SURAT GEMBALA MASA PUASA 2018
Uskup Atambua
“TOBAT SEJATI:
SADAR DIRI, PEDULI SESAMA, CINTA ALAM SEMESTA”
Para Imam dan seluruh Umat Keuskupan Atambua yang terkasih dalam Tuhan!
Salam jumpa kembali dalam rahmat dan damai-sejahtera Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus.
Kita bersyukur karena kita diperkenankan Tuhan memasuki masa Prapaskah 2018. Bunda Gereja kembali mengajak kita untuk terus-menerus mengupayakan pertobatan sejati, agar hidup kita makin berkenan di hadapan Allah, makin bermutu dan sejahtera lahir-batin, makin cerdas dan bijak mengelola kehidupan. Dalam perspektif harapan kristiani, semoga kita makin sempurna seperti Bapa di surga yang adalah sempurna (bdk Mat 5, 48).
Tema APP tahun 2018 ini adalah “Membangun Solidaritas Sosial demi Keutuhan Ciptaan.” Selain penyajian tema ini dalam bahan APP tahun 2018 yang jadi bahan pembinaan selama masa Prapaskah, tema ini juga hendaknya kita renungkan, dalami dan refleksikan melalui pokok-pokok refleksi sebagaimana tertera dalam Surat Gembala Masa Puasa 2018 ini.
1. TOBAT SEJATI: SADAR DIRI, SADAR DOSA
Tobat sejati digerakkan oleh Roh Cinta kasih Allah yang dicurahkan dalam hati nurani kita. Roh Kuduslah yang mengingatkan kita akan seluruh kebenaran Firman Allah. Firman itu sungguh hidup dan berdaya, lebih tajam daripada pedang bermata dua, yang menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum, yang sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita (bdk. Ibr 4, 12). Roh Kudus menolong kita menjalani masa tobat ini dengan kurnia pembedaan Roh.
Para utusan Allah berulang kali berseru agar kita menjalani tobat sejati sebagai upaya dan proses pembaharuan dan perbaikan diri di dalam terang Roh Allah sendiri. “Sekarang juga berbaliklah kepada-Ku dengan segenap hatimu, dengan berpuasa, dengan menangis dan dengan mengaduh. Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu, berbaliklah kepada Tuhan, Allahmu, sebab Ia pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia, dan Ia menyesal karena hukuman-Nya” (Yl 2, 12-13).
Dalam diri kita orang beriman, tobat sejati dapat terungkap dalam bentuk kesadaran diri dan kesadaran akan bahaya dosa. Sadar diri, kembali ke dalam diri sendiri, merupakan anugerah dan bakat kodrati yang dianugerahkan Allah bagi kita umat-Nya. Secara spontan dan kodrati kita sadar akan jarak yang terbentang antara diri kita dan realitas objektif. Kita sadar, diri kita terbatas, kecil, hina-dina, rapuh, lemah, dapat hancur seketika di hadapan kekuatan alam yang dahsyat.
Kita sadar juga, kita adalah orang-orang berdosa. Dalam dosa dan kehinaan diri kita, kita masih diperkenankan menjangkau alam nan suci yang bebas dosa, kelemahan, cacad-cela, kerapuhan dan kebinasaan. Itulah alam nan sakral, wilayah kedaulatan dan kebesaran Allah. Kesadaran akan dosa dan kehinaan diri kita menjadikan kita masuk dalam suatu pengakuan dosa eksistensial, Confessio Peccati. Sekaligus diri kita diliputi rasa kagum dan pujian bagi Sang Maha-Suci, Tuhan. Itulah pengakuan kebesaran dan keagungan Allah, Confessio Laudis. Terpujilah Allah di tempat yang Mahakudus, terpujilah Dia di tempat mahatinggi. Berbarengan dengan Confessio Laudis, kitapun sadar akan kebenaran tak terbantahkan dalam hidup ini, bahwa di dalam Allah kita sungguh terselamatkan, merasa tenteram dan damai-sejahtera, merasa hidup, bergerak dan ada. Itulah Confessio Vitae, pengakuan bahwa kita sungguh hidup, tetapi bukan lagi kita yang hidup, tetapi Kristuslah yang hidup dan meraja dalam hidup kita (bdk Gal 2, 19-20).
