KeuskupanAtambua.org – Yudel Neno, Pr ….……
Janda yang Memberi dari Kekurangan
Berdasarkan Teks Markus 12:38-44 (Bacaan Injil Hari Minggu, 10 November 2024)
Tulisan ini dipersembahkan sebagai wujud penghormatan serta gugahan, bertolak dari dua kenyataan istimewa, yakni Hari Minggu (Hari Paskah – Hari Kemartiran) yang terkalender tepat bersamaan dengan Hari Pahlawan Nasional; 10 November (2024). Disebut Hari Paskah karena substansi Perayaannya ialah Keselamatan. Disebut Hari Kemartiran, karena keselamatan itu terlaksana melalui jalan penderitaan yang berdarah dan berkorban. Itulah sebabnya dikatakan; TIADA PASKAH TANPA JUMAT AGUNG; TIADA KEMULIAAN TANPA SALIB
Kisah Janda yang memberi dari kekurangannya, sebagaimana diungkapkan dalam Teks Injil (Markus, 12:38-44), yang menjadi landasan bagi seluruh permenungan ini, merupakan gambaran kuat tentang pengorbanan, keikhlasan, dan keberanian.
Praktik-praktik yang menonjolkan kesalehan hanya untuk dipuji manusia tanpa ketulusan di hadapan Allah merusak esensi dari ibadah sejati. Sebagaimana para penjajah menggunakan tipu daya politik untuk menundukkan rakyat, Orang Farisi memanfaatkan agama demi gengsi. Waspadalah, sebab kemunafikan hanya membawa kehancuran dalam masyarakat dan relasi spiritual
Dalam keterbatasan dan kesederhanaannya, Janda tersebut memberikan apa yang Ia miliki dengan sepenuh hati, tanpa memperhitungkan kepentingan pribadi atau keuntungan yang akan didapat. Tindakan ini tidak hanya menjadi teladan iman dan kepedulian, tetapi juga mencerminkan semangat pengorbanan sejati yang relevan bagi pahlawan masa kini.
Karena penghormatan tanpa tindakan sejati hanya menjadi ilusi yang membutakan diri
Pahlawan modern, baik dalam konteks nasionalisme, kemanusiaan, atau bidang lainnya, dituntut untuk rela berkorban demi kebaikan bersama, bahkan jika harus melampaui keterbatasan dan tantangan pribadi. Model ini menegaskan bahwa keikhlasan, pengorbanan, dan kesediaan untuk melayani sesama, meski dari keterbatasan, adalah esensi dari kepahlawanan yang patut dihidupkan di masa kini.
Orang yang menginginkan pujian kosong, seperti penjajah yang mengeksploitasi kekuasaan untuk mendapatkan penghormatan, tidak memiliki jiwa pengabdian
Dengan meneladani semangat janda yang memberi dari kekurangannya, pahlawan masa kini dapat mendorong perubahan sosial, keadilan, dan persatuan yang berkelanjutan di tengah tantangan zaman.
Hari Pahlawan Nasional
Hari Pahlawan Nasional ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Soekarno Nomor 316 Tahun 1959. Penetapan ini berawal dari peristiwa heroik yang terjadi pada 10 November 1945 di Surabaya, yang kemudian diakui sebagai salah satu tonggak penting dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Doa yang panjang; bertele-tele dan tidak tulus dilakukan, seringkali tidak lebih daripada sebuah dramatisasi dan praktek manipulasi keagamaan untuk kepentingan pribadi
Latar belakang penetapan Hari Pahlawan didasarkan pada perjuangan besar rakyat Surabaya melawan Pasukan Sekutu yang berusaha menguasai kembali Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pertempuran ini dipimpin oleh Tokoh-Tokoh seperti Bung Tomo dan diikuti oleh Ribuan Pejuang dari berbagai kalangan, termasuk Rakyat Sipil, Pemuda, dan Anggota Militer.
Semangat perjuangan Rakyat Surabaya yang pantang menyerah dan berani melawan kekuatan militer yang jauh lebih besar menjadi simbol keberanian dan semangat nasionalisme.
