
OPINI – KeuskupanAtambua.org – Teori Spiral Keheningan (Spiral of Silence) oleh Elisabeth Noelle-Neumann dan Kritik Atasnya Berdasarkan Spiritualitas Suara Kenabian Yesus – oleh Yudel Neno, Pr
Pendahuluan
Teori Spiral Keheningan yang diperkenalkan oleh Elisabeth Noelle-Neumann menjelaskan bagaimana opini publik terbentuk melalui mekanisme tekanan sosial yang mendorong individu untuk menyembunyikan pandangan mereka jika merasa bahwa opini mereka termasuk dalam kelompok minoritas. Ketakutan akan isolasi sosial menjadi faktor utama yang membuat seseorang enggan mengungkapkan pendapat yang tidak sejalan dengan pandangan mayoritas. Media massa memainkan peran krusial dalam memperkuat fenomena ini dengan memperbesar suara yang dominan dan memarginalkan opini yang berlawanan. Dalam konteks ini, individu cenderung diam untuk menghindari stigmatisasi sosial.
Namun, dalam narasi sejarah dan spiritualitas, muncul figur-figur yang menentang logika spiral keheningan ini. Salah satu contoh terkuat adalah Yesus Kristus, yang sering berbicara secara terbuka melawan otoritas agama dan norma sosial di zamannya. Yesus menunjukkan bahwa kebenaran tidak boleh dibungkam oleh tekanan sosial atau ketakutan akan pengucilan. Keberanian-Nya dalam menyuarakan nilai-nilai keadilan, cinta kasih, dan solidaritas menjadi antitesis dari prinsip ketundukan sosial yang dijelaskan dalam Teori Spiral Keheningan.
Yesus tidak hanya menolak untuk terperangkap dalam spiral keheningan, tetapi juga menginspirasi pengikut-Nya untuk menjadi suara kenabian di tengah masyarakat yang seringkali tidak ramah terhadap perubahan moral dan sosial. Dalam tradisi spiritual, suara kenabian ini berfungsi sebagai koreksi terhadap ketidakadilan dan ketimpangan yang dilegitimasi oleh opini publik yang dikuasai oleh kelompok mayoritas. Oleh karena itu, perspektif spiritualitas Yesus menghadirkan kritik teologis terhadap Teori Spiral Keheningan dengan menempatkan suara kebenaran sebagai tanggung jawab moral yang melampaui sekadar kepentingan pribadi atau rasa takut akan isolasi sosial.
Hubungan antara Teori Spiral Keheningan dan Spiritualitas Suara Kenabian Yesus akan dianalisis secara kritis untuk menunjukkan bahwa meskipun tekanan sosial dapat membungkam banyak suara, panggilan untuk menyatakan kebenaran yang mendalam tetap menjadi misi profetis yang tidak bisa diabaikan oleh mereka yang dipanggil untuk menjalani hidup dalam keadilan dan kasih. Kombinasi analisis ini bertujuan untuk memperluas pemahaman tentang bagaimana individu dapat melampaui ketakutan akan isolasi sosial melalui kekuatan spiritual dan moral yang diteladankan oleh Yesus Kristus.
Komponen Utama Teori Spiral Keheningan
Ada empat komponen utama dalam Teori Spiral Keheningan. Dari point-point keempat komponen yang akan diuraikan, akan kita temukan bahwa ternyata kebenaran dapat tenggelam di tengah mayoritas dan pandangan mayoritas. Hal ini terjadi, terutama disebabkan oleh empat komponen yang dimaksud di bawah ini.
Komponen Kesatu : Ketakutan akan Isolasi
Manusia memiliki kebutuhan untuk diterima dalam kelompok sosial. Kebutuhan jenis ini bercorak negatif karena sumbernya digerakkan oleh suatu ketakutan. Sesuatu, yang datangnya bukan merupakan produk dari motivasi murni, biasanya tidak bertahan lama. Atau tepatnya dapat dikatakan bahwa kebutuhan untuk diterima dalam kelompok sosial merupakan produk dari tekanan sosial karena tidak ingin berlawanan dengan pandangan mayoritas, tanpa kritis dan selektif terhadap benar tidaknya suatu pandangan.