Tobat sejati menghantar kita pada kesadaran akan dosa dan kuasa rahmat Allah. Kita sadar, ada yang tidak beres dalam diri kita, karena kita cenderung melawan perintah cintakasih Tuhan. Dosa merupakan pelanggaran atau perlawanan terhadap kebenaran yang diwahyukan Allah, yang terpancar dari dalam hati nurani yang benar. Dosa juga merupakan kesalahan terhadap kasih yang benar kepada Allah dan sesama terdorong oleh suatu ketergantungan yang tidak normal kepada barang-barang duniawi. Dosa melukai kodrat manusia dan solidaritas manusiawi. Oleh St. Augustinus, dosa dipahami sebagai “kata, perbuatan dan keinginan yang bertentangan dengan Hukum Allah” (St. Augustinus, Faust. 22, 27).
Marilah kita serius memperhatikan secara khusus daya rusak dan pengaruh buruk dari 7 dosa besar yang secara klasik disebut 7 dosa pokok. Menurut ajaran iman kita, ke-7 dosa pokok itu sungguh membawa kematian bagi kemanusiaan kita yang otentik. Dengan melakukan ke-7 dosa pokok itu, kita secara defintif kehilangan citra Allah dalam diri kita. Kita mati, kehilangan hidup Ilahi yang merupakan anugerah terbesar Allah bagi kita.
Pertama, dosa kesombongan, kecongkakan, tinggi hati, besar kepala (superbia): “Permulaan kecongkakan ialah meninggalkan Tuhan serta menjauhkan hati dari Penciptanya” (Sir 10, 12). Kesombongan merupakan dosa pokok yang mendorong kita manusia hidup di luar batas-batas kewajaran diri kita. Karena kesombongan, kita bertindak seolah-olah kitalah Tuhan, Sang Maha Pencipta dan Penyelenggara. Kesombonganlah yang menyebabkan Adam dan Hawa jatuh terpuruk dalam dosa di Taman Firdaus dengan segala akibatnya.
Kedua, dosa keserakahan, ketamakan, kerakusan, kelobaan (avaritia, gula): Keserakahan menyebabkan manusia memiliki rasa lapar dan haus yang tak wajar dan tak terbatas akan segala sesuatu. Keinginan menjadi tidak terbatas, sementara barang-barang pemuas kebutuhan terbatas, bahkan serba kurang. Keserakahan menjadikan manusia terus-menerus mengejar harta-benda dan segala kekayaan duniawi, tanpa pernah terpuaskan. Orang serakah jadi seperti orang yang minum air garam: makin diminum makin haus!
Ketiga, dosa iri hati, dengki, benci, dendam kesumat (invidia): Iri hati merupakan dosa pokok yang disebabkan karena ketidakpuasan dengan apa yang dimiliki dan terdorong untuk berkonflik dan bermusuhan dengan orang yang memiliki kelebihan. Hati orang pendendam biasanya panas, terganggu, tidak puas, tidak nyaman, terusik dengan kelebihan dan keunggulan orang lain.
Keempat, kemarahan, kemurkaan (ira): Amarah murka mengungkapkan sifat kebinatangan atau irationalitas manusia. Sifat marah yang tak terkontrol menyebabkan manusia sesat pikir, terbakar emosi, bertindak anarkis dan brutal. Kemarahan dan emosi yang tak terkontrol menyebabkan perselisihan, konflik dan perang. Korban nyawa dan pembunuhan karakter merupakan akibat langsung dari kemarahan yang tak terkontrol ini.