Totalitas pengorbanan terlihat dari hati yang murni, bukan dari penampilan luar yang membohongi orang lain
Sementara dari Pasukan Sekutu, pertempuran itu berlangsung, berawal dari ultimatum Brigadir Jenderal A.W.S Mallaby, yang menuntut rakyat Surabaya untuk menyerahkan senjata. Penolakan dan perlawanan dari rakyat Surabaya memicu pertempuran sengit yang berlangsung selama beberapa pekan, menjadikan peristiwa ini sebagai salah satu pertempuran paling besar dan heroik dalam sejarah perjuangan Indonesia.
Karena pengorbanan sejati terletak pada ketulusan, bukan pada besarnya materi
Penetapan Hari Pahlawan memiliki tujuan untuk mengenang jasa Para Pejuang yang gugur dalam pertempuran tersebut dan sebagai pengingat akan pentingnya persatuan dan semangat juang dalam menghadapi tantangan, baik dari dalam maupun luar negeri.
Hari Pahlawan bukan hanya sekadar mengenang masa lalu, tetapi juga menjadi dorongan bagi generasi penerus untuk meneladani semangat kepahlawanan dalam membangun bangsa.
Dua peser yang dimilikinya melambangkan totalitas dan ketulusan, menunjukkan bahwa pengorbanan yang benar melibatkan segalanya
Sebagai Bangsa yang besar, Bangsa Indonesia menghargai pengorbanan dan jasa Para Pahlawan dalam mempertahankan kemerdekaan dengan nyawa dan darah mereka. Nasionalisme yang terkandung dalam peringatan Hari Pahlawan adalah semangat untuk terus memperjuangkan keadilan, kemajuan, dan kesejahteraan bangsa. Peringatan ini tidak hanya sekadar mengenang perjuangan fisik para Pahlawan di masa lalu, tetapi juga menjadi panggilan bagi setiap warga negara untuk melanjutkan perjuangan tersebut sesuai dengan tuntutan dan tantangan zaman.
Nilai-nilai seperti cinta tanah air, keberanian, dan semangat persatuan yang diwariskan para Pahlawan harus menjadi pendorong bagi Generasi Muda untuk membangun Bangsa dengan integritas, tanggung jawab, dan kerja keras.
Sikap yang mengedepankan kehormatan diri, menampilkan kesalehan palsu, dan seringkali suka memanipulasi hukum untuk keuntungan pribadi
Pada Hari Pahlawan, refleksi nasionalis menjadi momen untuk memperkuat tekad agar Indonesia semakin mandiri, kuat, dan bermartabat di kancah internasional. Mari kita jadikan semangat perjuangan para pahlawan sebagai motivasi untuk terus berkontribusi, menjaga persatuan, dan memperjuangkan cita-cita luhur bangsa.
Relevansi antara pemberian Janda dan perjuangan para Pahlawan menunjukkan bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada besar kecilnya sumber daya, melainkan pada kemauan untuk berkorban secara utuh
Selanjutnya, kisah kemunafikan yang disebutkan dalam Teks Markus, yang juga merupakan sasaran kritik Yesus, kita ikuti dalam uraian di bawah ini, sambil memperlihatkan kesamaan mental antara para Pihak Sekutu dan Orang-Orang Farisi yang disebutkan dalam tulisan ini, sembari menjadikan karakter Si Janda sebagai Mata Pisau untuk membedahnya.
Waspadalah Terhadap Kemunafikan
Yesus dalam perikop Mrk. 12:38 memperingatkan orang banyak agar berhati-hati terhadap Ahli-Ahli Taurat yang suka memamerkan kesalehan mereka. Tindakan Yesus ini menunjukkan bahwa kemunafikan dalam beragama bisa menjadi batu sandungan bagi iman orang lain. Mengapa demikian? Karena praktik-praktik yang menonjolkan kesalehan hanya untuk dipuji manusia tanpa ketulusan di hadapan Allah merusak esensi dari ibadah sejati. Sebagaimana para penjajah menggunakan tipu daya politik untuk menundukkan rakyat, Orang Farisi memanfaatkan agama demi gengsi. Waspadalah, sebab kemunafikan hanya membawa kehancuran dalam masyarakat dan relasi spiritual.
Suka Berjalan-jalan dengan Jubah Panjang
Disebutkan dalam Teks, sebagai kritik Yesus terhadap Ahli Taurat bahwa Mereka suka berjalan-jalan dengan jubah panjang untuk menunjukkan status mereka (Mrk 12:38).
