Homili, KeuskupanAtambua.org – Mengasihi dan Mengampuni sebagai Panggilan Illahi – oleh RD. Gabriel Irenius
Minggu Ketujuh Masa Biasa, Tahun Liturgi C – 2025; Bacaan I: ISamuel 26:2.7-9.12-13.22-23, Bacaan II: IKor 15:45-49, Injil: Luk 6:27-38
Hari ini kita memasuki hari Minggu Biasa ke-VII tahun tahun liturgi C. Dalam bacaan pertama dari Kitab Samuel, mengutarakan kelanjutan kisah perselisihan antara Saul dengan Daud akibat Saul yang iri hati kepada Daud.
Iri hati Saul membakar amarah dan memicu niat jahat untuk sekali lagi mengejar Daud dan berupaya membunuhnya. Di tengah pengejaran, di mana alih-alih ingin membunuh Daud, Saul justru didapati oleh Daud sementara tertidur pada suatu malam. Dalam situasi seperti ini, Daud mendapat keuntungan dan peluang untuk membunuh terlebih dahulu sebelum dibunuh. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Daud tidak membalas apa yang telah dilakukan oleh Saul terhadapnya. Bahkan ketika ia diprovokasi oleh Abisai, Daud justru menolaknya.
Daud sadar bahwa meski Tuhan turut campur tangan di dalam peristiwa itu, namun ia sendiri menyadari kedaulatan Tuhan atas setiap orang yang diurapinya. Meski Saul dikenal karena ketidaktaatannya kepada Tuhan; meski terbakar oleh kebencian dan dendam yang bernyala kepada Daud, Daud justru menunjukkan bahwa di atas semuanya itu hanya ada kedaulatan Allah. Hanya Allah sajalah yang berhak menjadi hakim yang adil. Hakim yang membalas kebenaran dan kesetiaan setiap orang.
Apa yang dilakukan oleh Daud merupakan landasan inspirasi bahwa pribadi yang mengasihi dan mengampuni bukan hal yang mudah meski seringkali begitu gampang diungkapkan. Hal ini seiring dengan kenyataan bahwa pengampunan pertama-tama adalah Tindakan Ilahi.
Pengampunan adalah karya Allah sendiri yang disimpan jauh di dalam lubuk hati manusia dan secara terus menerus memanggil manusia untuk berpartisipasi di dalam tindakan ilahi itu yakni mengampuni. Hal ini secara samar-samar dijelaskan oleh Rasul Paulus di dalam Surat Pertamanya kepada Jemaat di Korintus dengan menjelaskan tipologi kontras antara Adam dan Kristus. Manusia pertama yakni Adam yang berasal dai tanah dan bersifat jasmani dan Kristus sebagai “Adam Baru” yang berasal dari surga dan bersifat rohaniah.
Dengan menampilkan kontras Adam dan Kristus, Rasul Paulus hendak menunjukkan bahwa meski kita mewarisi kenyataan manusiawi yang rapuh yang berasal dari Adam di satu pihak, tetapi di lain pihak, kita perlu bersyukur bahwa kita juga memperoleh kesempatan untuk mengambil bagian dalam kenyataan ilahi rohani yang diwariskan oleh Kristus sendiri; yang memang sejak semula ada bersama dengan Allah dan adalah Allah namun berkenan mengosongkan diri-Nya (kenosis) untuk menjadi manusia sama seperti kita dan pada gilirannya melalui misteri penebusan, memulihkan kembali hubungan manusia dengan Allah.
Meski gambaran Rasul Paulus bercorak eskatologis; suatu gambaran yang berorientasi pada kepenuhan akhir zaman ketika kita akan mengenakan rupa yang surgawi, namun antisipasinya justru sudah dimulai sejak peziarahan di dunia ini.
Bertolak dari kenyataan teologis, sebagaimana diutarakan Paulus, jelaslah bahwa kasih dan pengampunan pertama-tama adalah kenyataan ilahi yang bersumber dari inisiatif Allah. Allah adalah kasih yang memanggil dan meminta partisipasi kita untuk saling mengasihi dan mengampuni. Karakter khas dari rupa surgawi adalah kasih dan pengampunan itu sendiri.
Relevansi teologisnya ialah panggilan untuk mengasihi dan mengampuni sebagai inisiasi Allah jelas diungkapkan oleh Yesus sebagaimana dilukiskan oleh penginjil Lukas. Pengajaran Yesus ini ditempatkan pasca ucapan bahagia dan peringatan yang menimbulkan pertanyaan; bagaimana para murid harus hidup di dalam dunia dengan aneka tantangan. Di tengah alih-alih lari dari tantangan, lari dari masalah, membalas setiap perlakuan buruk, Yesus justru menuntut para Murid dengan sebuah permintaan bernada imperatif. “Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu”. Perintah ini jelas membalikan logika pemikiran manusia jasmani yang seringkali memilih menyerang balik bilamana terusik.
Instruksi Yesus memperlihatkan Logika Ilahi yang melampaui batas-batas logika manusia. Ketika suara dari Salib berseru, “Bapa ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat”, seruan itu sesungguhnya adalah simpul definitif dari seluruh penalaran ilahi yang mengasihi daripada membenci, yang mengampuni daripada menghakimi dan memberi sehabis-habisnya. Inilah warisan Sang Guru Agung, warisan rohani yakni kasih terhadap musuh bukan sebagai suatu perasaan cinta psikologis belaka, yang hanya akan mungkin bila mereka sudah layak dicintai tetapi lebih dari itu menuntut kasih yang tanpa pamrih, kasih walau tak berbalas. Atau bertepuk sebelah tangan…
Instruksi Yesus yang nampak pada formulasi eksplisit-biblis ; tampar pipi kiri kasih pipi kanan, kalau ada yang ambil pakaian beri juga jubah, pinjamkan tanpa berharap balasan, murah hati, jangan menghakimi dan seterusnya, tentu perlu dicermati dengan penalaran yang baik. Apabila diikuti tanpa penalaran kasih, praktisnya; barangkali banyak yang muka bengkak, simpanan rekening bisa habis karena dipinjam terus-terus..
Akhirnya, menjadi murid Kristus bukan hal yang mudah. Mengasihi dan mengampuni itu sulit tetapi bukan tidak mungkin. Salah satu tantangan sekarang ini ialah menurunnya sikap selektif untuk memilah; hal mana yang layak publikasi. Banyak hal begitu saja mudahnya ditumpahkan di media sosial, tanpa seleksi. Kebencian, iri hati, fake news dan lainnya pun mudah begitu saja.
Bila akhirnya tidak banyak dari antara kita yang sungguh ambil bagian dalam pelaksanaan amanat Kristus yakni saling mengasihi dan mengampuni dan terutama mengasihi, mengampuni musuh, maka pada mendatang, “Gereja” terancam bahaya makin kecil, walaupun Gereja takkan goyah karena tantangan yang melanda. Gereja justru semakin menunjukkan otentisitasnya apabila tetap tegak di tengah tantangan.
RD. Gabriel Irenius (Imam Keuskupan Agung Kupang), saat ini bertugas di Seminari Tinggi Santo Mikael Penfui Kupang)
Editor : Yudel Neno, Pr