
Hari ini, Gereja Katolik merayakan Hari Minggu Panggilan Sedunia. Pada tempat pertama; kita tentu mesti tahu lebih dahulu bahwa kita semua adalah orang-orang terpanggil. Ketika kita menerima Sakramen Pembaptisan, saat itu, kepada kita, diterimakan Rahmat Imamat Umum, dengan mengemban Tri Tugas Kristus, yakni menjadi Imam, Nabi dan Raja. Imam untuk menguduskan, Nabi untuk mewartakan dan Raja untuk menggembalakan.
Bacaan hari ini (Yohanes 10:11-18), berbicara tentang Gembala yang Baik merujuk pada Yesus sendiri dengan pesan biblis-pastoral; bagaimana seharusnya seorang gembala bertindak dengan mempedomani hidup dan ajaran Yesus dengan mengutamakan prinsip solidaritas.
Ada beberapa subtema yang dapat kita renungkan bersama, dan barangkali bisa menjadi informasi sekaligus inspirasi bagi penghayatan panggilan hidup.
Yang pertama : Gembala yang baik adalah Dia yang Bertanggung Jawab
Dikatakan dalam Injil Yohanes seperti kutipan teks ini ; Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya (Yoh. 10:11). Jelas bahwa dari ayat ini, kata kunci ialah tentang pengorbanan. Pada ayat berikutnya, dikatakan ; sedangkan…….. yang bukan gembala, dan yang bukan pemilik domba-domba….. , ketika melihat serigala datang, meninggalkan domba-domba itu lalu lari, sehingga serigala itu menerkam dan mencerai-beraikan domba-domba itu (Yoh. 10:12). Dilanjutkan lagi kritik pastoralnya; Ia lari karena……. tidak memperhatikan domba-domba itu (Yoh.10:13). Dua ayat berikut ini, jelas menampakkan pentingnya tanggung jawab, yang muncul langsung dari status kegembalaan.
Dari tiga ayat di atas, pesan yang kita dapatkan ialah bahwa menjadi gembala bukan sekedar pameran jabatan dan apalagi popularitas religius plus klerikus, melainkan kita diingatkan bahwa pengorbanan dan tanggung jawab harus merupakan perwujudan iman atas kepercayaan yang dikaruniakan Tuhan.
Salib memberi catatan kepada kita bahwa pengorbanan hanya dapat bernilai apabila rendah hati berpuncak pada rasa sakit. Sementara, kebangkitan mengafirmasi kemenangan bahwa setiap tanggung jawab diletakkan Allah dalam diri setiap orang dan ketulusan untuk melakukannya merupakan tiket final meraih prestasi memenenangkan pertandingan duniawi. Itulah sebabnya, mengapa pada Yesus, kita temukan rendah hati tanpa tanya dan tanggung jawab tanpa syarat.
Catatang penting pada poin ini ialah seringkali antara komitmen dan interese pribadi beda tipis. Dampaknya, tanggung jawab pastoral, diminimalisir dengan mengatasnamakan komitmen. Padahal, komitmen yang baik, tidak boleh mengabaikan rasa tanggung jawab.
Yang kedua : Gembala yang Baik ialah Mengenal Domba dengan Nama dan Domba yang Baik Mengenal Gembala melalui Suara
Gembala mengenal Domba dan Domba mengenal Gembala. Tuntutannya berbeda tetapi substansinya sama yakni karya pastoral mensyaratkan pendekatan anthropologis, yang didalamnya, saling mengenal tidak sekedar dipandang secara psiko-sosial melainkan merupakan tuntutan bagi karya pastoral. Bagi Gembala, mengenal domba merupakan rahmat. Itulah sebabnya, Yesus lebih memilih mencari satu domba yang hilang daripada 99 domba yang ada. Karena mengenal berarti utuh dan lengkap dengan segala situasi dari domba-domba yang ingin dikenal (bdk. Luk. 15:4). Nama adalah karakter maka mengenal nama domba-domba berarti mengetahui karakter dan situasi domba-domba.
Tuntutan bagi domba ialah mengenal Gembala melalui suara. Keseharian hidup membuktikan bahwa umat mengenal baik suara gembalanya. Tuntutan biblis seperti di atas menyisakan resiko pastoral, jika seorang gembala lebih mementingkan amarah daripada pewartaan Sabda. Daya tangkap umat berpotensi gagal paham apabila amarah dalam pastoral diperhadapkan dengan moralitas misioner gembala, di mana domba-domba dituntut untuk harus mendengarkan suara gembala
Yang ketiga : Antara Masalah dan Solusi
Jarak antara masalah dan solusi ibarat lutut dan tanah. Cukup rendah hati untuk berlutut, pasti ada solusinya. Tentu tak ada problem tanpa solving. Kenyataan seringnya ialah tak terdapat rendah hati dalam diri untuk menyelesaikan problem. Maka masalah yang paling serius sebetulnya ialah tentang rendah hati.
