan berdoa dengan Kitab Suci khususnya melalui praktik Lectio Divina.
Yang Keempat ; Alkitab adalah Kitab Milik Umat Tuhan
Paus Fransiskus menekankan tentang pentingnya aspek kepemilikan terhadap Kitab Suci. Menurut Paus, Kitab Suci bukan milik beberapa orang, dan bukan suatu koleksi Kitab yang dikhususkan bagi orang-orang istimewa. Kitab Suci pertama-tama adalah milik semua umat yang berkumpul untuk mendengarkannya. Menurut Paus ini penting karena seringkali ada kecenderungan untuk memonopoli teks suci dengan membatasinya pada beberapa kalangan atau kelompok terpilih. Hal ini penting untuk merawat kesatuan, pasca mendengarkan Sabda Allah yang memang pada dasarnya berciri persekutuan.
Situasi persatuan itu digambarkan Paus dengan mengangkat pengalaman Bangsa Israel dalam Perjanjian Lama pasca pembuangan di Babel, yang berkumpul kembali seperti “satu manusia” di sekitar Kitab Suci (Nehemia, 8:1), dan dengan penuh perhatian mendengarkan pembacaan dari Kitab Suci (8:3). Persatuan muncul dari inspirasi Kitab Suci bahwa di dalam kata-kata Kitab Suci, mereka menemukan makna peristiwa hidup mereka tentang pentingnya persatuan pasca hidup mereka tercerai-berai.
Yang Kelima ; Homili, Kesempatan untuk Menangkap Keindahan Sabda Allah
Untuk menyatakan keindahan Sabda Allah di tengah umat, Bapa Suci meminta para gembala agar dalam homilinya benar-benar menjelaskan Kitab Suci dan membantu semua yang mendengarkan untuk memahaminya.
Bapa Suci menekankan sifat kuasi sakramental dari homili, yang dengannya, umat diantar secara mendalam untuk memahami isi Kitab Suci dengan bahasa yang sederhana, dan selaras dengan pendengar. Karena menurut Bapa Paus, dalam kesederhanaan dan keselarasan, keindahan Sabda Allah dapat ditampakkan dengan daya dorong untuk melakukan kebaikan. Karena itu, tambah Paus, homili yang diberikan perlu disiapkan dalam waktu yang cukup, tanpa terburu-buru demi menunjukkan hubungannya dengan keseharian hidup para pendengar Sabda Allah. Karena hanya dengan menunjukkan hubungannya secara tepat dengan keseharian hidup mereka, kesaksian hidup mereka dapat pula menunjukkan kenyataan Sabda Allah.
Bapa Paus juga menghimbau agar dalam membawakan homili, hendaknya jangan panjang dan berlebihan apalagi dengan topik yang tidak berkaitan. Sebaliknya Paus menganjurkan agar homili dibicarakan dengan hati demi menyentuh hati para pendengar dalam rangka mengungkapkan hal-hal pokok yang menghasilkan buah yang nyata bagi kehidupan setiap hari. Itu terjadi hanya dalam doa supaya ciri khas homili tampak sebagai Firman Allah dan bukan sebagai perkataan manusia.
Yang Keenam ; Kristus adalah Penafsir Pertama
Paus Fransiskus menyebut Kristus sebagai Penafsir Pertama. Sebutan sebagai Penafsir Pertama bertolak dari pengalaman para murid Yesus yang gagal paham terhadap penderitaan dan kematian Yesus dalam kisah penampakkan diri Yesus kepada dua murid dalam perjalanan dari Yerusalem ke Emaus. Bukti mereka gagal paham ditemukan dalam kenyataan bahwa mereka nampaknya lebih mengharapkan Yesus sebagai Mesias Pembebas. Bahkan Mesias Tersalib dilihat sebagai suatu skandal, yang disebut Paus Fransiskus dengan istilah skandal Mesias Tersalib. Malah mereka kecewa dan sedih. Karena tidak paham akan makna penderitaan dan kematian Yesus, Yesus menyebut mereka bodoh dan lamban.
Berhadapan dengan kenyataan seperti itu, tulis Paus Fransiskus, Kristus menjelaskan kepada mereka apa yang tertulis tentang Dia dalam seluruh Kitab Suci, mulai dari Kitab-Kitab Musa dan segala Kitab Nabi-Nabi. Tindakan penjelasan Yesus terhadap para murid disebut Paus Fransiskus sebagai penjelasan yang dapat memperlihatkan kesatuan sejarah keselamatan mulai dari Perjanjian Lama dan mengalami kepenuhannya dalam diri Kristus.