Pengorbanan sejati tidak pernah diukur dari apa yang nampak besar di mata dunia, tetapi dari keutamaan hati yang berani memberi segalanya, bahkan dalam kekurangan
Jubah panjang adalah simbol status sosial dan religius, tetapi juga lambang kesombongan mereka. Bagaimana ini berkaitan dengan penjajah dan para pejuang?
Para penjajah menggunakan kemewahan dan simbol kekuasaan untuk menundukkan pribumi, sementara para pejuang bertahan dalam kesederhanaan, tetap membela kehormatan bangsa.
Dengan demikian, berjalan dengan jubah panjang adalah representasi dominasi kekuasaan yang memisahkan diri dari rakyat, berbeda dengan kerendahan hati seorang pahlawan yang berkorban tanpa pamrih. Dan model nasionalis dan patriotist seperti ini, justru ditemukan dalam diri Si Janda.
Suka Penghormatan di Tempat Umum
Orang Farisi mencintai penghormatan di pasar-pasar (Mrk 12:38), memperlihatkan kehausan akan pujian dan pengakuan publik. Mengapa ini penting? Karena penghormatan tanpa tindakan sejati hanya menjadi ilusi yang membutakan diri. Orang yang menginginkan pujian kosong, seperti penjajah yang mengeksploitasi kekuasaan untuk mendapatkan penghormatan, tidak memiliki jiwa pengabdian.
Dalam konteks Hari Pahlawan, kita melihat bagaimana para pejuang Surabaya bertindak karena cinta tanah air, bukan mencari sanjungan. Ketulusan menjadi pembeda antara yang berjuang demi rakyat dan yang memanfaatkan rakyat.
Suka Menduduki Tempat Terdepan – Terhormat
Ahli-ahli Taurat gemar duduk di tempat terhormat di rumah-rumah ibadat dan perjamuan (Mrk 12:39). Mereka menempatkan diri di posisi tertinggi, memanfaatkan kepercayaan orang banyak untuk meraih status. Mengapa ini berbahaya? Karena posisi ini menguatkan hierarki yang menjauhkan pemimpin dari rakyat. Penjajah menggunakan posisi dominan mereka untuk mengendalikan masyarakat. Sebaliknya, para pejuang menunjukkan bahwa kebersamaan dan kesetaraan adalah jalan menuju kebebasan. Sikap tamak akan kehormatan memisahkan pemimpin dari rakyat yang mereka layani. Praktek ini justru berbeda dengan Si Janda, yang memilih “tidak duduk di tempat terdepan” sebagai lambang totalitas yang datang dari kesederhanaan dan bukan sekekdar pameran kemewahan yang diperoleh karna faktor posisi dan urutan.
Suka Mencaplok Harta Janda-Janda
Dalam teks ini, Yesus menyoroti mereka yang mencaplok rumah para Janda (Mrk 12:40). Perbuatan ini bukan hanya simbol keserakahan, tetapi juga penghinaan terhadap kaum lemah. Mengapa hal ini terjadi? Karena sistem sosial yang tidak adil memungkinkan yang kuat menindas yang lemah. Para penjajah mengeksploitasi kekayaan bangsa, sementara pahlawan berjuang untuk memulihkan martabat bangsa. Dengan mencaplok, para Ahli Taurat memperlihatkan ketamakan yang bertolak belakang dengan pengorbanan total yang diajarkan oleh Si Janda Miskin.
Si Janda yang memperlihatkan sikapnya memberi dengan total, jelas kontras dengan sikal Ahli Taurat yang merampas dan rakus serta para Penjajah yang bukannya memberi tetapi malah ingin mengambil dan merampas.
Mengelabui dengan Doa Panjang
Ahli-ahli Taurat sering mengelabui orang banyak dengan doa yang panjang (Mrk 12:40). Doa semacam itu hanya demi pertunjukan dan tidak berasal dari hati yang tulus. Doa yang demikian menunjukkan manipulasi keagamaan untuk kepentingan pribadi. Penjajah sering memanfaatkan politik dan propaganda untuk memanipulasi rakyat. Sebaliknya, doa sejati lahir dari ketulusan seperti Janda Miskin yang memberi dari kekurangannya. Totalitas pengorbanan terlihat dari hati yang murni, bukan dari penampilan luar yang membohongi orang lain.
