Filsuf Jerman; Habermas adalah Sosok yang paling getol berbicara tentang ruang publik. Gagasannya mengenai ruang publik merupakan inti dari pendekatan partisipatif terhadap demokrasi. Ruang publik adalah arena dimana warga berkumpul, bertukar pendapat mengenai urusan publik, berdiskusi, berunding, dan pada akhirnya membentuk opini publik. Pemikirannya tentang ruang publik ini memberikan kontribusi besar bagi politik. Dalam hal ini, politik dipandang sebagai salah satu manifestasi ruang bagi masyarakat untuk berekspresi. Di dalam politik, manusia mengekspresikan segala potensi dan kehendaknya untuk menggapai kebaikan bersama.
Pembicaraan tentang kebaikan bersama, mengakomodir didalamnya peran serta Orang Muda (Katolik), bahwasanya Orang Muda, justru karena status kemudaannya, darinya sangat dituntut peran sertanya.
Perannya dalam bidang politik, sesungguhnya bukan merupakan pilihan melainkan merupakan suatu kewajiban. Orang Muda, karena posisinya merupakan Tulang Punggung Gereja dan Negara, maka partisipasinya dalam berpolitik, merupakan suatu keharusan baginya.
Yang paling penting baginya ialah dalam kondisi semangatnya yang muda dan dalam kenyataannya sebagai yang muda, pergerakannnya harus bersifat inovatif dan altruistik. Jika tidak demikian, dan bukan itu yang dilakukannya, masa depannya terancam bahaya, mengingat, cara berpolitik saat ini lebih cenderung menggunakan senjata balas dendam.
Sensus Fidei : Naluri Iman
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan naluri sebagai dorongan hati atau nafsu yang dibawa sejak lahir; pembawaan alami yang tidak disadari mendorong untuk berbuat sesuatu. Istilah lain bagi naluri ialah insting. Insting adalah pola perilaku dan tanggapan terhadap suatu rangsangan tertentu yang tidak dipelajari tetapi telah ada sejak kelahiran suatu makhluk hidup dan diperoleh secara turun-temurun.
Konsep naluri iman memberi kontribusi bagi Orang Muda bahwa status kemudaannya merupakan ruang bernas bagi Roh Kudus untuk membenamkan dalam nurani, pengetahuan yang intim tentang iman Gereja disertai unsur-unsur praksisnya.
Orang Muda, dengan diberi label Katolik, kehadirannya menegaskan cita rasa iman Kekatolikan (Sensus Fidei – Sensus Chatolicus). Karena posisinya sebagai orang muda, sangat rentan terhadap percepatan isu sosio-politik, maka sangat diperlukan landasan rohani baginya, agar tidak terombang-ambing ketika dilanda badai tantangan.
Rasa keimanan Orang Muda Katolik harus terus dipupuk dari waktu ke waktu. Memudarnya rasa keimanan dalam diri orang muda akan sangat besar dampaknya pada pencarian identitas diri. Di saat pencarian identitas diri tidak dibarengi dengan rasa keimanan, pencarian identitas akan berubah wujud menjadi pencarian prematur. Akibatnya, identitas yang dicari tetapi krisislah yang dituai.
Sensus Fidei Fidelium : Rasa Umat Beriman
Sensus Fidei Fidelium berarti rasa keimanan pada pihak umat beriman. Konsep ini menegaskan bahwa iman selalu mensyaratkan persekutuan. Iman personal dipandang tak dapat berfaedah apabila penegasan terhadap iman berbanding terbalik dengan kondisi dan kenyataan di samping, di mana sesama sementara berbangga atas perilaku amoralnya.
Iman yang mensyaratkan persekutuan ini justru sinkron dengan kondisi Orang Muda Katolik, di mana keberadaanya mensyaratkan pusaran pada berbagai aktivitas. Kenyataan bahwa ia beraktivitas merupakan aktualisasi dirinya…karena itu, partisipasi darinya, bukan saja dipandang sebagai suatu tuntutan sosial melainkan sebagai faktor ad intra dari martabatnya. Dan hal seperti ini hanya dapat terjadi apabila ia membatinkan semangat sinodalitas.
Sensus Fidei Fidelius : Rasa Keimanan pada Pihak Seorang Anggota Umat Beriman
Konsep Fidei Fidelius menunjuk pada pribadi atau persona sebagai orang yang beriman entah secara fides qua (substansi iman) maupun secara fides quae (caranya beriman). Bahwasannya, pada iman setiap orang, terkandung keselamatan universal yang sama. Domain kualitas keimanan pada level ini terletak pada hubungan intim personal dirinya dengan Allah. Secara liturgis dipahami sebagai dimensi anabatis, dimana, dalam kesendiriannya sebagai yang muda, keterbukaannya untuk diilhami oleh Roh Kudus merupakan kebutuhannya.
Orang Muda Katolik tidak boleh terlalu mengagungkan kebersamaan semu yang hanya menghasilkan hura-hura semata. Memang aspek entertainment dalam pusaran misi orang muda perlu mendapatkan tempatnya, tetapi tidak boleh ditempatkan sebagai yang utama sampai ia lupa bahwa diirinya adalah orang muda yang beriman dan bertaqwa kepada Allah.