Yang Ketujuh ; Iman Timbul dari Pendengaran Sabda Kristus dalam Kitab Suci
Alkitab merupakan tulisan suci yang berbicara tentang Kristus. Seluruh Kitab Suci berbicara tentang Dia. Karena itu, tulis Paus Fransiskus, lepas dari Kitab Suci, wafat dan kebangkitanNya tidak bisa dipahami. KaryaNya, kesaksianNya, wafatNya dan kebangkitanNya, tercatat dalam Kitab Suci. Karena itu, menurut Paus Fransiskus, sikap percaya kepada Kristus bukanlah bagian dari mitos tetapi merupakan sejarah dan inti iman. Sebagai inti iman, umat beriman mendapat kekuatan rohani jika mendengarkan dengan penuh perhatian Sabda Kristus dalam Kitab Suci. Inilah yang disebut dengan istilah iman timbul dari pendengaran.
Yang Kedelapan ; Hubungan Kitab Suci dengan Ekaristi
Melalui ungkapan Dia berbicara kepada kita dan memberi kita makan, Paus Fransiskus memperlihatkan hubungan Kitab Suci dengan Ekaristi. Dia berbicara merupakan tindakan pewartaan dengan sumber Kitab Suci. Memberi kita makan merupakan kenyataan dan tindakan, di mana Kristus sendiri adalah Tuan Rumah dan sekaligus Hidangan bagi umat beriman dalam Tubuh dan DarahNya.
Bapa Suci juga menggambarkan hubungan itu dengan menempatkan kenyataan bahwa mata orang-orang itu terbuka mengenal Yesus (dimensi biblis) ketika mereka diberi roti untuk makan pasca Yesus mengucap syukur, memecahkan dan memberikan kepada mereka (dimensi ekaristis).
Menurut Paus Fransiskus, membaca Kitab Suci secara teratur dan merayakan Ekaristi memungkinkan setiap umat Kristiani untuk mengenal diri sebagai bagian satu sama lain. Hal itu dikatakannya karena kehadiran Tuhan dalam Sabda dan Ekaristi bertujuan untuk semua orang.
Terutama dalam Hari Minggu Sabda Allah, Paus meminta umat Kristiani agar menjalin relasi kepercayaan denga Kitab Suci. Jika itu tidak dilakukan, tegas Paus, maka hati akan tetap dingin dan mata tetap tertutup, karena terserang begitu banyak jenis kebutaan.
Yang Kesembilan ; Tujuan Sabda Allah dalam Kitab Suci ialah Demi Keselamatan Umat Manusia
Keselamatan umat manusia ditempatkan dalam Kitab Suci dengan melihat pentingnya peranan Kitab Suci sebagaimana dikatakan Paulus dalam Surat Kedua kepada Timotius. Menurut Paulus, tulisan yang diilhamkan Allah bermanfaat untuk mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan dan mendidik orang dalam kebenaran.
Apa yang dikatakan Paulus, dilihat Paus Fransiskus sebagai sesuatu yang memang dikehendaki oleh Allah demi keselamatan kita. Menurut Paus, karena Kitab Suci mengajar kita dengan tujuan keselamatan oleh iman kepada Kristus, kebenaran-kebenaran di dalamnya berguna bagi keselamatan kita. Dengan mengutip Dei Verbum artikel 12, Paus Fransiskus menegaskan bahwa demi tujuan penyelamatan umat manusia, Kitab Suci oleh karya Roh Kudus, mengubah kata-kata manusia yang ditulis dengan manusiawi menjadi Sabda Allah.
Yang Kesepuluh ; Roh Kudus Turut Berkarya di dalam Mereka yang Mendengarkan Sabda Allah
Roh Kudus tidak hanya berkarya menyangkut pembentukan Kitab Suci. Roh Kudus juga berkarya di dalam mereka yang mendengarkan Sabda Allah.
Menurut Paus Fransiskus, adalah sesuatu yang kurang bila karya Roh Kudus dibatasi hanya pada inspirasi illahi pada Kitab Suci dan berbagai pengarang manusianya. Lebih dari itu, lanjut Paus Fransiskus, karya Roh Kudus terus berlanjut membentuk inspirasi ketika Gereja mengajar Kitab Suci, Magisterium menafsirkan Sabda secara otentik, dan ketika umat beriman menjadikannya norma spiritual. Roh Kudus juga turut berkarya di dalam diri mereka yang mendengarkan Sabda Allah. Karena Roh Kudus berkarya, maka Sabda Allah dapat dicerna dan diterima sebagai semangat yang dapat menggerakkan kehidupan.