Di Tengah Banyak yang Memberi Besar, Yesus Perhatikan Janda Itu
Di tengah keramaian, Yesus memperhatikan seorang Janda yang memberi Dua Peser, jauh lebih kecil daripada persembahan orang kaya (Mrk 12:41-42). Apa yang dilihat Yesus bukanlah jumlah yang diberikan, tetapi ketulusan dan totalitas persembahan janda itu. Mengapa? Karena pengorbanan sejati terletak pada ketulusan, bukan pada besarnya materi. Dalam perjuangan, para Pahlawan bertindak bukan karena kelimpahan, melainkan demi cinta tanah air, bahkan di tengah keterbatasan. Seperti Janda yang berkorban, para Pahlawan menunjukkan makna pemberian yang sejati.
Janda Itu Memberi dari Kekurangannya
Persembahan Janda itu menjadi simbol keutamaan dalam memberi (Mrk 12:43-44). Dua peser yang dimilikinya melambangkan totalitas dan ketulusan, menunjukkan bahwa pengorbanan yang benar melibatkan segalanya. Totalitas ini adalah syarat bagi pengorbanan sejati. Sama seperti Janda yang memberi seluruh hartanya, para Pahlawan melawan dengan segala kekuatan yang mereka miliki. Ketulusan dalam perjuangan jauh lebih penting daripada sumber daya melimpah. Ketulusan dan keberanian adalah inti dari pengorbanan yang tidak akan terlupakan.
Janda itu memberi dari kekurangan. Teks Markus merumuskan bentuk kekurangan itu dengan rumusan dua peser satu duit. Rumusan ini melambangkan keutuhan. Angka dua, bersifat genap, melambangkan seluruhnya. Konsep seluruhnya atau totalitas terumus pada rumusan satu duit. Karena itu, Yesus menyebut Janda Miskin itu dengan sebutan ia memberi lebih banyak, karena utuh-total. Itu berarti syarat qualited dan qualified bagi sebuah pemberian ialah the totality of sacrifice. Bahwasannya sebuah pengorbanan tidak diukur dari melimpahnya suatu pemberian melainkan dari ketulusan dan totalitasnya.
Pandangan Moderat-Eksegetis: Sikap Orang Farisi, Si Janda, Para Penjajah, dan Perjuangan Pahlawan Surabaya
Dari Teks Markus 12:38-44 yang mengungkapkan sikap Orang-Orang Farisi dan Ahli Taurat, kita temukan paralel yang kuat antara sikap mereka dan perilaku para penjajah yang menguasai Bangsa kita di masa lampau.
Orang-orang Farisi mencerminkan sikap yang mencari pujian, kekuasaan, dan keuntungan tanpa memperhatikan tanggung jawab moral terhadap sesama. Demikian pula, penjajah datang ke Tanah Air Kita dengan motif memperkuat kekuasaan mereka, menguasai sumber daya, dan memperalat rakyat.
Sikap yang mengedepankan kehormatan diri, menampilkan kesalehan palsu, dan memanipulasi hukum untuk keuntungan pribadi sangat dekat dengan sikap eksploitatif dan dominatif penjajah.
Pertama, Ahli Taurat yang suka penghormatan di tempat umum, duduk di tempat terhormat, dan mencaplok harta janda-janda adalah simbol ketidakadilan yang terstruktur.
Mereka menggunakan agama sebagai alat pembenaran kekuasaan mereka, sama seperti para penjajah menggunakan hukum kolonial dan propaganda untuk menekan perlawanan rakyat.
Dalam konteks Hari Pahlawan Nasional, semangat juang para Pahlawan dan Arek-Arek – baca ; (sebutan khas dalam bahasa Jawa (Timur) yang merujuk pada kelompok orang muda, yang memiliki semangat kuat, bersolidaritas tinggi dan berjiwa pemberani) Surabaya pada 10 November 1945 menunjukkan kebalikan dari sikap manipulatif tersebut.
Para pejuang memilih untuk bertindak dengan kerendahan hati dan keberanian, melawan segala bentuk penindasan meskipun dalam kondisi terbatas. Mereka tidak berjuang demi kehormatan pribadi, melainkan demi masa depan bangsa yang merdeka.
Kedua, Janda Miskin yang memberi dari kekurangannya dalam Teks Injil menjadi simbol ketulusan dan totalitas pengorbanan. Ia memberikan dua peser, seluruh miliknya, dengan hati yang tulus, tanpa mencari pengakuan.