Komponen Kedua: Persepsi terhadap Opini Publik
Sifat kritis pribadi tenggelam karena individu mengukur kebenaran berdasarkan opini mayoritas yang berlangsung atau terekspos melalui media dan interaksi sosial. Persepsi seperti ini tentu merupakan suatu kekeliruan….karena terlalu inderawik hingga melupakan aspek kritis.
Persepsi ialah pemahaman yang terbentuk berdasarkan informasi dari penginderaan. Penting bagi kita untuk memahami beberapa jenis persepsi, seperti di bawah ini ;
Yang pertama ; Persepsi Visual. Persepsi ini didapatkan dengan cara melihat dan penafsiran terhadap objek atau gambar atas apa yang dilihat.
Yang kedua ; Persepsi Auditori. Persepsi ini didapatkan dengan cara mendengar dan memahami suara.
Yang ketiga ; Persepsi Sosial. Persepsi ini terbentuk dari proses menilai dan memahami orang lain dalam interaksi sosial.
Yang keempat ; Persepsi Waktu. Persepsi ini terbentuk dari proses memahami konsep waktu dan durasi.
Uraian tentang persepsi seperti di atas, memang penting untuk diketahui; mengingat bahwa kenyataan seperti itu, justru lebih banyak terjadi dalam komunikasi melalui media dengan berbagai interaksi dan interaktivitas.
Komponen Ketiga : Kesediaan untuk Bersuara
Mereka yang memiliki opini minoritas sering memilih diam agar tidak dikucilkan. Artinya, pada minoritas, tidak ada kesediaan untuk bersuara karena takut berhadapan dengan mayoritas yang dilihat sebagai power yang sangat kuat tekanannya. Artinya; kesediaan untuk bersuara merupakan manifestasi dari kehendak mayoritas. Imbasnya, yang bukan mayoritas, pada mereka tidak boleh ada kesediaan.
Komponen Keempat : Peran Media
Media menjadi arus utama dalam teori spiral keheningan. Informasi yang terbentuk dan melingkar spiral; memunculkan dominasi gerakan perputaran, yang kemudian menenggelamkan substansi dari setiap nadi lingkaran.
Akselerasi media, yang akhir-akhir ini diredusir pada click dan tampilan, berhasil membentuk persepsi tentang apa yang menjadi opini mayoritas dan minoritas. Dampaknya; kebenaran informasi diukur berdasarkan berapa banyaknya pihak yang berbicara dalam media; berapa banyak kelompok yang ditampilkan pada media.
Suara Kenabian Yesus dalam Perjanjian Baru dan Kritik atas Teori Spiral Keheningan
Yesus Kristus sering berbicara secara terbuka melawan arus utama masyarakat dan otoritas agama pada zamannya. Dia tidak takut akan isolasi sosial, meskipun pandangan-Nya kerap bertentangan dengan norma sosial dan hukum agama yang berlaku. Yesus menunjukkan keberanian untuk mengungkapkan kebenaran yang tidak populer, bahkan dalam menghadapi penganiayaan dan penolakan.
Contoh Suara Kenabian Yesus, sebagaimana termakhtub dalam Matius 23 tentang kecaman Yesus terhadap kemunafikan pemimpin agama sebagai wujud perlawanan terhadap ketidakadilan. Contoh lain; terdapat pada Yohanes 8:1-11 yang memperlihatkan keberanian Yesus melawan norma hukum yang keras dengan mengedepankan pengajaran tentang kasih dan pengampunan. Sementara dalam kaitannya dengan keberanian menghadapi isolasi sebagaimana dalam teori spiral keheningan, tetap menyuarakan misiNya hingga akhir, walaupun dikhianati, dihina, dan disalibkan.
