KeuskupanAtambua.org – OPINI oleh Rm. Yudel Neno, Pr – — Katekis dan katekista memainkan peran penting dalam menyebarkan nilai-nilai kebenaran di sekolah, di mana mereka bertindak sebagai pembawa pesan nilai-nilai Kristiani kepada para siswa. Menurut Santo Agustinus dalam bukunya De Catechizandis Rudibus (Pengajaran Dasar Bagi Pemula), peran seorang pengajar agama adalah untuk menuntun seseorang menuju kebenaran ilahi. Hal ini selaras dengan konsep pendidikan Kristiani yang bertujuan untuk membentuk pribadi yang memahami kebenaran dan berlandaskan iman. Katekis dan katekista tidak hanya menyampaikan pengetahuan agama, tetapi juga menginspirasi dan membentuk moralitas yang sejalan dengan nilai-nilai Kristiani. Oleh karena itu, penting bagi mereka untuk memiliki pemahaman mendalam tentang iman yang mereka ajarkan agar mampu memberikan panduan yang autentik dan relevan bagi para siswa.
Dalam pandangan Filsuf dan sekaligus Teolog Thomas Aquinas, kebenaran adalah sesuatu yang memerlukan penjelasan yang logis dan terukur untuk dipahami secara mendalam. Dalam Summa Theologica, Aquinas menyebutkan bahwa akal budi manusia diciptakan untuk mencari kebenaran, dan pendidikan adalah jalan untuk mencapai pemahaman ini. Di sinilah peran katekis menjadi sangat penting, karena mereka tidak hanya mengajar secara kognitif, tetapi juga membantu siswa menemukan makna dan relevansi kebenaran dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi Aquinas, katekis perlu mendorong siswa untuk berfikir kritis agar dapat memahami kebenaran iman dengan lebih mendalam. Oleh karena itu, peranan katekis bukan hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai pemandu spiritual dan intelektual.
Tugas seorang katekis dalam menyampaikan kebenaran di sekolah juga mengacu pada pandangan teolog kontemporer seperti Karl Rahner. Dalam pandangannya, Rahner berpendapat bahwa pewartaan kebenaran harus bersifat transformatif, membantu individu untuk menemukan Tuhan dalam pengalaman hidupnya.
Pewartaan yang dilakukan katekis seharusnya tidak hanya bersifat informatif, tetapi juga mendorong siswa untuk mengalami iman secara pribadi. Katekis diharapkan untuk menjadi fasilitator yang membuka ruang bagi pengalaman spiritual siswa, bukan sekadar menyampaikan dogma-dogma agama. Dengan demikian, pewartaan yang dilakukan di sekolah menjadi lebih bermakna dan relevan bagi kehidupan spiritual siswa.
Namun, tantangan yang dihadapi katekis dan katekista saat ini semakin besar dengan hadirnya era digital. Di tengah akses informasi yang begitu mudah, siswa dapat dengan cepat menemukan berbagai pandangan yang berbeda, termasuk yang bertentangan dengan ajaran iman. Situasi ini menuntut katekis untuk memiliki pengetahuan digital agar mampu mendampingi siswa dalam memilah informasi yang benar.
Teknologi digital juga menimbulkan tantangan etika dalam pemanfaatannya di kelas, di mana katekis perlu menjaga keseimbangan antara penggunaan teknologi dengan pengajaran yang berbasis dialog langsung. Hal ini membuat peran katekis menjadi semakin kompleks karena mereka harus menghadapi tantangan kontekstual yang tidak ada sebelumnya.
Di sisi lain, teknologi digital juga dapat menjadi peluang bagi katekis dalam pewartaan. Misalnya, melalui platform digital, katekis dapat memperkaya materi pelajaran dengan video, gambar, atau aplikasi interaktif yang dapat membantu pemahaman siswa. Teknologi ini dapat menjadi alat yang memperkuat pewartaan jika digunakan secara bijaksana. Katekis bisa memanfaatkan media sosial untuk menciptakan komunitas yang mendukung siswa dalam perjalanan iman mereka. Namun, penting bagi katekis untuk tetap kritis terhadap cara penggunaan teknologi ini agar tidak mengganggu kedalaman pembelajaran dan hubungan personal dalam proses pengajaran.
Dalam filsafat pendidikan, peran seorang guru bukan hanya untuk mentransfer ilmu, tetapi juga untuk menginspirasi siswa untuk mencari kebenaran. Paulo Freire dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed menekankan pentingnya hubungan dialogis antara pengajar dan siswa. Konsep ini relevan dengan peran katekis, yang harus mampu membuka ruang dialog agar siswa dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang iman mereka. Dialog ini bukan hanya bertujuan untuk memberikan jawaban, tetapi juga untuk membantu siswa membangun pemahaman mereka sendiri tentang kebenaran. Oleh karena itu, peran dialog menjadi komponen penting dalam pewartaan di sekolah.
Katekis juga harus memiliki kepekaan budaya dalam menjalankan tugasnya di sekolah. Menurut Teolog Jürgen Moltmann, setiap pewartaan harus memperhatikan konteks budaya di mana pesan itu disampaikan. Dalam dunia yang semakin global dan multikultural, siswa di sekolah berasal dari latar belakang yang beragam. Kepekaan ini penting agar pewartaan tidak hanya berbicara kepada siswa dalam ruang agama yang eksklusif, tetapi juga mampu berkomunikasi dengan siswa dari berbagai perspektif. Dengan demikian, pewartaan kebenaran di sekolah menjadi lebih inklusif dan relevan bagi semua siswa.