Sensus Chatolicus : Rasa Kekatolikan dalam Umat Katolik
Sifat Kekatolikan dari Gereja memberi kontribusi bagi Orang Muda Katolik, sambil meletakkan landasan imperatif bahwa keterbukaan untuk didatangi oleh semua pihak dan kerendahan hatinya untuk menerima semua pihak merupakan wujud dialog yang paling khas bagi orang muda.
Dalam semangat kekatolikan, orang muda harus tahu bahwa relasi dialogalnya dengan siapapun merupakan kebutuhan baginya untuk mengekspansi status kemudaannya. Sebaliknya, dalam pilihannya mengekspansi status kemudaannya, ia harus selektif dan kritis untuk memurnikan benalu sosial, yang jika tidak diantisipasi akan membahayakan statusnya dan relasinya.
Fakta bahwa Orang Muda, yang Katolik, seluruhnya mencirikan Gereja Universal. Iman kekatolikan orang muda Indonesia, sama substansinya dengan iman orang muda yang ada di dunia-dunia yang lain. Bertolak dari kenyataan teologis seperti ini, itulah sebabnya Gereja memandang perlu dan harus diprogramkannya WYD, AYD, IYD dan seterusnya…..agar dengannya orang muda mengekspresikan imannya dalam pertemuan yang setara pada setiap tempat yang berbeda.
Ortodoksi : Keyakinan terhadap Ajaran yang Benar
Ortodoksi berkaitan dengan ajaran. Ortodoksi dalam konteks teologi, merujuk pada ajaran kebenaran dalam hal ini; ajaran tentang iman dan moral.
Di tengah berbagai ajaran melalui ilmu, entah daring maupun luring, orang muda tidak boleh terlena dengan percepatan informasi sambil mengabaikan kelambanan meneliti demi mendapatkan informasi yang valid dan terpercaya.
Demi kuantitas aksesnya, akal budi dapat menuntun dirinya untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya tetapi aspek penting baginya ialah segala informasi yang didapatkan, sangat perlu dikaji berdasarkan mata pisau kebenaran yang ia dapatkan dari kualitas kesadaran iman dan moral akan percepatan informasi. Karena kesadaran iman, titik letaknya pada Ajaran Sabda Allah, maka ia harus memastikan bahwa di samping tangan kirinya menggenggam handphone untuk kemudahan akses informasi, ia harus dengan tahu dan mau menempatkan Alkitab di tangan kanannya dengan mata pisau kritis terhadap informasi yang diperolehnya.
Ortopraksi : Soal Tindakan atau Praktik yang Benar
Ortopraksi berkaitan dengan tindakan. Ortopraksi dalam konteks teologi, mengingatkan kita pada pernyataan Rasul Yakobus bahwa iman tanpa perbuatan adalah mati. Dari kenyataan beriman, muncul tuntutan aktualitas tindakan.
Orang muda yang beriman, karena kepatuhannya pada Sumber Yang Baik, ia pun menghasilkan perbuatan-perbuatan baik dari perbendaharaan imannya.
Terdapat begitu banyak sumber dan kenyataan praksis, yang dapat dijadikannya sebagai pedoman untuk bertindak. Pada setiap ilmu, selalu terkandung unsur praksisnya. Itulah sebabnya, orang muda tidak boleh memarkirkan kualitas akalnya pada hafalan intelektual semata. Ia harus berani mengambil langkah dengan gerakan plus ; bertolak dari in potentia menuju in actu. Pilihan untuk menjadikan in potentia mentok pada titik keinginan akan sangat berdampak pada minimnya keterampilan sebagai orang muda. Pengetahuannya akan meledak ibarat bom apabila tidak diperhatikan dan diperhitungkan aspek relevansinya.
Dari Ecclesia Docens (Gereja yang Mengajar) menuju Ecclesia Discens (Gereja yang Belajar)
Dari Gereja yang mengajar menuju pada Gereja yang belajar. Konsep ini memberi kontribusi bagi orang muda, bahwa kehadiran dan aksesnya, karena iman dan pengetahuan yang intim tentang Sabda Allah, yang diperolehnya melalui Sakramen Pembaptisan, ia harus tahu bahwa ia menyandang status imamat umum sebagai kaum terbaptis dengan tugasnya sebagai Imam untuk menguduskan, Nabi untuk mewartakan dan Raja untuk menggembalakan. Tetapi, apabila ia secara personal dipandang sebagai kemudaan yang rawan dan rentan, maka tugasnya mengajar sekaligus merupakan peringatan baginya bahwa ia harus belajar untuk mendapatkan energi dan asupan Sabda Allah.
Tugasnya sebagai orang muda yang belajar dan harus belajar, merupakan tuntutan baginya, mengingat, fakta kebesaran informasi digital saat ini seringkali suka menggemukkan kualitas intelektual dengan kandungan angin tanpa ibarat hasil tiupan balon.
Sambil saling memanggil untuk bersatu mengumandangkan ajaran iman dan moral, dari kenyataan seperti itu orang muda pun belajar dari sesamanya dan sama-sama saling belajar. Karena itu, kerendahan hati baginya, harus segera dipandang sebagai hal substansial yang semakin mendekatkan dirinya pada tatapan Allah.
Penulis : RD. Yudel Neno (Sekretaris Komisi Kepemudaan Keuskupan Atambua)
Sumber Inspirasi :
Dokumen Sensus Fidei (Naluri Iman), Seri Dokumen Gerejawi, Komisi Teologi Internasional, Roma, Juni 2014, Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia, 2022.