Analisis Kritis: Kesamaan dan Perbedaan
Aspek Pertama : Ketakutan akan Isolasi Sosial
Teori Spiral Keheningan memperlihatkan bahwa Individu takut disisihkan dari masyarakat, karena itu tidak ingin berbicara. Sementara Yesus; suara kenabianNya tetap diutarakan tanpa takut akan isolasi sosial.
Aspek Kedua : Respon Terhadap Mayoritas
Teori Spiral Keheningan memperlihatkan bahwa individu cenderung diam, jika pandangan mereka minoritas, sementara Yesus, suara kenabianNya justru terus digaungkan dengan beraniNya meskipun pandanganNya dilihat sebagai minoritas karena harus berhadapan dengan pemuka-pemuka Yahudi, yang mayoritas.
Aspek Ketiga : Sumber Kekuasaan
Teori Spiral Keheningan memperlihatkan bahwa sumber kekuasaan didapatkan dari opini publik yang dibentuk oleh media dan norma sosial, sementara bagi Yesus, sumber kekuasaan untuk berbicara, didapatkan dari otoritas illahi dan demi misi keselamatan.
Aspek Keempat : Dampak Sosial
Teori Spiral Keheningan menghasilkan konformitas sosial. Konformitas adalah proses di mana individu mengubah sikap, perilaku, atau keyakinannya agar sesuai dengan norma, aturan, atau harapan kelompok sosial tertentu. Konformitas terjadi sebagai respons terhadap tekanan sosial, baik yang nyata maupun yang tersirat, dengan tujuan mendapatkan penerimaan atau menghindari penolakan.
Konformitas dapat bersifat positif, seperti mengikuti aturan hukum, atau negatif, seperti menyerah pada tekanan teman untuk melakukan hal-hal yang merugikan.
Sementara bagi Yesus, suara kenabianNya justru bukan memaksa, melainkan
menginspirasi perubahan radikal dan berdaya transformatif.
Aspek Kelima : Peran Media/Penyebaran
Teori Spiral Keheningan memperlihatkan posisi media sebagai landasan power bagi opini mayoritas, sementara bagi Yesus, justru; menggunakan pengajaran langsung dan para Murid untuk menyebarkan ajaranNya.
Aspek Ketujuh : Resiko Berbicara
Teori Spiral Keheningan menegaskan bahwa orang-orang minoritas; apabila berani mengemukakan pendapat, resiko baginya ialah kehilangan status sosial atau diisolasi. Sementara bagi Yesus, Ia tidak takut kehilangan status sosial, karena apa yang diperjuangkanNya bukan sebagai manifestasi dari kehendak mayoritas, melainkan merupakan manifestasi dari kehendak BapaNya….dan karena itu, keberanianNya tidak hanya dalam caraNya mengeritik tetapi siap menghadapi penderitaan, penganiyaan, bahkan kematian .
Kesimpulan
Secara kritis, Teori Spiral Keheningan menunjukkan bagaimana individu seringkali memilih diam demi menghindari eksklusi sosial. Sebaliknya, suara kenabian Yesus dalam Perjanjian Baru melampaui ketakutan akan isolasi sosial. Yesus menunjukkan bahwa berbicara untuk kebenaran, meskipun melawan opini mayoritas, adalah sebuah panggilan moral dan spiritual.
Perbedaan utama terletak pada motivasi dan otoritas. Teori Spiral Keheningan berakar pada kecenderungan manusiawi untuk mencari penerimaan sosial. Sementara itu, Yesus didorong oleh otoritas Ilahi untuk menyatakan kebenaran tanpa kompromi, bahkan ketika itu mengarah pada penderitaan dan kematian. Kedua konsep ini mengajarkan bahwa suara yang diabaikan dapat menjadi kekuatan transformatif ketika didasari oleh keyakinan yang teguh dan tujuan yang lebih besar dari sekadar pengakuan sosial.
Penulis : Yudel Neno, Pr
Sumber Bacaan:
Kitab Suci – Deuterokanonika
Buku karya Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si, berjudul : Media Komunikasi Politik; Relasi Kuasa Media di Panggung Politik