
OPINI – KeuskupanAtambua.org – Pentingnya Pendidikan Karakter pada Era Milenial – oleh Rm. Joni Lae, Pr
Pendahuluan
Pendidikan karakter menjadi salah satu isu yang sangat penting dan strategis dalam dunia pendidikan di Indonesia. Sistem pendidikan yang efektif tidak hanya berfokus pada prestasi akademik, tetapi juga harus memperhatikan pembentukan karakter peserta didik agar memiliki moral, kepribadian, dan sikap yang baik. Dalam konteks ini, pendidikan formal, nonformal, dan informal memiliki peran besar dalam mendukung tercapainya tujuan tersebut.
Pelaksanaan pendidikan karakter mengharuskan partisipasi dan kerja sama dalam berbagai tingkatan. Filsuf Pendidikan ; Paulo Freire memberi kontribusi pada sistem ini dengan mengemukakan pemikirannya tentang pendidikan berkarakter dialogis, yang mengutamakan kesadaran kritis setiap pelaku pendidikan.
Pada berbagai tingkatan, perlu ditanamkan prinsip bahwa keberlangsungannya tidak dapat disebut berdaya guna apabila hanya sekedar mencari prestasi tetapi karakter diabaikan. Pendidikan tanpa karakter akan sama halnya dengan peribahasa ; tong kosong, nyaring bunyinya. Prinsip pendidikan karakter disadari dan kesadaran itu nampak melalui konsentrasi sistem pendidikan nasional Indonesia yang memberi porsi besar kepada akses pendidikan karakter.
Konsep Pendidikan dalam Sistem Pendidikan Nasional
Dalam kaitannya dengan pendidikan karakter, sistem pendidikan nasional Indonesia menetapkan tiga jalur utama pendidikan yakni pendidikan formal, pendidikan nonformal dan pendidikan informal.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), menguraikan dengan sangat jelas tentang pendidikan formal, nonformal dan informal.
Pendidikan Formal
Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang meliputi pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Contohnya adalah SD, SMP, dan SMA. Pendidikan formal memiliki kurikulum resmi yang dirancang untuk mempersiapkan peserta didik dalam dunia akademik dan kehidupan bermasyarakat.
Pasal 1 Ayat (11) UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003, menyebutkan bahwa Pendidikan Formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Sebutan formal menunjuk pada operasionalnya yang terstruktur, berjenjang dan berlangsung dalam waktu yang pasti. Misalnya SD, SMP dan SMA.
Pendidikan Nonformal
Pendidikan nonformal diselenggarakan di luar pendidikan formal dan dapat terstruktur maupun berjenjang. Contohnya adalah kursus, pelatihan kerja, dan bimbingan belajar. Pasal 26 Ayat (1) menyebutkan bahwa pendidikan nonformal bersifat pelengkap dan pengganti pendidikan formal apabila dibutuhkan.
Pendidikan Nonformal diselenggarakan di luar jalur pendidikan formal dan dapat terstruktur serta berlangsung secara berjenjang. Biasanya digunakan untuk pengembangan keterampilan dan keahlian tertentu. Misalnya kursus, pelatihan kerja, bimbingan belajar, dan pusat pelatihan keterampilan.
Pasal yang berbicara tentang ini adalah
Pasal 1 Ayat (12). Rumusan yang terdapat dalam pasal ini, menyebutkan Pendidikan Nonformal sebagai jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Sementara tentang hubungan dengan pendidikan formal, pasal 26 Ayat (1) menyebutkan sifat pendidikan nonformal sebagai pelengkap dan pengganti pendidikan formal.
Pendidikan Informal
Pendidikan informal terjadi secara alami dalam keluarga dan lingkungan sekitar. Proses ini berlangsung sepanjang hayat melalui pembiasaan nilai-nilai budaya, agama, dan moral dalam kehidupan sehari-hari. Pasal 27 Ayat (1) menyatakan bahwa hasil pendidikan informal dapat diakui setelah lulus uji sesuai standar pendidikan nasional.
Pendidikan informal menegaskan tentang pentingnya peranan keluarga dan lingkungan hidup. Pendidikan informal merupakan proses pendidikan yang diperoleh secara mandiri melalui lingkungan keluarga dan masyarakat yang berlangsung sepanjang hayat. Misalnya pendidikan keluarga, pembiasaan nilai-nilai budaya, agama, dan moral dalam kehidupan sehari-hari.
Pasal yang berbicara tentang pendidikan informal ialah pasal 1 Ayat (13). Pasal ini menyebutkan sekaligus menetapkan tentang jalur pendidikan…..dan jalur yang dimaksud ialah keluarga dan lingkungan. Pengakuan terhadap hasil pendidikan informal, dibuktikan pasca lulus uji sesuai standar pendidikan nasional, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 27 Ayat (1) bahwasannya; hasil pendidikan informal diakui setelah peserta didik lulus uji sesuai standar nasional pendidikan.