Yang Kesebelas ; Hubungan Kitab Suci dan Tradisi
Paus Fransiskus melihat adanya bahaya keseringan di mana orang tergoda untuk memisahkan Kitab Suci dan Tradisi, tanpa memahami bahwa keduanya bersama-sama adalah satu sumber Pewahyuan. Menurut Paus Fransiskus, Kitab Suci sebelum menjadi teks tertulis, ia diteruskan secara lisan dan tetap hidup oleh iman umat yang mengakuinya.
Sifat tertulis Kitab Suci, tidak mengurangi sedikitpun ciri khas sepenuhnya sebagai Sabda yang Hidup. Demikian juga, tradisi Gereja yang hidup, yang meneruskan Sabda yang Hidup tanpa hentinya sepanjang abad dari generasi ke generasi. Akhirnya Paus tiba pada titik simpul bahwa iman biblis yang sesungguhnya ialah berdasar pada Sabda yang Hidup, dan bukan pada sebuah kitab.
Yang Keduabelas ; Unsur Kekinian Sabda Allah dalam Kitab Suci
Sabda Allah dalam Kitab Suci tinggal selalu baru karena sifat Roh Kudus yang selalu membarui. Semuanya selalu baru karena selalu ditransformasi oleh Roh Kudus.
Untuk menjelaskan unsur kekinian, Paus Fransiskus menulis bahwa orang yang setiap hari membekali diri dengan Sabda Allah menjadi seperti Yesus, orang sezaman dengan semua orang uang ia jumpai; ia tidak tergoda jatuh ke dalam nostalgia mandul masa lalu; tidak juga untuk utopia masa depan yang tak pernah akan terwujud.
Selanjutnya Paus Fransiskus menambahkan bahwa Sabda Allah yang manis itu, karena kekiniannya, mendorong kita untuk membagikannya dengan semua orang yang kita jumpai di dalam hidup, untuk mengungkapkan kepastian pengharapan yang ada di dalamnya.
Yang Ketigabelas ; Sabda Allah Mengingatkan Kita akan Cinta Kasih
Paus Fransiskus mengangkat kisah Lazarus yang miskin itu sebagai kesempatan bagi umat Kristiani untuk bermenung tentang pentingnya cinta kasih kepada sesama, yang digerakkan oleh ketekunannya membaca Kita Suci. Menurut Paus Fransiskus, tantangan zaman ini ialah sulitnya mempraktikkan belas kasih pasca mendengarkan Kitab Suci. Walaupun demikian, Bapa Paus meyakinkan kita bahwa kalau kita tekun membaca Kitab Suci, Sabda Allah mampu membuka mat akita sehingga kita bisa keluar dari individualism yang membuat kita picik dan tidak berbuah. Pada saat yang sama, tambah Paus Fransiskus, Sabda itu membuka jalan untuk saling berbadi dan solider.
Yang Keempatbelas ; Kisah Transfigurasi
Menurut Paus Fransiskus, kisah transfigurasi mengingatkan kita akan dua hal. Yang pertama; akan Pesta Pondok Daun, ketika Ezra dan Nehemia membacakan Kitab Suci bagi umat sesudah mereka kembali dari pembuangan. Yang kedua, untuk mengantisipasi kemuliaan Yesus, sebagai persiapan atas skandal kesengsaraan.
Transfigurasi sebagai perubahan menjadi wujud kemuliaan, menurut Paus, juga terjadi pada Kitab Suci. Hal itu tampak dalam kedudukannya sebagai bekal hidup orang-orang beriman. Artinya, Kitab Suci karena iman akan Kristus, dijadikan sebagai bekal kehidupan. Maka dapat juga dikatakan bahwa Kitab Suci bukanlah huruf-huruf mati, melainkan Sabda Allah yang hidup.
Yang Kelimabelas ; Sabda Allah dan Bunda Allah yang Berbahagia
Pada Hari Minggu Sabda Allah, Paus Fransiskus mengajak kita untuk meneladani Bunda Maria, yang berbahagia karena percaya bahwa apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan, terlah terlaksana. Sabda Allah itu datang bagi semua orang. Ciri universal Sabda Allah ini nampak dalam Sabda Bahagia tentang Maria, yang di dalamnya semua golongan disebutkan sebagai yang berbahagia.
Pada akhirnya, Paus Fransiskus menulis ; Hari Minggu Sabda Allah dapat membantu umat Allah tumbuh dalam keakraban yang saleh dan tekun dengan Kitab Suci, sebagaimana diajarkan oleh pengarang suci pada zaman dulu: ”Firman ini sangat dekat padamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu, untuk dilakukan” (Ul. 30:14).
Penulis adalah RD. Yudel Neno (Imam Keuskupan Atambua. Kini bertugas di Paroki Santa Filomena Mena)