Dalam konteks perjuangan para Pahlawan (Surabaya), kita melihat bagaimana mereka memberikan “dua peser” terakhir mereka: tenaga, darah, dan nyawa, demi tanah air tercinta.
Meskipun berhadapan dengan musuh yang jauh lebih kuat, mereka tidak gentar. Ketulusan pengorbanan mereka mencerminkan totalitas pemberian yang dinyatakan oleh Janda Miskin, yaitu pengorbanan yang tidak dihitung berdasarkan materi, tetapi berdasarkan cinta kepada tanah air.
Ketiga, relevansi antara pemberian Janda dan perjuangan para Pahlawan menunjukkan bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada besar kecilnya sumber daya, melainkan pada kemauan untuk berkorban secara utuh.
Para penjajah mengandalkan kekuatan militer dan kekuasaan ekonomi untuk menekan rakyat, sama seperti Orang Farisi yang menggunakan kekuasaan agama untuk menundukkan orang kecil. Namun, para Pahlawan menunjukkan bahwa keterbatasan bukanlah penghalang untuk melawan. Dengan senjata seadanya, keberanian mereka membawa perubahan yang besar. Demikian juga, pemberian Janda Miskin adalah pemberian yang memiliki dampak besar di mata Tuhan karena berasal dari hati yang rela berkorban.
Keempat, sikap orang Farisi yang suka berdoa panjang untuk mengelabui dan mencari kehormatan mencerminkan bagaimana penjajah menggunakan tipu daya untuk mengontrol rakyat. Doa yang dipanjatkan tanpa ketulusan adalah simbol kesombongan dan kemunafikan.
Sebaliknya, para Pejuang Surabaya menunjukkan ketulusan dalam setiap tindakan mereka, berjuang dengan tulus tanpa pamrih. Seperti janda yang memberi dari kekurangannya, mereka memberikan segalanya tanpa pamrih dan penuh keyakinan bahwa pengorbanan mereka akan memberikan harapan bagi masa depan bangsa.
Dalam perenungan ini, hubungan antara Hari Pahlawan Nasional, sikap para penjajah, dan orang Farisi, serta pemberian Janda Miskin menjadi jelas.
Kita diajak untuk belajar dari ketulusan Janda dan keberanian para Pahlawan, menolak sikap manipulatif, egois, dan pencarian kekuasaan diri yang ditunjukkan oleh para penjajah dan Farisi.
Pengorbanan sejati tidak pernah diukur dari apa yang nampak besar di mata dunia, tetapi dari keutamaan hati yang berani memberi segalanya, bahkan dalam kekurangan. Mari kita jadikan semangat mereka teladan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Catatan Terakhir
Kesaksian Si Janda Miskin memberi spirit baru bagi generasi muda masa kini. Semangat kepahlawanan yang sesungguhnya, terkandung pada ketulusan dan pengorbanan dalam melakukan suatu pekerjaan. Dalam konteks ini, pernyataan jangan mengerjakan apa yang disukai tetapi sukailah apa yang sedang dikerjakan, mengingatkan kita tentang pentingnya kesetiaan dan pengorbanan.
Si Janda itu merasa tidak minder karena faktor kekurangan dan kesederhanaannya. Perasaan tidak minder itu, nampak dalam pada konsentrasi teologis bahwa ia diperhatikan oleh Yesus, atau rumusan aktifnya, Yesus mengarahkan pandanganNya kepadanya. Kenyataan ini memperlihatkan semangat kepahlawanan yang baru bahwa menjadi pahlawan bagi masa kini berarti berkorban dengan tulus karena akan mempertemukan kita dengan Yesus dan akan menarik pandangan keselamatan dari Yesus. Di sini terdapat motif teologis dari semangat kepahlawanan yakni dalam perjuangan akan keselamatan banyak orang, di sana Tuhan datang menjumpai kita (dimensi katabatis-wahyu) dan di situ pula, kita berjumpa dengan Tuhan (dimensi Anabatis – Iman).
Tuhan memberkati!!! Selamat Hari Minggu…. Selamat Hari Pahlawan Nasional.
Penulis : Rm. Yudel Neno, Pr di SMAK Santa Filomena Mena, Sabtu, 9 November 2024.