Intinya ialah Pendidikan Formal berlangsung terstruktur dan berjenjang dengan kurikulum resmi. Pendidikan Nonformal berlangsung fleksibel; mengembangkan keterampilan tertentu, dan bisa diakui setara dengan pendidikan formal.
Pendidikan Informal berlangsung sepanjang hayat, walaupun tidak terstruktur, tetapi tetap berlangsung dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan sebagai Pilar Kehidupan
Pendidikan adalah proses penting dalam kehidupan manusia karena melalui pendidikan, seseorang dapat memahami dan menyadari eksistensinya, hidup secara bermartabat, dan menempatkan diri dengan baik di tengah masyarakat. Pendidikan berfungsi untuk mengembangkan segala potensi yang dimiliki seseorang, baik secara intelektual (IQ-Cipta-Akal), emosional (EQ-Rasa), maupun spiritual (SQ-Karsa-Voluntas), guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan dalam hidup. Tentang kebahagiaan ini, Aristoteles memberi kontribusi kepada kita tentang kebajikan intelektual dan jiwa sebagai jalan untuk mencapai kebaikan tertinggi yakni kebahagiaan, yang disebutnya dengan istilah Eudaimonia.
Pendidikan formal dilaksanakan di sekolah dengan tujuan mengajarkan teori dan keterampilan yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Sementara itu, pendidikan nonformal dan informal berlangsung di lingkungan masyarakat dan keluarga melalui interaksi sosial yang terus-menerus. Ketiga jalur ini harus berjalan sinergis agar menciptakan individu yang berkualitas dan bermoral.
Pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan, tetapi juga proses pembentukan karakter yang mengarahkan peserta didik menuju perkembangan optimal. Oleh karena itu, pendidikan harus menciptakan lingkungan yang mendukung pembelajaran, baik di rumah, sekolah, maupun masyarakat. Jika salah satu komponen ini tidak berfungsi, maka kualitas pendidikan akan terganggu dan berdampak pada rendahnya hasil belajar peserta didik.
Dengan pendidikan yang bermutu dan holistik, lahirlah generasi yang cerdas, beriman, dan berakhlak mulia yang mampu membangun peradaban yang bermartabat.
Pendidikan Berbasis Boarding School
Salah satu model pendidikan yang mendukung pembentukan karakter adalah sistem boarding school (sekolah berasrama). Sistem ini menciptakan lingkungan yang lebih terkontrol dan mendukung pengembangan moral, spiritual, dan sosial peserta didik.
Boarding School merupakan suatu sistem pendidikan yang memiliki fokus utama dalam pembentukan karakter. Pola pendidikan boarding school bersifat lebih menyeluruh dan lebih memungkinkan terciptanya lingkungan pendidikan yang ideal dan melahirkan orang-orang yang dapat membawa gerbong dan motor pergerakan kehidupan sosial, politik, ekonomi dan agama. Dengan adanya boarding school penanaman karakter pada peserta didik memberi ruang untuk membentuk karakter pesert didik menjadi lebih baik. Siswa yang belajar dengan basis boarding school akan terkontrol aktivitasnya dan terlatih jiwa kebersamaan, sosial dan karakternya, karena didampingi oleh seorang pembina asrama.
Sekolah berbasis asrama (boarding school) tidak hanya menjadi tempat berlangsungnya proses pendidikan itu sendiri. Akan tetapi juga sebagai tempat pembinaan akhlak dan wadah membentuk pribadi yang luhur. Pada kenyataannya terdapat banyak peserta didik yang pada awalnya tidak mandiri, apa-apa harus diurus dan bergantung pada orang lain, tetapi setelah masuk dalam sistem sekolah berasrama, akhirnya perlahan-lahan karaker dan sikapnya mengalami perubahan. Perubahan seperti inilah yang menjadi harapan dari setiap orang.
Pendidikan berpola asrama ini sesungguhnya merupakan perpaduan antara sistem pendidikan sekolah umum dengan sistem pendidikan berasrama dimana siswa mendapatkan pendidikan selama 24 jam. Model pendidikan ini menawarkan keunggulan yang diukur dari sisi kesiapan siswanya menjadi insan yang beriman dan bertakwa, serta mampu hidup mandiri dalam masyarakat. Maka itu, hemat saya adalah satu terobosan yang baik apabila di Indonesia teristimewa di NTT; Pemerintah dalam ini sebagai pengambil kebijakan, dapat membuka sekolah-skolah berasrama dan masyarakat untuk menyekolahkan anak-anaknya pada sekolah tersebut. Kalau terjadi seperti itu maka karakter anak-anak penerus bangsa bisa dibentuk menjadi lebih baik dan dengan demikian masa depan mereka cerah.