Selain itu, katekis harus menghindari dogmatisme yang berlebihan dalam penyampaian ajaran agama. Teolog Hans Küng menekankan pentingnya dialog interreligius dalam membangun pemahaman bersama tentang kebenaran. Katekis yang terlalu dogmatis dapat menyebabkan siswa merasa teralienasi dari ajaran yang disampaikan, terutama jika mereka memiliki pertanyaan atau keraguan. Sebaliknya, pendekatan yang dialogis dapat membuka ruang bagi siswa untuk memahami bahwa iman dapat tumbuh melalui proses refleksi dan pencarian yang mendalam. Hal ini juga akan memperkaya pengalaman spiritual siswa dalam konteks pendidikan formal.
Di era modern ini, katekis juga menghadapi tantangan dari pemikiran relativisme, yang menilai bahwa semua kebenaran bersifat relatif. Menurut Joseph Ratzinger (Paus Benediktus XVI), kebenaran iman harus diperjuangkan dan dipertahankan di tengah relativisme yang melanda masyarakat. Dalam situasi ini, katekis harus mampu menunjukkan bahwa ajaran agama memiliki landasan yang kuat dan rasional. Mereka perlu menjelaskan bahwa kebenaran Kristiani bukanlah sekadar opini, tetapi adalah prinsip hidup yang memiliki makna mendalam. Dengan demikian, pewartaan katekis tidak hanya menjadi pengajaran, tetapi juga pembentukan karakter yang kokoh dalam menghadapi berbagai ideologi.
Dalam menghadapi generasi digital, penting bagi katekis untuk memahami dunia siswa dan bahasa yang mereka gunakan. Pendekatan yang kontekstual akan lebih mudah diterima oleh siswa, karena mereka merasa bahwa katekis memahami pengalaman mereka. Katekis harus berusaha mendekatkan kebenaran iman dengan kehidupan siswa sehari-hari. Misalnya, dengan mengaitkan konsep-konsep iman dengan situasi konkret yang dihadapi siswa. Hal ini tidak hanya membuat pewartaan lebih relevan, tetapi juga membantu siswa merasa bahwa iman memiliki dampak langsung pada kehidupan mereka.
Lebih jauh lagi, katekis perlu memiliki keterbukaan terhadap metode pembelajaran yang inovatif dalam pewartaan kebenaran. Katekis harus memahami bahwa generasi digital cenderung lebih visual dan interaktif dalam menyerap informasi. Dalam hal ini, pendekatan yang interaktif dapat menarik minat siswa untuk lebih mendalami iman mereka. Metode seperti diskusi kelompok, role-playing, atau proyek pelayanan sosial bisa digunakan untuk melibatkan siswa secara langsung. Hal ini memungkinkan siswa untuk memahami ajaran agama dengan cara yang lebih kontekstual dan aplikatif.
Tantangan lain yang dihadapi oleh katekis adalah kurangnya waktu yang memadai dalam kurikulum sekolah untuk mengajarkan pendidikan agama secara mendalam. Kurikulum yang padat sering kali membuat pelajaran agama terkesan menjadi pelengkap, bukan sebagai bagian yang integral dari pendidikan. Untuk menghadapi hal ini, katekis perlu menggunakan waktu yang terbatas dengan efisien dan menyampaikan materi dengan cara yang inspiratif. Di samping itu, penting bagi katekis untuk bekerjasama dengan pihak sekolah agar pendidikan agama mendapat perhatian yang memadai. Dengan cara ini, pendidikan agama dapat diintegrasikan sebagai bagian dari pembentukan karakter siswa secara keseluruhan.
Dalam menjalankan tugasnya, katekis juga membutuhkan dukungan spiritual dan intelektual yang berkelanjutan. Menurut Santo Ignatius Loyola, pendidikan spiritual seorang pengajar harus menjadi prioritas agar dapat menjalankan peran mereka dengan integritas. Katekis harus terus memperkaya pemahaman iman mereka melalui pembelajaran dan refleksi pribadi. Hal ini penting agar mereka tetap bersemangat dan mampu menghadapi tantangan yang dihadapi dalam proses pewartaan. Dukungan dari komunitas iman atau institusi gereja juga akan memperkuat semangat dan integritas mereka sebagai pembawa pesan kebenaran.
Secara keseluruhan, peranan katekis dan katekista dalam karya pewartaan kebenaran di sekolah sangat penting dan memiliki tantangan yang kompleks di era digital ini. Mereka dituntut untuk memahami iman secara mendalam, memiliki keterampilan teknologi, serta kemampuan untuk berkomunikasi secara dialogis. Katekis juga harus mampu membedakan informasi yang benar di tengah banyaknya arus informasi. Dengan bekal ini, katekis akan mampu menjawab tantangan pewartaan dan memberikan nilai kebenaran yang bermakna bagi para siswa. Peranan mereka menjadi krusial dalam membentuk generasi yang berlandaskan pada kebenaran iman yang kokoh dan relevan dalam kehidupan modern.
Ditulis dan disadur oleh Rm. Yudel Neno, Pr