Yang keempat : Antara Mawar dan Duri
Antara mawar dan duri, jaraknya dekat. Jika anda tidak menjadi mawar indah menarik pandang dan rasa, anda akan menjadi duri yang menikam dan menyakitkan. Barangkali pernyataan ini biasa saja. Namun, hikmahnya ialah terdapat kenyataan beda tipis antara yang indah dan yang menakutkan. Kita dituntut untuk bijaksana dalam memilih. Hal penting yang perlu ada dalam pilihan itu ialah kita perlu realistis bahwa sendirian dalam melakukan pilihan ketika diperhadapkan dengan hal dan situasi yang sulit, sebetulnya merupakan peringatan terhadap penting niat segera membutuhkan yang lain.
Yang kelima : Antara Kenangan dan Genangan
Kenangan membuat orang rindu, sementara genangan bisa menyebabkan orang jatuh. Kenangan justru menjadi rindu bahwa kalau kenyataan itu berupa pengalaman, maka pengalaman yang sama tidak akan terulang secara persis seperti sebelumnya. Itulah dimensi terdalam dan tak terhingga dari kenangan. Dari filosofi kenangan, kita perlu belajar bahwa lebih baik menjadi orang yang dirindukan daripada menjadi orang yang diabaikan. Sementara dari filosofi kerinduan, kita belajar bahwa ketika orang merindukan kehadiran kita, serentak mereka menegaskan pentingnya peranan kita dalam karya kebaikan.
Yang keenam : Antara Jarum dan Gunting
Jangan jadikan kasih seperti gunting; walaupun lurus dan tajam tetapi memisahkan yang menyatu. Namun, jadikan kasih seperti jarum, walaupun tajam dan menusuk tetapi menyatukan yang terpisah. Ungkapan ini mengingatkan kita bahwa terhadap kasih, sangat diperlukan kebijaksaan untuk memahami dan melakukannya.
Kita tahu bahwa dimensi terdalam dari kasih ialah sakit yang berpuncak pada pengorbanan, dan spiritualitas Salib Kristus telah jelas menampakkan fakta teologis ini. Dari Spiritualitas Salib, kita belajar bahwa kerelaan untuk sakit, de factonya menganugerahkan keselamatan bagi banyak orang.
Yang ketujuh : Mari Bangun Persaudaraan
Pesan Paus Fransiskus pada Hari Panggilan se-Dunia ke-61, tahun 2024 berjudul Menabur Benih Harapan dan Membangun Persaudaraan. Mazmur 133:1 membahasakannya sangat indah; sungguh alangkah baik dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun.
Benar bahwa kita tidak perlu sedarah untuk membangun persaudaraan. Persaudaraan merupakan tuntutan kodrat yang muncul langsung dari kenyataan butuh bahwa seorang manusia tidak terlahir dari batu dan kayu. Karena ia terlahir dari “yang lain” maka hadirnya merupakan suatu eksistensia sosial dengan tuntutan bahwa hadirnya bagi yang lain merupakan suatu kegenapan rahmat dalam hidupnya.
Jelas bahwa persaudaraan layak diserukan, dan karena itu, tidak pantas bagi setiap orang untuk mengabaikan rasa saudara karena mengabaikan rasa saudara dalam diri, sama halnya dengan menghilangkan kenyataan sosial diri sendiri dari diri orang lain, sementara hal itu sama sekali tidak mungkin. Apabila itu terjadi, maka pertama-tama, seseorang itu, harus menghilangkan kodrat sosialnya, sementara, kenyataan membuktikan bahwa tak pernah seorangpun di dunia ini, yang hidup dan ia hidup sendirian.
Yang kedelapan : Lebih Baik Menjadi Harapan daripada Menjadi Racun
Kita bisa menilai dan sekaligus merefleksikan respon umat apabila kita muncul di tengah mereka. Jika, kehadiran kita sangat diharapkan, maka kalau terdapat kenyataan di mana kita tidak hadir, di sana tercipta rindu yang mendalam. Apabila, kehadiran kita ibarat racun, betapa situasi itu mengerikan ibarat dalam waktu segera, kegelisahan mereka ibarat ingin menghadapi kematian.
Penulis : RD. Yudel Neno