Manfaat utama boarding school meliputi berlangsungnya pendidikan selama 24 jam yang mengintegrasikan nilai akademik dan moral; Penanaman karakter melalui pembinaan yang intensif; pembentukan sikap mandiri dan disiplin. Dengan sistem ini, peserta didik tidak hanya memperoleh pendidikan formal, tetapi juga pembinaan akhlak yang terus-menerus. Pemerintah perlu mendorong pembukaan lebih banyak sekolah berbasis asrama, khususnya di daerah seperti NTT, agar anak-anak memiliki masa depan yang lebih baik.
Urgensi Pendidikan Karakter
Hari ini pendidikan karakter menjadi satu wacana yang masih dan akan terus hangat untuk dibicarakan, sebab seperti yang diketahui bahwa hari ini anak-anak kita yang kita sebut sebagai generasi penerus bangsa mengalami satu situasi hidup yang sangat memprihatinkan dimana para penerus bangsa kita mengalami apa yang dinamakan degradasi moral. Tentu realitas ini menjadi realitas yang memprihatinkan serentak menjadi satu pekerjaan rumah yang pelik dan rumit bagi kita semua teristimewa bagi sistem pendidikan kita di Indonesia.
Pendidikan karakter (character education) sangat erat hubungannya dengan pendidikan formal dimana tujuannya adalah untuk membentuk dan melatih kemampuan individu secara terus-menerus guna penyempurnaan diri kearah hidup yang lebih baik. Pendidikan karakter menjadi hal yang penting dalam dunia pendidikan akhir-akhir ini, hal ini berkaitan dengan fenomena degradasi moral atau krisisnya moral. Kemerosotan moral inilah yang terlihat nyata ditengah-tengah masyarakat maupun di lingkungan pemerintah yang semakin meningkat dan beragam.
Ada beberapa sampel kasus yang dapat kita dijumpai di sekolah berkaitan dengan degradasi moral; diantaranya: siswa yang hadir terlambat saat datang ke sekolah maupun masuk kelas atau pada saat jam pelajaran; siswa tidak mengenakan seragam sekolah dengan rapi; siswa mencotek ketika ada tugas dan ketika sedang ujian; terdapat siswa yang makan sambil berdiri atau berjalan; terdapat siswa yang tidak mengerjakan tugas yang diberikan guru; terdapat siswa yang membolos sekolah; terdapat siswa yang berani melawan kepada gurunya dan masih banyak lagi perilaku-perilaku kecil yang dapat merusak karakter peserta didik yang seharusnya tidak dibiarkan terjadi di sekolah.
Beberapa sampel kasus di atas menjadi pukulan telak bagi sistem pendidikan itu sendiri, dan hemat saya pendidikan karakter merupakan satu upaya antisipastif yang urgen untuk dilakukan saat ini. Di samping itu, lembaga pendidikan formal khususnya sekolah menjadi fondasi yang darinya anak-anak ditempa dan dibentuk karakternya supaya karakter peserta didik bisa sesuai dengan harapan bangsa atau harapan kita.
Sekolah yang pada hakikatnya dihadirkan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki setiap anak, mengawasi perkembangan serta perilaku anak, pembentukan watak dan karakter anak, harus benar-benar menjalani fungsinya secara baik sebab potensi-potensi yang dimiliki oleh peserta didik dapat berkembang dengan baik dalam lingkungan sekolah. Sekolah juga harus bisa mendukung dan memfasilitasi segala aktivitas peserta didik dalam rangka meningkatkan segala potensi yang dimiliki oleh peserta didik sehingga dapat meningkatkan prestasi para peserta didik. Apalagi pada era milenial ini, sekolah dituntut untuk mengarahkan peserta didik untuk menghindari segala bentuk patologi sosial yang terdapat dikalangan masyarakat saat ini, seperti meluasnya peredaran obat terlarang, narkotika, pergaulan bebas, tawuran remaja dan lain-lain.
Penutup
Pendidikan karakter tidak hanya menjadi tanggung jawab sekolah, tetapi juga keluarga dan masyarakat. Dengan sinergi yang kuat antara pendidikan formal, nonformal, dan informal, karakter generasi penerus bangsa dapat dibentuk dengan baik. Pendidikan yang bermutu harus mencakup pengajaran nilai-nilai moral, agama, budaya, dan sosial untuk menciptakan manusia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.
Melalui pendidikan karakter yang terintegrasi, masa depan bangsa Indonesia dapat dibangun dengan pondasi yang kuat, mencetak generasi yang unggul, bermartabat, dan siap menghadapi tantangan global di era milenial.
Penulis : Rm. Yohanes Taeki Lae, Pr (saat ini bertugas di Paroki Tukuneno – Keuskupan Atambua)
Editor : Yudel Neno, Pr