Kelima, dosa kemabukan, pesta pora dan kenikmatan (luxuria): Kita manusia sering bertindak aneh: berbuat seolah-olah kita ditakdirkan sebagai pendamba dan pengejar kenikmatan, pesta pora dan kemabukan. Ada begitu banyak orang yang tidak pernah puas hanya dengan pemenuhan kebutuhan primer seperti makan minum, pakaian, perumahan, dll. Kecenderungan dan nafsu memiliki barang-barang mewah, mencicipi segala kelezatan dan kenikmatan duniawi, menjadikan banyak orang lupa diri, lupa Tuhan, berani korbankan sesama dan berani merambah alam semesta secara sewenang-wenang. Orang yang dirasuki dosa kemabukan hidup semata-mata untuk kesenangan dan kenikmatan tanpa peduli dengan kebutuhan yang khas manusiawi. Banyak orang terlibat kasus korupsi, narkoba, hidup gemerlapan dan serba wah, hanya karena terobsesi untuk hidup enak dan serba mewah. Inilah dosa silap mata, silap hati dan silap jiwa yang membunuh manusia.
Keenam, dosa kemalasan (pigritia): Dosa kemalasan umumnya dilakukan saat orang kehilangan daya juang yang diperlukan untuk menghindari atau mencegah dosa dan kejahatan. Adam yang diam membisu saat Hawa berdialog dengan iblis di Taman Eden merupakan contoh dari dosa kemalasan, yaitu keengganan dan kelalaian untuk mengambil tindakan yang perlu dan pada waktu yang tepat agar dosa dicegah. Dalam keengganannya Adam sebenarnya berkonspirasi dalam kejahatan, berkolaborasi dengan si penggoda, memungkinkan si penggoda menggoalkan tujuannya yang licik dan lihay. Jatuhlah manusia, terpuruk dalam cengkeraman kuasa dosa dengan akibat yang mengerikan.
Ketujuh, dosa percabulan, perzinahan, perselingkuhan (fornicatio): Dosa percabulan adalah perbuatan salah akibat hubungan sexual antara orang yang menikah resmi dengan partner di luar ikatan pernikahan atau di antara orang yang tidak terikat pernikahan yang sah. Dosa percabulan merupakan pelanggaran berat terhadap perintah ke-6 dan ke-9 dari Dekalog dan membunuh jiwa karena merusakkan diri manusia sebagai bait Roh Kudus, umat kepilihan Allah dan tubuh mistik Kristus.
Apakah tidak ada jalan pengampunan dan pembebasan bagi orang yang melakukan dosa pokok pembawa kematian? Satu-satunya cara agar manusia bebas dari hukuman akibat melakukan ke-7 dosa pokok adalah dengan bertobat dan mengaku dosa secara pribadi. Masa Puasa adalah masa untuk menghadap takhta rahmat Allah dengan maksud memperoleh pengampunan dan perdamaian dari Allah, Bapa Maharahim.
2. BERBELA RASA DAN PEDULI SESAMA
Sejarah masyarakat manusia dipenuhi kisah perpecahan, konflik, pertikaian dan perang antar suku, keluarga, kelompok, bangsa, koalisi bangsa-bangsa, pakta pertahanan, pakta ekonomi, pakta agama, dst. “Pemerintahan beralih dari bangsa yang satu kepada bangsa yang lain, akibat kelaliman, ketidakadilan, kesewenang-wenangan dan nafsu uang” (Sir 10, 8).
Konflik, pertikaian dan perang sungguh tidak adil karena menyebabkan banyak orang tak berdosa jadi korban. Allah yang memilih berpihak pada mereka yang kecil, lemah dan tak berdaya, berinisiatif mencegah tindakan sewenang-wenang antar manusia. Para penguasa diminta untuk berlaku adil dan melindungi yang kecil, lemah dan tak berdaya. Inilah dasar dari solidaritas sosial yang mencapai puncaknya dalam misteri penjelmaan Allah jadi manusia dalam diri Yesus Kristus, orang Nazareth. Dalam misteri inkarnasi inilah terkandung tuntutan cinta kasih terhadap Allah dan sesama seperti cinta terhadap diri sendiri.
