KeuskupanAtambua.org – OPINI – Rabu Abu: Tanda Pertobatan, Bukan Halusinasi Pujian – oleh Rm. Luis Diaz, Pr – Moderator OMK Paroki Baptista Besikama
Halusinasi pujian adalah istilah yang bisa merujuk pada kondisi di mana seseorang terbuai oleh pujian atau pengakuan dari orang lain hingga kehilangan kesadaran akan realitas sebenarnya. Dalam konteks religius dan spiritual, halusinasi pujian bisa diartikan sebagai sikap di mana seseorang melakukan perbuatan baik, berdoa, berpuasa, atau beramal bukan karena ketulusan hati, tetapi demi mendapatkan pengakuan, sanjungan, atau pujian dari orang lain.
Yesus dalam Matius 6:1-6,16-18 memperingatkan tentang bahaya ini, yaitu ketika tindakan rohani dilakukan demi citra diri, bukan sebagai bentuk hubungan yang murni dengan Tuhan. Orang yang terjebak dalam halusinasi pujian bisa merasa dirinya lebih saleh atau lebih baik dibandingkan orang lain hanya karena mendapat pengakuan dari lingkungan sekitar, padahal motivasi spiritualnya tidak benar-benar berasal dari hati yang tulus.
Maka, Rabu Abu mengajak kita untuk bertobat dengan sikap rendah hati, menyadari kefanaan diri, dan berusaha semakin dekat dengan Tuhan, bukan sekadar menjalankan ritual demi penghormatan atau pujian dari orang lain.
Hari Rabu Abu menandai awal Masa Prapaskah, sebuah waktu yang diisi dengan pertobatan, refleksi diri, dan pengendalian diri. Dalam Injil Matius 6:1-6,16-18, Yesus Kristus, Sang Guru Ilahi, menegaskan bahwa tindakan rohani—puasa, doa, dan amal—harus dilakukan dengan hati yang tulus, bukan untuk mencari pengakuan atau pujian dari orang lain.
Yesus memperingatkan kita agar tidak terjebak dalam sikap munafik yang menjalankan praktik keagamaan hanya demi dilihat dan dihormati orang lain. Amal, doa, dan puasa bukanlah sarana pencitraan diri, melainkan wujud ketulusan hati dalam relasi kita dengan Tuhan. Motivasi utama kita haruslah kasih kepada Tuhan dan kesadaran akan kebutuhan kita akan pertobatan, bukan sekadar pengakuan sosial atau penghormatan dari sesama.
Tanda abu yang diterima di dahi pada Hari Rabu Abu mengingatkan kita bahwa kita adalah debu dan akan kembali menjadi debu. Ini bukan sekadar ritual atau tradisi, tetapi simbol nyata dari kerendahan hati dan kesediaan untuk bertobat. Abu bukanlah mahkota kehormatan, melainkan tanda kesadaran akan kefanaan manusia dan kebutuhan akan rahmat Tuhan yang membangkitkan kita dari dosa menuju kehidupan baru.
Yesus mengajarkan bahwa puasa sejati bukan hanya menahan diri dari makanan, tetapi juga menahan diri dari segala sesuatu yang menghalangi kita untuk semakin dekat dengan Tuhan. Puasa yang benar bukanlah tentang menampilkan penderitaan secara berlebihan, tetapi tentang transformasi batin yang membawa kita pada pertobatan sejati. Demikian pula, doa dan amal harus dilakukan dalam kesunyian hati yang dipenuhi kasih, bukan sebagai pertunjukan religius yang mengundang sanjungan.
Masa Prapaskah adalah kesempatan untuk memperbarui hidup kita. Ini adalah waktu untuk lebih banyak berdoa, lebih banyak memberi, dan lebih banyak mengasihi tanpa pamrih. Dengan demikian, kita tidak hanya menjalankan kewajiban agama, tetapi benar-benar membuka hati untuk kasih dan rahmat Tuhan.
Semoga melalui pertobatan yang tulus, kita semakin dekat dengan Tuhan dan pada akhirnya mengalami kebangkitan bersama-Nya dalam kehidupan yang kekal. Amin.
Penulis: Rm. Luiz Diaz, Pr
Editor: Rm. Yudel Neno, Pr