Tuntutan fundamental dalam Kitab Suci untuk membangun tobat adalah semangat bela rasa, cintakasih, dan perlakuan yang adil kepada sesama. “Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti air yang selalu mengalir” (Am 5, 21-24). Nabi Yesaya dengan lantang menyerukan kepalsuan iman dan agama yang sangat marak karena tidak didasarkan atas sikap bela rasa, solider, setia kawan, senasib-sepenanggungan dan peduli sesama. “Sesungguhnya, pada hari puasamu engkau masih tetap mengurus urusanmu, dan kamu mendesak-desak semua buruhmu. Sesungguhnya, kamu berpuasa sambil berbantah dan berkelahi serta memukul dengan tinju dengan tidak semena-mena… Berpuasa yang Kukehendaki ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar, dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian, dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!” (Yes 58, 3c-7).
Jalan pertobatan sejati untuk mempersiapkan diri menyongsong kedatangan Kristus diserukan dengan lantang oleh Yohanes Pembaptis: “Ada suara yang berseru-seru di padang gurun: Persiapkanlah jalan untuk Tuhan, luruskanlah jalan bagi-Nya. Setiap lembah akan ditimbun, dan setiap gunung dan bukit akan menjadi rata, yang berliku-liku akan diluruskan, dan yang berlekuk-lekuk akan diratakan, dan semua orang akan melihat keselamatan yang dari Tuhan” (Luk 3, 4b-6). Inilah ungkapan simbolik untuk jalan solidaritas, jalan turun yang dipilih dan ditempuh Allah untuk mendatangi umat-Nya. Tetapi manusia tetap diminta bagian partisipasi aktifnya demi terwujudnya solidaritas itu. “Barangsiapa mempunyai dua helai baju, hendaklah ia membaginya dengan yang tidak punya, dan barangsiapa mempunyai makanan, hendaklah ia berbuat juga demikian…” dan kamu, para pemungut cukai, “Jangan menagih lebih banyak daripada yang telah ditentukan bagimu.” Dan terlebih kamu para prajurit, “Jangan merampas dan jangan memeras, dan cukupkanlah dirimu dengan gajimu” (bdk. Luk 3, 4b-14).
Kristus, Sang Juruselamat menegaskan jalan solidaritas sebagai pelengkap kesempurnaan hidup bagi para pengikut-Nya. “Jika engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di surga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku” (Mat 19, 21).
Bunda Gereja melalui ajaran sucinya mengajak kita untuk terus-menerus mengembangkan sikap iman dan pelayanan pastoral Gereja melalui perhatian yang penuh dedikasi untuk mengembangkan solidaritas sosial. Gereja Indonesia, melalui Seruan-Seruan Pastoral dan Nota Pastoral KWI, terus mengajak kita untuk semakin menjadi Gereja yang relevan dan signifikan, justru karena makin menyadari tugas panggilan dan perutusan kita untuk menata kehidupan dunia ini semakin selaras kehendak Allah.
Bagaimana perhatian dan komitmen kita untuk merajut dan mengembangkan solidaritas sosial di Keuskupan Atambua ini? Visi-Misi dan Strategi Pastoral Keuskupan kita masih menunjukkan keprihatinan atas masalah persekutuan hidup Gereja dan persaudaraan kristiani yang belum tertata baik. Persaudaraan kita belum berkembang karena berbagai faktor: sekat-sekat kepentingan dari segi sosio-kultural, sosio-politik, sosio-ekonomi, dan bentuk-bentuk hambatan lainnya.
Mari kita gunakan masa tobat ini untuk membangun kembali semangat bela rasa dan solidaritas sosial di lingkup keluarga, sekolah-sekolah, asrama-asrama, komunitas-komunitas, lembaga-lembaga pelayanan pastoral dan sosial-kemasyarakatan. Semoga kita semakin peduli, prihatin dan berjuang melawan segala bentuk dan tindak ketidakadilan, kesewenang-wenangan, melawan praktek perdagangan orang melalui perekrutan dan pengiriman TKI/TKW tidak aman dengan segala resikonya. Marilah kita juga membuka mata hati kita terhadap realitas kemerosotan iman, akhlak, dan karakter, yang menyebabkan juga kemerosotan budaya dan ketrampilan hidup masyarakat lokal. Kita juga ingin merajut solidaritas sosial dengan segala upaya untuk mencegah berbagai penyakit sosial yang makin marak di wilayah ini. Marilah kita juga ikut prihatin dengan praktek pendidikan yang bersifat instan, formal dan legal, yang lebih mengutamakan urusan lulusan bernuansa manipulatif dan administratif, yang cenderung mengerdilkan upaya pembentukan karakter pribadi para peserta didik.
3. MENCINTAI ALAM SEMESTA
Alam semesta sungguh indah-mempesona dan mengagumkan karena dianugerahkan Allah bagi manusia. Seluruh alam semesta diperuntukkan bagi manusia untuk hidup dan berkembang secara maksimal. Bumi adalah ibu yang mengasuh dan memelihara setiap anak manusia. Manusia tidak dapat hidup tanpa alam. Alam semesta perlu dijaga dan dipelihara agar tetap lestari, utuh dan berkelanjutan. Berdasarkan hukum Equilibrium, bila alam dan lingkungan hidup rusak, masyarakat dan individu pun rusak. Eksploitasi alam yang berlebihan, perencanaan pengelolaan yang tidak bertanggungjawab, sikap egoistik, serakah dan sembrono terhadap alam, pasti berakibat buruk bagi keberlanjutan hidup manusia.
Agar manusia menjadi bijak dan penuh penghargaan terhadap alam ciptaan, perlulah ia sadar, bahwa Allah menciptakan bumi ini berdasarkan suatu rancangan dan keputusan yang Mahabijaksana. “Berfirmanlah Allah: ‘Jadilah terang’. Lalu terang itu jadi… Berfirmanlah Allah: ‘Jadilah cakrawala di tengah segala air untuk memisahkan air dari air. Maka jadilah cakrawala itu…. Berfirmanlah Allah: ‘Hendaklah segala air yang di bawah langit berkumpul pada suatu tempat, sehingga kelihatan yang kering’. Dan jadilah demikian…Berfirmanlah Allah: ‘Hendaklah tanah menumbuhkan tunas-tunas muda, tumbuh-tumbuhan yang berbiji, segala jenis pohon buah-buahan yang menghasilkan buah yang berbiji, supaya ada tumbuh-tumbuhan di bumi.’ Dan jadilah demikian… Berfirmanlah Allah: ‘Jadilah benda-benda penerang pada cakrawala untuk memisahkan siang dan malam…’ Dan jadilah demikian… Berfirmanlah Allah: ‘Hendaklah dalam air berkeriapan makluk yang hidup, dan hendaklah burung beterbangan di atas bumi melintasi cakrawala…’ Berfirmanlah Allah: ‘Hendaklah bumi mengeluarkan segala jenis makhluk yang hidup, ternak dan binatang melata dan segala jenis binatang liar.’ Dan jadilah demikian… Allah melihat bahwa semuanya itu baik.” (Kej 1, 3-25).
Sungguh mengagumkan juga penyerahan tugas luhur pemeliharaan bumi ini kepada manusia yang tercipta pada hari ke-6. “Allah berfirman: ‘Beranakcuculah dan bertambah banyak. Penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi… Lihatlah, Aku memberikan kepadamu segala tumbuh-tumbuhan yang berbiji di seluruh bumi dan segala pohon-pohonan yang buahnya berbiji; itulah akan menjadi makananmu.” (Kej 1, 28-29).
Alam nan indah, tugas nan luhur. Apa yang terjadi selanjutnya? Dosa mengacau-balaukan dan merusakkan segalanya. Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa karena makan buah pohon terlarang. Mereka terkutuk, hidup tanpa jaminan di luar pemeliharaan Allah, dan bumipun jadi sasaran keserakahan. Mereka berjerih payah, berpeluh dan berdarah-darah, tetapi tidak juga lebih sejahtera. Mereka mengolah tanah untuk menabur, tetapi yang bertumbuh adalah semak-duri. Mereka berjuang sepanjang hidup tetapi alam telah berkurang kedermawanannya. Mulailah proses perjuangan eksploitasi besar-besaran, karena manusia telah menderita lapar dan haus abadi, terbelenggu nafsu-serakah tiada akhir, sementara barang-barang pemuas kebutuhan dasar hidupnya langka. Jadilah proses keterasingan dan permusuhan antara manusia dan dunia ciptaan Allah yang berdampak pengrusakan alam secara massif.
Keterasingan manusia dari alam dan Sang Pencipta berakibat fatal. Berbekal regulasi sembrawut dan tidak bijak, mulailah proses eksplorasi dan eksploitasi alam tanpa batas. Polusi hidup, illegal logging, kepunahan berbagai jenis makluk hidup, pengrusakan hutan, air, tanah, udara dan lingkungan hidup di kota-kota dan desa-desa telah marak terjadi dan sulit dihentikan. Roda kerusakan telah berputar dan bahkan para dewa pun tak sanggup menghentikannya lagi.
Masihkah terbersit harapan untuk pemulihan hidup manusia dan dunia? Bagi Allah, tidak ada yang mustahil. Ia berinisiatif, mengutus Putera-Nya Yesus Kristus, Pepulih atas dosa dan seluruh alam ciptaan. Di dalam Kristus, Sang Sabda yang menjelma menjadi manusia, mulailah proses pemulihan atas dosa dan penyembuhan atas alam ciptaan. Syaratnya: Tobat, kembali kepada Allah.
Allah itu Kasih dan Dia menghendaki kita membalas kasih-Nya dengan mengamalkan kasih itu bagi sesama bersama alam ciptaan-Nya. Dunia diciptakan dan ditujukan bagi kesejahteraan seluruh umat manusia. Barangsiapa mengklaim dirinya mencintai Allah dan sesama, dia juga wajib mencintai alam ciptaan Allah.
Masa Prapaskah merupakan masa rahmat, masa istimewa perkenanan Allah untuk Tobat Ekologis kita. Mari kita kobarkan cinta dan bakti kita untuk membangun kembali alam ciptaan Allah yang telah rusak oleh dosa keserakahan manusia. Mari kita bekerja keras, cerdas, tuntas dan tulus, dengan penuh rasa cinta demi pulihnya keutuhan dan alam ciptaan Allah. Marilah kita sadar, cinta kita kepada alam, segala upaya kita menjaga, memelihara dan mengembangkan daya dukung alam secara bertanggungjawab, akan menghasilkan buah berlimpah. Melalui APP tahun 2018 ini, semoga kita disadarkan Allah untuk memulihkan hidup kita melalui segala upaya pemulihan alam ciptaan, karena hidup kita sungguh tergantung dari kemurahan hati alam ciptaan Allah.
Selamat menjalani Masa Puasa 2018. Bekerjalah untuk alam yang lestari, utuh dan berkelanjutan. Tuhan memberkati dengan rahmat dan ampunan berlimpah.
Salam kasih dalam Tuhan dan Berkat Apostolik
Lalian Tolu, Medio Pebruari 2018
Uskup Atambua
ttd
†Mgr. Dr. Dominikus Saku